matamaduranews.com-Kabupaten Bangkalan, salah satu gugusan kabupaten di Pulau Madura. Di antara Kabupaten di Madura, Bangkalan selalu menjadi perbincangan tingkat nasional. Terutama dalam momentum politik; Pilpres, Pileg dan Pilkada.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Selain wacana kekinian, Bangkalan juga meyimpan histori yang meleganda. Keberadaan Raja-Raja Bangkalan hingga populer di Afrika karena makam Cakraningrat IV berada di pulau Robben atau Robin, Afrika Selatan.
Selain itu, Bangkalan juga menjadi tonggak sejarah berdirinya organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Lahir atas restu sang waliyullah, Syechona Kholil, Bangkalan ke sang murid, Syech KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan NU.
Di tengah arus historis yang melegenda dan fakta Bangkalan saat ini, seperti ada jurang pemisah. Kondisi sosio budaya, ekonomi, politik dan hukum menegaskan kontradiksi itu. Lain lagi jika ditasbihkan sebagai kampung Narkoba.
Fenomena Bangkalan saat ini, perlu diurai. Ada apa dengan Bangkalan? Jimhur Saros dengan nama asli Fathurrahman Said sudah tidak asing bagi warga Kota Salak, Bangkalan, Madura.
Jimhur bukan sebagai pengamat. Lebih dari itu, ia sebagai salah satu pelaku yang ikut mewarnai dinamika Bangkalan saat ini.
Dalam perspektif politik, ekonomi, sosial budaya dan hukum untuk menggambarkan Bangkalan, Jimhur Saros sudah di luar kepala. Artinya, Jimhur mafhum banget siapa dan apa yang akan terjadi.
Kehidupan Politik
Politik Bangkalan bagi Jimhur adalah Politik Buta. Maknanya adalah yang dikedepankan dalam segala sesuatu yang berbau politik adalah uang.
Jimhur memberi contoh Politik Buta adalah jelang pemilihan Kepala Desa hingga pelaksanaan Pilkades. Ketokohan figur akan turun drastis jika tidak setia melayani masyarakat, seperti ala bayi yang minta asupan terus menerus.
“Itu belum jadi loh ya. Kepala Desa sudah dipaksa untuk melayani masyarakatnya seperti ala bayi,” tuturnya.
Kata Jimhur, menjadi Kepala Desa di Bangkalan harus mengeluarkan uang pra modal terlebh dahulu agar menyentuh ke masyarakat. Pelayanan itu harus dan terus berlanjut hingga proses pemilihan. “Hancur sudah sang Kepala Desa,” tambahnya.
Setelah terpilih, sang Kades di Bangkalan, orang banyak berduyun-duyun datang ke Kades terpilih. Mereka meminta bantuan. Baik perayaan seremonial atau ada orang sakit. “Jika Kades tak merespon, ramai-ramai lah membully sang Kades,” ucap Jimhur.
Jimhur bercerita, di luar fenomena pelayanan yang super ekstra ke masyarakat. Kehadiran para bandar judi jelang Pilkades.
“Kemenangan kepala desa itu ditentukan oleh tim lelang (penjudi ulung). Semakin canggih tim lelang, kemengan calon Kades akan merogok kemenangan. Selisih 100 sampai 200 hingga selisih 1 suara tak lepas dari pantauan para bandar judi. Melesetnya terbilang sangat tipis, 0,0001 persen,” cerita Jimhur saat berbincang dengan Mata Madura, Senin malam (2/9/2019)
Fenomena Politik Buta, kata Jimhur, figur kharismatik yang kuat di tengah masyarakat, bisa dikalahkan dalam tempo semalam oleh tim lelang (penjudi ulung).
Dalam kesimpulan Jimhur, uang dan tim ahli lelang (penjudi ulung) menjadi satu kesatuan dalam pemenangan di Pilkades Bangkalan.
“Bagi saya, politik desa itu adalah politik buta. Segunung duit calon kepala desa, jika tidak memiliki tim ahli lelang, kemenangan akan sirna darinya,” sambungnya.
Fenomena Politik Buta di tingkat akar bawah (desa) di Bangkalan, apa akan dibiarkan? Jimhur menawarkan solusi.
“Perlu ada keterlibatan dari para tokoh agama dan blater. Dua figur ini perlu melakukan pencerahan di tengah umat Bangkalan. Tapi butuh waktu yang sangat panjang. Bukan hanya setahun dua tahun. Jika tidak dicarikan solusi, maka tunggu waktunya,” ucap Jimhur, sambil nyeruput kopi hitamnya.
Bersambung….
Syaiful, Mata Bangkalan