matamaduranews.com-SUMENEP-Di antara sekian banyak peristiwa berdarah tempo doeloe, mungkin tiang inilah satu-satunya saksi bisu yang masih bisa dilihat generasi milenial.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Peristiwa berdarah yang terjadi pulau garam pada pertengahan abad 18 Masehi. Tepatnya terjadi di Madura Timur atau Sumenep.
Sebuah tiang bercat coklat masih terlihat kokoh. Tak hanya satu, tiang yang menjadi saksi bisu itu berdiri bersama “tiga saudaranya†yang juga berupa tiang. Tiang yang menopang sebuah pendapa kuna.
Berbeda dengan tiga tiang lainnya, tiang paling bersejarah itu memiliki tanda khusus.
Di salah satu sisinya terdapat bekas sabetan senjata tajam yang cukup dalam untuk ukuran benda jenis kayu yang cukup bagus dan kuat. Sekira lebih kurang 5-7 cm dalamnya.
Pendapa kuna itu sejatinya merupakan tempat “raja†di Sumenep abad 18 saat menggelar pertemuan resmi dengan jajaran pejabat keraton.
Dibanding pendapa keraton yang saat ini menjadi ikon utama kabupaten Sumenep, pendapa ini lebih kecil luasnya.
Pendapa ini pun sudah tidak lagi berada di bekas keraton lama. Melainkan dipindah ke Asta Tinggi oleh Panembahan Sumolo. Sebagian riwayat menyebut Sultan Abdurrahman yang memindahnya.
Pendapa Keraton Lama
Di lokasi keraton yang saat ini menjadi bagian Museum sejarah Sumenep, ada dua bentuk bangunan, yang di masanya berfungsi sama.
Bangunan pertama ialah Keraton Ratu Tirtonegoro, yang dibangun sang Ratu dengan suaminya, Bindara Saut alias Tumenggung Tirtonegoro. Sebuah bangunan kecil menghadap ke Selatan.
“Sebenarnya lebih mirip rumah. Dan memang itu dalem (rumah; red) sang raja. Karena yang menempati ialah raja (rato; red), maka disebutlah keraton,†jelas RB Muhlis, salah satu anggota keluarga keraton Sumenep.
Beberapa waktu lalu, tim cagar budaya dari Jawa Timur melakukan penggalian untuk mengetahui dasar bangunan keraton Tirtonegoro itu.
Diketahuilah jika sejatinya bangunan itu lebih tinggi dari permukaan tanah dibanding saat ini.
Di masa Panembahan Sumolo, putra Bindara Saut sekaligus penguasa kedua dari dinasti terakhir (1750-1929 M), dibangunlah bangunan keraton yang lebih luas di sebelah timur keraton lama. Yaitu yang memiliki pendapa agak luas, sumber mata air (taman sare) dan pintu gerbang yang disebut Labang Mesem.
Bangunan keraton lama tak lagi digunakan. Namun di masa Sultan Abdurrahman, tepat di depan keraton lama dibangunlah kantor yang disebut kantor Koneng.
Belanda yang curiga lantas membangun sebuah kantor di depan keraton baru, yang kemarin menjadi kantor Disbudparpora. “Sekarang beralih fungsi lagi,†kata Muhlis.
Bangunan keraton baru meski sebagian besar masih original, namun ada juga beberapa bagian yang sudah kehilangan bentuk aslinya.
Kini, bangunan itu masuk dalam perawatan keluarga besar Keraton Sumenep yang diwadahi Yayasan dan Wakaf Panembahan Sumolo.
Nah, pendapa keraton lama lantas dipindah saat pembangunan keraton baru.
Tidak jelas alasannya. Namun yang jelas, pendapa itu menjadi saksi bisu peristiwa berdarah di masa-masa awal naiknya Bindara Saot ke singgasana Keraton Sumenep.
Makar Purwonegoro, dan Munculnya Para Tameng
Beralihnya tahta Sumenep ke tangan Bindara Saot yang notabene dari luar keluarga keraton membuat sang Patih, sekaligus saudara sepupu Ratu Tirtonegoro meradang.
Pasalnya, Purwonegoro jatuh cinta pada sang Ratu, namun tak berbalas.
Sejak menjanda pasca meninggalnya sang suami pertama, Ratu Rasmana, nama lain Ratu Tirtanegara, memang banyak yang melamar. Namun, tak satu pun yang diterima.
Isyarat langit kepada Ratu, membuat pilihan bersuami lagi jatuh pada sosok Bindara Saot. Seorang guru ngaji di Lembung, Lenteng. Putra Kiai Agung Abdullah di Batuampar.
Sejak Ratu menikah dengan Bindara Saot, sang Patih membelot. Ia tak lagi mengindahkan tugas-tugasnya. Sekaligus tidak pernah lagi menghadap ke keraton.
Tak hanya itu, panggilan Raja kepadanya dibalas dengan tantangan terbuka yang ditujukan kepada Bindara Saot yang diejeknya dengan sebutan Orang Gunung.
Mendengar tantangan tersebut, Bindara Saot menyatakan menerima perang tanding satu lawan satu. Namun Ratu Tirtonegoro mencegahnya.
Beliau menawarkan tugas menghukum Purwonegoro kepada abdi dalemnya.
Saat itulah berdiri Kiai Sawunggaling dan Kiai Singotruno. Sawunggaling merupakan prajurit, dan Singotruno seorang menteri.
Keduanya lantas menyusun siasat. Sawunggaling dihias dengan busana Raja. Dan Singotruno berpakaian pengawal biasa berdiri di samping “raja†yang tengah duduk di pendapa.
Mendengar “raja†tengah sendirian di pendapa dan hanya ditemani seorang pengawal biasa, Purwonegoro yang diselimuti amarah menuju keraton dengan pedang terhunus.
Dengan gerakan cepat dan tenaga yang difokuskan untuk membunuh, ia membabatkan pedangnya ke tubuh Sawunggaling dari arah belakang.
Insting prajurit pada diri Sawunggaling bekerja. Meski diserang dari belakang, Sawunggaling bisa mengelak dengan lihai.
Pedangpun hanya menghantam tiang pendapa. Dan tak bisa dicabut. Saat itulah Sawunggaling yang langsung menghunus kerisnya menusukkan senjata tersebut ke tubuh Purwonegoro.
Bersamaan dengan ujung tombak Kiai Singotruno yang juga diarahkan ke Patih pembangkang tersebut.
Purwonegoro roboh, dan menghembuskan nafas terakhirnya di pendapa keraton. Menyisakan bekas yang awet hingga kini.
Atas jasanya, Sawunggaling diangkat menjadi menteri, dan Singotruno diangkat menjadi Patih menggantikan Purwonegoro.
RM Farhan