BudayaPariwisata

Sejarah Wisata Makam Di Sumenep, Saat Lokasi Pemakaman Tak Lagi Angker

×

Sejarah Wisata Makam Di Sumenep, Saat Lokasi Pemakaman Tak Lagi Angker

Sebarkan artikel ini
Kolase Wisata Makam. (Foto/Mata Madura)

matamaduranews.com-SUMENEP-Tempo doeloe, makam, atau bahkan lokasi pemakaman merupakan area yang tak banyak orang berkerumun. Kecuali saat prosesi penguburan.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Yang menjadi sebab utamanya, selain sepi, kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat yang belum banyak mengenal penerangan modern, seperti lampu misalnya, lebih pada yang sifatnya mistis.

Dulu, sekitar tahun 1980-an, siang hari saja melewati area pekuburan umum sudah merinding, kata Adang, seorang warga Karangduak, Sumenep, yang rumahnya dekat dengan kawasan pemakaman Asta Sabu.

Lokasi lain yang cukup angker di Sumenep dahulu seperti pemakaman Pacangagan, Jeruk Purut, dan pemakaman Jambu.

Yang disebut pertama terletak di desa Pandian. Sedang yang dua terakhir berada masing-masing berada di desa Pamolokan dan desa Pangarangan.

“Di Pacangagan, memang dahulu penuh kisah yang sifatnya pribadi. Artinya berkembang dari mulut ke mulut berdasar pengelaman satu atau dua orang. Lantas menyebar. Yang percaya mungkin karena memang mengalaminya sendiri. Sedang yang tidak percaya karena tidak mengalaminya, kata Bambang, warga Pandian, Sumenep.

Menurut cerita Bambang, situasi menyeramkan itu didukung oleh kondisi waktu itu yang memang sepi. Dan yang tampak di are-area pemakaman itu semak belukar dan tumbuhan-tumbuhan liar.

Hewan-hewan buas juga tak jarang menambah kondisi tak nyaman itu. Seperti gonggongan anjing yang di malam hari lebih mirip lolongan srigala. Belum lagi binatang melata seperti ular berbisa.

“Beda jauh kondisinya dengan masa kini yang sudah bersih, kata Bambang saat nyekar di pusara buyutnya di komplek asta Pacangagan.

Pengemasan Apik

Di masa ini, dalam pantauan Mata Madura, kondisi-kondisi pemakaman umum memang berubah drastis. Entah disebabkan pola piker, atau faktor pertambangan penduduk yang luar biasa tanpa bisa dibendung. Hal itu terlihat dari fenomena maraknya bangunan di sekitar pekuburan.

“Di sini kita malah bertetangga dengan orang-orang sabar,” kata seorang warga Pandian, sebut saja Elly, sambil tersenyum.

“Orang-orang sabar yang dimaksud Elly tentu bukan dalam makna sebenarnya. Hal itu merujuk pada jasad-jasad yang dikebumikan di area pekuburan itu.

Sebenarnya, bangunan di dekat area pekuburan umum bukan hanya di masa kini. Sebelum itu memang ada yang menempati area yang dekat dengan pemakaman. Biasanya memang merupakan keluarga turun-temurun di sana.

“Jadi malah rumah ini sebelum banyak makam di sini,” kata Ike, salah satu warga Karangduak.

Lantas karena memiliki bidang tanah, maka dijadikanlah pemakaman keluarga. Meski memang kebanyakan dekat pemakaman umum sendiri.

Selain itu ada juga yang memang dipercayakan para keluarga ahli kubur, untuk merawat pemakaman leluhurnya. Sehingga diberilah sepetak tanah untuk kediaman penjaga kuburan tersebut. Semacam juru kunci.

Sejarah Area Pemakaman Umum di Sumenep

Di kawasan kota banyak area pemakaman umum. Dimulai dari arah timur, berdasarkan peta di Sumenep, hingga ke barat daya. Setidaknya ada empat atau lima area pemakaman umum yang hingga saat ini masih bisa disaksikan.

Seperti pemakaman umum Jeruk Purut (Pamolokan), pemakaman Tuan dan pemakaman Jambu (Pangarangan), pemakaman Ning-ningan (Pamolokan), pemakaman Pacangagan (Pandian), pemakaman sabu (Karangduak), pemakaman gunungan dan pemakaman billa (Bangselok).

