matamaduranews.com Kisruh DPRD Sumenep terus berepisode. Belum tuntas rapat di hotel mewah di Yogyakarta. Kini muncul pembahasan APBD 2026 monopoli Banggar tanpa melibatkan komisi komisi DPRD Sumenep.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Hairul Anwar, anggota Komisi I DPRD Sumenep bersuara lantang. “Institusi DPRD bukan teater. Komisi-komisi kok hanya jadi penonton. Bahas APBD kok hanya dimainkan Banggar dan Timgar,” ucap Hairul kepada medis, Selasa 15 Juli 2025.
Kelihatan. Bahas kebutuhan rakyat melalui penyusunan APBD Sumenep 2026 hanya dibahas Badan Anggaran (Banggar) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (Timgar).
Hairul mengaku tak habis pikir membahas APBD Sumenep kok tak melibatkan Komisi-komisi di DPRD.
Karena itu, dia bersuara keras. “Ini bukan soal setuju atau tidak setuju terhadap anggaran. Ini soal prosedur. Dan prosedur itu adalah fondasi kepercayaan publik!” katanya, Selasa (15/7/2025).
Menurut Hairul, pembahasan anggaran tidak bisa dipaksakan hanya di satu meja—apalagi jika meja itu melewatkan proses yang diamanatkan oleh tata tertib (Tatib) DPRD sendiri.
Lalu dia menunjuk langsung Pasal 18 ayat 3 dan Pasal 17 ayat 5 Tatib DPRD. Dua pasal yang seharusnya jadi pagar bagi Banggar dan Timgar agar tak melangkahi.
“Komisi adalah mata dan telinga dewan terhadap kebutuhan anggaran tiap OPD. Kalau itu dilewati, apa gunanya komisi?” tanya politisi PAN ini.
Ia tak main-main. Kata ‘ratio scripta’ diangkat—istilah hukum Latin yang berarti aturan tertulis adalah hukum yang harus dipegang. “Kita ini bukan orang jalanan yang bisa main kira-kira. Kita diikat aturan. Dan Tatib DPRD itu bukan pajangan,” tambah Hairul.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Belum selesai pembahasan di komisi, Banggar sudah menyerahkan laporan ke Ketua DPRD. Laporan yang penuh dengan daftar formalitas: nota keuangan, pandangan fraksi, jawaban bupati. Tapi nihil menyentuh soal paling krusial—mekanisme awal pembahasan.
“Ini soal etika kelembagaan juga. Kalau komisi dianggap tak penting, lebih baik dibubarkan saja,” ujar seorang anggota DPRD lain dengan nada kecewa.
Sorotan dari publik pun menguat. Isu rapat diam-diam di Yogyakarta muncul. Suara-suara skeptis tentang adanya kompromi politik tak terbendung. Akuntabilitas anggaran pun dipertanyakan.
Komisi I mengingatkan: kalau prosedur dikorbankan atas nama percepatan, maka kita sedang membangun APBD di atas fondasi keraguan. Bukan transparansi. Bukan kepercayaan. Dan bukan demi rakyat.
Dalam sistem demokrasi, prosedur bukan penghambat. Ia adalah penuntun. Dan jika langkah Banggar tak dikembalikan ke relnya, maka publik berhak bertanya: APBD ini untuk siapa sebenarnya? (farid & ainur)