
MataMaduraNews.com, BANGKALAN – Upaya BPWS untuk membebaskan lahan sisi Madura masih mendapat ganjalan. Salah satu pemilik lahan yang dibebaskan oleh BPWS pada tahap pertama Desember tahun lalu merasa dirugikan. Didampingi oleh kuasa hukummya, Erru dan Suliha, pemilik tanah, melaporkan penyerobotan tanah miliknya ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Tim Kuasa Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) UIN Sunan Ampel Surabaya dan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nadhlatul Ulama (LPBH NU) Jawa Timur turut mendampingi Erru dalam kasus ini.
Dalam rilis yang dilayangkan kepada Mata Madura, tim kuasa hukum menilai ada ketidaksesuaian kepemilikan sejumlah tanah dalam pembebasan tahap pertama. Diantaranya lahan di persil 11 Blok D.IV, Kohir nomor 2248 seluas 1300 m2, 640 m2 dan 710 m2; serta persil 5 seluas 1670 m2 dan persil 6A seluas 3400 m2. “Semua tanah itu merupakan hak milik atas nama H Abdul Ghani alias Bapak Erru. Namun dalam dokumen kelurahan dimasukkan atas nama Durasman Sumina,†kata Moh Ilham, kuasa hukum Erru dan Suliha.
Sebagaimana diketahui, sejak Desember 2015 BPWS secara berkala melakukan pembebasan lahan seluas 40 hektar (ha) untuk kebutuhan di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJSM). Pada tahap pertama BPWS berhasil melakukan pembebasan lahan seluas 20,5 ha dengan total nilai Rp 168 miliar. Tahap kedua seluas 2 ha, ketiga seluas 1,4 ha dan tahap keempat 0,9 ha.
Dalam pembebasan tahap pertama seluas 20,5 ha yang dilakukan BPWS merupakan gabungan dari 32 pemilik lahan. Di lahan persil 11 seluas 1300 m2 yang dibebaskan itu, ada nama Durasman/Abdurrahman. Lahan itulah yang kini diajukan ke Polda Jatim dalam kasus penyerobotan tanah milik dari Erru dan Suliha.
Erru dan Suliha melalui kuasa hukumnya, Ilham, mengajukan surat aduan ke Polda Jatim pada 18 Maret 2016. Dalam surat aduan tersebut diterangkan bahwa pemilik lima lahan tanah tersebut adalah Erru dan Suliha. Lahan yang dimaksud belum pernah berpindah tangan dan masih dalam penguasaan keduanya secara sah. “Persoalan ini telah bergulir ke ranah penyidikan yang dilakukan di Reserse dan Kriminal Umum Polda Jatim,†kata Ilham.
Advokat UIN Sunan Ampel ini menduga, telah terjadi perpindahan atau mutasi kepemilikan dari Erru kepada Durasman Sumina untuk lahan pada persil 11 dengan luasan 1300 m2, 640 dan 710 m2. Padahal sesuai dengan dokumen Surat Ketetapan Iuran Pembangunan Daerah yang dikeluarkan Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) Pamekasan tertanggal 25 Oktober 1977, lahan pada persil 11 seluas 1300 m2, 640 m2, 710 m2 merupakan hak milik Erru.
Ilham juga menjelaskan, pada lahan persil 11 seluas 1300 m2 itu juga telah dihibahkan kepada Suliha sesuai dengan Akta Hibah Nomor: 223/LBG/VII/2011 yang dibuat oleh Muh. Zainul Qomar, S.Ag, M.Si, selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tertanggal 18 Juli 2011.
Karena itu, Ilham menilai tanah persil 11 seluas 1300 m2 yang telah dibebaskan melalui proses jual beli oleh BPWS, cacat hukum dan tidak sah. Sebab, lanjutnya, dalam proses itu terjadi pembelokan fakta dan pemalsuan dokumen atas kepemilikan lahan persil 11 seluas 1300 m2 oleh Durasman, Abdurrahman dan rekannya. “Ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 378 dan 372 KUHP,†tegasnya.
Ilham menerangkan, lokasi dan keberadaan tanah persil 6a, Kohir 2183 yang diberkasi oleh Abdurrahman alias Durasman-Sumina menunjuk pada tanah persil 11 Blok D.IV, Kohir nomor 2248 seluas 1.300 m2 milik Rukiyati alias Erru yang telah dihibahkan kepada Suliha.
Sementara tanah pada persil 6a, Kohir 2183 telah dijual oleh Durasman-Sumina kepada Matsubir pada tanggal 11-3-1990. Hal ini diperkuat dalam akta jual beli No. 52/labang/2004 yang dibuat di hadapan Drs. Syamsul Ma’arif selaku PPAT pada tanggal 19 Mei 2004 yang saat ini berpindah tangan atas nama Bahrul Ulum. “Sesuai dengan dokumen BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kota Bangkalan, tanah pada persil 6a telah diberkasi oleh dua orang yakni Abdurrahman dan Bahrul Ulum dengan luas tanah sama, tetapi dalam lokasi tanah yang berbeda,†ungkapnya.

Sementara Humas BPWS, Faisal Yasir Arifin menyebut langkah yang dilakukan kuasa hukum penggugat merupakan langkah elegan dalam negara hukum. “Kami sangat menghargai langkah yang ditempuh kuasa hukum penggugat,†terang mantan wartawan ini lewat sambungan telepon kepada Mata Madura.
Kang Coey, panggilan akrab Faisal Yasir Arifin, mengaku belum mendengar soal gugatan salah satu pemilik lahan yang sudah dibebaskan BPWS dalam tahap pertama. “Kami akan mengikuti bagaimana proses hukum selanjutnya,†sambungnya.
Di tempat yang berbeda, Winarto selaku kepala BPN Kabupaten Bangkalan mengungkapkan, dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2012, BPN hanya sebagai pelaksana. “BPN hanya sebagai pelaksana pengadaan fisiknya saja,†katanya. Winarto menambahkan, dalam proses pengadaan tanah yang kurang dari 5 ha merupakan tanggung jawab instansi terkait. BPN hanya menjadi pelaksana apabila luas tanah minimal mencapai 5 ha.

Praktisi hukum Bangkalan, Mochammad Aziz mengatakan, pembebasan lahan yang bermasalah menunjukkan adanya ketidakcermatan dari instansi yang membebaskan lahan, baik disengaja maupun tidak. Ia juga menjelaskan, sehubungan dengan pembebasan lahan telah diatur dalam UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam UU tersebut secara tegas diperintahkan bahwa, pengadaan tanah harus melalui tahap perencanaan dan persiapan, serta harus melalui inventarisasi dan identifikasi penguasaan. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya persoalan di kemudian hari. Sehingga tidak terjadi pembelian atau pembayaran tanah kepada orang yang salah.
Pembebasan tanah seluas 40 ha yang ditargetkan rampung pada Oktober 2016 masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Kasus penyerobotan lahan yang sedang bergulir di ranah hukum ini menjadi batu sandungan bagi BPWS. “Kalau aturan main dipatuhi dan pembebasan lahan dilaksanakan secara prudent, saya yakin tidak akan timbul kejadian seperti ini,†kata Aziz. (eko/jamal)