DALAM kehidupan sehari-hari kita selalu mendengar istilah tokoh dan toko.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Sepintas, dua kata ini jika dilafalkan hampir sama didengar telinga. Apalagi yang melafalkan orang yang tidak memiliki kecakapan pronunciation (pelafalan kosakata). Dan lawan bicara juga mengalami gangguan listening (pendengaran).
Bisa saja dua kata itu dipahami sama.
Secara harfiah, dua kata di atas memiliki arti beda walau ejaan dan ucapan nyaris sama. Kedua kata itu menyimpan makna, historis dan memiliki maksud serta tujuan berbeda.
Secara harfiah, kata toko memiliki makna tempat jualan berbagai produk. Si pemilik toko biasa melakukan kreasi dan inovasi agar tokonya ramai pembeli.
Dalam manajemen marketing, setiap produk ada pasarnya. Dengan lain kata, setiap pembeli pasti ada produk yang disukai.
Dalam konteks ini kecakapan pemilik toko dituntut kreatif. Dengan harapan, pembeli tertuju ke toko milknya.
Maka dipajanglah semua produk.
Pemilik toko tidak perlu menyeleksi nilai-nilai produk. Apalagi menyortir produk yang tidak berideologi dengan dirinya.
Dalam benak pikiran si pemilik toko adalah dapat berjualan produk dan mendatangkan hasil banyak dengan ramainya pengunjung.
Pemilik toko tak peduli. Apakah produk yang dipajang itu, bertabrakan dengan hati nurani pemilik toko. Atau tidak.
Yang penting. Toko-nya bisa menjual semua produk. Istilah, kerennya- departement store. Kata orang Madura toko serba ada.
Itu berbeda dengan kata tokoh. Makna kata itu teridentifikasi kepada sosok atau figur yang memiliki integritas dalam mempraktekkan nilai-nilai yang diyakininya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sosok itu selalu berbuat atas nilai-nilai dan ideologi yang diyakininya demi kepentingan agama dan masyarakat umum.
Tidak heran, jika masyarakat selalu menyematkan rasa hormat setinggi-tingginya dan bersikap patuh kepada sang tokoh atas ketulusan menjaga integritasnya.
Menjaga integritas menjadi panutan masyarakat. Sehingga masyarakat menaruh kepercayaan kepada sosok panutan untuk mengajar ilmu-ilmu agama kepada para putra/putrinya.
Masyarakat pun mengundang untuk memberi tausiyah agama di acara-acara besar Islam.
Dalam setiap pertemuan-pertemuan atau undangan, sosok yang benar menjaga integritasnya luar biasa dikagumi warga.
Sayang, ketika masuk dunia politik, tokoh panutan masyarakat itu berubah mengikuti manajemen toko.
Sosoknya ibarat toko serba ada. Partai sebagai media perjuangan ideologi dipahami sebagai toko jualan produk. Partai apa saja ditampung. Tanpa berpikir nilai dan ideologi partai.
Tokoh panutan masyarakat itu menjelma menjadi toko yang berjualan produk apa saja. Dia berjualan produk bukan hanya dari satu agen produk. Hampir semua agen produk ia jajaki untuk kulakan.
Agar lebih memuaskan hasil jualannya, terkadang ia mendatangi langsung pabrikan, pusat produksi. Tanpa berpikir offside kata banyak orang.
Yang ada dalam benak pikirannya adalah barang jualan laris. Tidak peduli penilaian orang. Tidak berpikir nilai-nilai idealisme. Tanpa peduli atribut tokoh disandang.
Sebagai tokoh semestinya yang menjadi target utama adalah perjuangan nilai-nilai dan ideologi untuk kemaslahatan ummat.
Jika misi awal yang dituju adalah moral kenapa berubah menjadi dolar?. Jika tujuan awal adalah ideologi, kenapa berubah menjadi gizi sebagai madzhab berpikirnya?.
Jika partai tidak lagi menjadi sandaran media perjuangan, kenapa mengajarkan praktek-praktek hedonis?.
Garis perjuangan tokoh sejatinya mengajak dan membawa masyarakat ke tujuan-tujuan ideologis. Bukan mengajak masyarakat melangkah ke sesuatu berbau pragmatis dan hedonis yang mengindahkan nilai-nilai dan ideologi yang diyakininya.
Hidup dunia ini tidak lepas dari nilai-nilai dan berfikir ideologis. Bukan hanya dunia politik yang terjerat rambu-rambu nilai dan ideologi.
Pembangunan jembatan Suramadu pun tidak luput dari nilai-nilai dan ideologi.
Secara fisik, orang hanya melihat jembatan dari kumpulan besi-besi, semen dan batu cor yang melebur menjelma jadi jembatan Suramadu merupakan kumpulan dari nilai-nilai.
Apalagi dalam dunia politik. Politik itu tidak bisa bebas dari nilai-nilai dan ideologi.
Nah…sosok yang memiliki komitmen yang kuat itulah bernama tokoh. Bukan toko serba ada.
bersambung…
*Bupati Sumenep dan Pengasuh Ponpes Al-Karimiyyah, Beraji, Gapura.