Menurut RB Idris, salah satu sesepuh keraton Sumenep saat ini, lokasi pemakaman itu sudah dipetak sejak masa pemerintahan dinasti terakhir (1750-1929 M). Pemilihan lokasi itu, menurut Idris, memiliki beberapa alasan.

“Salah satunya karena memang di sana kondisi tanahnya memang tanah berayap atau banyak rayap. Sehingga kemudian dipilih sebagai lokasi pekuburan. Karena kurang cocok sebagai lokasi perumahan penduduk,” kata mantan Sekda Sumenep ini.

Berdasar kontur tanah di lokasi pemakaman-pemakaman umum yang disebut di atas, area tersebut juga kurang cocok untuk lokasi pertanian. Di samping juga bukan tanah yang lembur. Karena banyak yang berbatu.

Di area-area itu juga dahulu ada garis koordinasi dengan kaji Asta Tinggi. Sehingga dahulu juga ada juru kunci yang resmi.

Juru kunci-juru kunci itu umumnya mendapat upah berupa tanah percaton. Yaitu tanah pertanian yang sifatnya hak pakai, dan bisa diturunkan pada penerusnya.

“Seperti di pemakaman Juruk Purut Pamolokan, di mana di sana ada komplek Pasarean keluarga sentana keraton Sumenep, yaitu Kiai Tumenggung Mangsupati, salah satu patih Sumenep di masa Panembahan Sumolo. Sehingga ada juru kunci khusus. Dahulu yang ditunjuk ialah Kiai Ragasuta,” kata Iik Guno Sasmito, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.

Aspek Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat

Jika di tempat wisata religi yang memang sudah populer terdapat fenomena arus ekonomi yang perlahan meningkat, lokasi-lokasi pemakaman yang justru terkenal “seramnya” juga kini mulai tertata arus tersebut. Meski tentu dalam taraf minimalis.

Pak Dul, salah satu penjual es degan di area pemakaman Pacangagan bahkan bisa sampai malam menggelar lesehan kecilnya. “Berkat penerangan yang mulai bermunculan, orang sudah tidak segan lagi nongkrong di pinggir-pinggir pemakaman,” kata pria asli Sumenep bagian utara ini.

Dalam pantauan media ini, memang beberapa titik di Asta Pacangagan terdapat lampu mercury. Beberapa lampu penerangan itu memang berinduk pada area asta KH Zainal Arifin dan keluarga ponpes Tarate Pandian.

“Alhamdulillah, karena di sekitar Asta Pacangagan ini memang banyak terdapat pasarean para waliyullah, seperti Kiai Imam dan Raden Ardikusuma II,” kata KHA Rahem Usymuni, pengasuh Ponpes Tarate Selatan.

Terpisah Achmad Fauzi, Wakil Bupati Sumenep dalam sebuah kesempatan sharing dengan Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser) Sumenep, memang memiliki pemikiran memberdayakan masyarakat untuk mengemas pemakaman umum.

Dalam artian, di samping mengubah image makam yang dikenal angker, menjadi tempat yang menyenangkan.

“Para peziarah juga enak. Kemudian di sekitarnya juga ada perputaran ekonomi. Dan ini sifatnya jangka panjang,” kata Wabup Fauzi.

Berkaca pada daerah luar, Fauzi juga tertarik dengan lokasi pemakaman umum yang identik dengan non muslim. “Rata-rata keluarga mereka sudah berada di luar. Dan di saat tertentu nyekar. Di sana mungkin juga bisa dikemas lebih baik.

Dalam arti tujuannya pada peningkatan ekonomi masyarakat dan sekaligus pendapatan daerah. Namun tentu ini harus duduk bersama dulu para stakeholders,” katanya.

Salah Satu Titik Penggalian Sejarah Kuna

Keberadaan pemakaman umum, yang diawali atau di dalamnya juga terdapat situs bersejarah, tentu menjadi salah satu titik penggalian sejarah kuna.

Menurut Ja’far Shadiq, salah satu anggota Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser), sisa-sisa peradaban Sumenep masa lalu tidak hanya berupa bangunan keraton dan masjid agung. Namun juga tersirat dalam goresan “tinta” prasasti yang masih terjaga keorisinilannya.

“Bagaimana seseorang dihargai peran dan jasanya, dari bentuk monumen peristirahatan terakhirnya,” kata Ja’far.

Sejauh ini memang banyak ditemukan simbol-simbol dan corak kuna dalam prasasti dan ornamen-ornamen makam kuna. Menyimpan banyak misteri yang perlu disibak tirainya. Jas Merah!

RM Farhan