matamaduranews.com -Isu yang menyebut ada oknum wartawan dan LSM menerima aliran dana BSPS (Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya) 2024 di Sumenep, kini menggelinding seperti bola salju.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Disebarkan di media sosial, dibumbui opini dan insinuasi. Tapi hingga detik ini, tak satu pun bukti otentik yang ditunjukkan ke publik. Hanya tudingan bersayap, seolah semua bisa dihalalkan atas nama ‘kecurigaan’.
Padahal, jika tuduhan itu tak berdasar, itulah definisi fitnah yang sesungguhnya. Bukan cuma merusak reputasi individu, tapi mencederai marwah profesi wartawan dan pegiat sosial.
Dalam dunia pers, menyeret nama “oknum wartawan” tanpa fakta jelas, ibarat menyiram bensin ke bara: memperkeruh suasana, menebar kebencian, dan membuka ruang kriminalisasi pers secara sembarangan.
Di Mana Buktinya?
Tiktoker Ainur Rahman, salah satu yang bersuara lantang soal ini, justru melempar tantangan balik: “Kalau memang ada aliran dana, tunjukkan buktinya. Tunjukkan slip transfer, kwitansi, rekaman, atau minimal inisial yang bisa diverifikasi”.
Logika publik pun sederhana:
Kalau kamu tahu siapa yang menerima, kenapa tidak sekalian sebutkan namanya?
Kalau kamu hanya dengar dari ‘kata orang’, bukankah kamu sedang membantu menyebar fitnah?
Wartawan dan LSM Bukan Malaikat, Tapi Juga Bukan Sapi Perah
Benar, wartawan dan LSM tak selamanya suci. Tapi bukan berarti semua bisa digeneralisasi. Tak elok jika tanpa klarifikasi atau bukti, mereka digiring opini sebagai ‘penerima dana haram’. Sementara, para pelontar isu sembunyi di balik akun anonim atau komentar tanpa tanggung jawab hukum.
Jika ada wartawan atau LSM yang menerima dana BSPS secara melanggar hukum, maka harus diungkap secara transparan dan dibuktikan. Tapi jika tidak ada bukti, maka para penyebar isu inilah yang patut diproses hukum karena menyebarkan kabar bohong.
Kritik Boleh, Fitnah Jangan
Dalam era keterbukaan informasi, kritik adalah hal yang sehat, tapi fitnah adalah penyakit sosial. Jangan karena emosi, lalu semua diseret-seret tanpa data. Masyarakat harus cerdas memilah mana informasi, mana provokasi.
Menyebut “oknum wartawan terima dana BSPS” tanpa bukti, itu bukan keberanian, tapi kebodohan digital. Dan itu bisa berbuntut pidana.
Kesimpulan: Saatnya Bicara Fakta, Bukan Asumsi
Kalau punya data, publikasikan dan tempuh jalur hukum.
Kalau tidak punya, berhenti menyebar fitnah.
Media sosial bukan ruang bebas menuduh siapa saja tanpa konsekuensi.
Tuntut transparansi program BSPS ke instansi berwenang, bukan menyerang profesi yang justru jadi mitra kritis pembangunan.
Kebenaran tak akan lahir dari tuduhan kosong. Ia lahir dari keberanian untuk jujur, terbuka, dan bertanggung jawab.(abdul wadud)