Kare Angar

×

Kare Angar

Sebarkan artikel ini
Zarnuji

Oleh: Zarnuji*

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

matamaduranews.comNGOPAE se terro ekakanca’a (memberi upah untuk dapat dijadikan teman).

Ketika mendengar ungkapan itu, sontak pikiran ini menyelinap ke masa lalu, masa ketika masih anak-anak, masa yang setiap hari selalu memprioritaskan bermain daripada belajar. Mendahulukan bermain daripada ngaji.

Bahkan karena saking asyiknya saat bermain, akhirnya lupa untuk sekadar makan.

Seraya tersenyum, puing-puing ingatan masa lalu itu kembali terangkai dalam pikiran. Apalagi, saya termasuk anak yang sering ngopae atau nyosok (membayar atau memberi imbalan) kepada teman-teman sepermainan untuk diajak bermain.

Bayaran tersebut bisa berupa uang, makanan, atau minuman yang saya miliki ataupun berupa jasa. Jasa yang dimaksud adalah kerelaan untuk melakukan seperti yang diminta teman.

Maklum, saya merupakan anak termuda di antara lainnya. Jadi, kalau tidak ngopae, mereka sering acuh tak acuh untuk menjadikan saya teman bermain.

Namun, meski sudah memberi upah, saya tetap saja sering ditinggalkan, terutama ketika upah dari saya sudah di tangan mereka atau sudah habis. Kondisi ”nyar-anyaran” (menyenangi sesuatu hanya sekejap) yang ditunjukkan teman itulah yang sering saya alami. Artinya, hubungan di awal saja yang baik, tapi dalam perjalanannya sering kali kurang harmonis.

Kondisi yang seperti itu membuat saya sebagai orang yang memberi upah terjebak dalam kondisi ”kare angar” Padanan ungkapan itu adalah gigit jari, kecele, atau kecil hati. Kalau upah itu berbentuk jajan, maka jajannya sudah diambil teman, tapi saya tidak diajak bermain lagi.

Tanpa saya sadari, masa anak-anak dengan konsep imbalan yang saling menguntungkan dalam suatu hubungan itu ternyata juga berlaku pada masa dewasa. Bahkan setelah diamati meluas hingga berbagai sektor kehidupan, banyak yang memotretnya dari sejumlah teori. Salah satunya, teori pertukaran sosial dengan melihat penghargaan dan pengorbanan.

Di ranah politik pun demikian. Pada masa Kerajaan Majapahit, misalnya, kita dapat mengetahui saat pemberontakan Ranggalawe 1295. Pemberontakan tersebut diduga terjadi lantaran Ranggalawe tidak terima karena sejak awal sudah digadang-gadang untuk dijadikan patih, tapi alih-alih Sri Kertarajasa mengangkat Nambi sebagai patih (Muljana, 133–134).

Hanya, pemberontakan itu kare angar. Meski banyak yang dikorbankan Ranggalawe dalam terbentuknya Kerajaan Majapahit, jabatan patih yang diinginkan tetap tidak bisa digapai. Ironisnya, nyawa Ranggalawe harus melayang di tangan Kebo Anabrang, pemimpin perang pasukan Majapahit.

Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pun berpotensi kare angar, terutama bagi para pendukung calon. Baik dukungan secara pribadi maupun atas nama partai.

Sejumlah sosok didorong untuk maju pada perhelatan pilpres mendatang. Dorongan itu di antaranya pada Prabowo Subianto sebagai Capres dan Joko Widodo menjadi Cawapres. Dorongan itu dilakukan sekretariat bersama (sekber) Prabowo-Jokowi (KOMPAS.com/15/1/2022). Selain itu, Anies Baswedan yang dipasangkan dengan Khofifah Indar Parawansa (Anies-Khofifah).

Pengamat politik Tony Rosyid menganggap, Anies-Khofifah dapat mengakhiri keterbelahan rakyat yang terjadi akibat pertarungan sengit Pilpres 2014 dan 2019 (Sindonews.com/15/01/2022).

Nama lain yang juga diunggulkan dalam elektabilitas Capres 2024 yakni Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Sandiaga Uno (AntaraNews/30/11/2021).

Namun, meski calon yang diusung dapat memenangkan kontestasi politik, bukan berarti para pendukungnya otomatis mendapat bagian kue kekuasaan seperti yang diharapkan.

Jika melihat pada pemilu sebelumnya, sering kali partai maupun perorangan yang getol memperjuangkan pada akhirnya kare angar. (*)

Penulis adalah mantan jurnalis yang sekarang menjadi dosen FISIP Universitas Wiraraja