Religi

KH Thaifur Ali Wafa; Mursyid Thariqah dari Ambunten

×

KH Thaifur Ali Wafa; Mursyid Thariqah dari Ambunten

Sebarkan artikel ini
KH Thaifur Ali Wafa, Mursyid Thariqah Nasyabandi. (Foto/Mata Sumenep)

MataMaduraNews.comSUMENEP-Suasana sejuk begitu terasa ketika menginjakkan kaki di halaman pondok. Meski matahari ada di atas, udara masih bersahabat walaupun bulan puasa. Dari kejahuan, terdengar pengajian  kitab Firdausun Na’im. Puluhan  santri terlihat khusyuk mendengar penjelasan kitab karangan sang kiai yang berisi tafsir al Qu’ran.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Itu yang terasa ketika wartawan Mata Sumenep akan menemui, KH. Thaifur Ali Wafa, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Desa Ambunten Timur, Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep, bakda shalat Jumat (11/07/2014) lalu.

Kiai Haji Thaifur Ali Wafa merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Assadad, Ambunten Timur, Kecamatan Ambunten, Sumenep. Nama Kiai Thaifur Ali Wafa sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan masyarakat Sumenep. Beliau juga dikenal sering berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Apalagi, tekun menulis kitab. Karangannya, Bulghattullab, Tanwirul Baso’ir, Alfarqudurrofi’, Haba’ilu al Syawarid, Syarah Misykatul Anwar, Al Roaudun Nazhir, Kuthufud Daniyah, Sullamul Qashidin, Miftahul Ghawamid, Firdausun Na’im.

Terlepas dari itu semua, KH. Thaifur Ali Wafa juga salah seorang mursyid Thariqah Naqsabandiyah. Thariqah Naqsabandiyah, lanjutnya, merupakan salah satu thariqah muktabaroh yang sanadnya sampai kepada Rasulullah.

”Thariqah adalah perjalanan hati. Perjalanan hati untuk memperoleh ridha Allah Swt. dengan cara berdzikir,” ungkapnya.

Dalam kilasan sejarah, Thariqah Nasabandiyah berasal dari Nabi Muhammad saw. kepada sahabat Abu Bakar dan seterusnya. Kendati demikian, Thariqah Naqsabandiyah baru populer pada masa Muhammad Baha’uddin al Naqsabandi kisaran tahun 1317-1389 M di Turkistan.

Seiring dengan berjalannya waktu, Thariqah Naqsabandiyah sampai ke Indonesia. Thariqah Naqsabandiyah berkembang di Indonesia hingga kini ada dua; Khalidiyah dari Sayyidina Khalid dan Mudzhariyah Ahmadiyah dari Syaikh Muhammad Mudzhar al Ahmadi (wafat tahun 1884).

Thariqah Naqsabandiyah Mudzhariya bisa berkembang dan mengakar di Indonesia, terutama Jawa Timur dan Madura, sampai saat ini berkat  perjuangan khalifah Syaikh Muhammad Shaleh az Zawawi (khalifah dari Syaikh Muhammad Mudzhar al Ahmadi), yaitu Syaikh Abdul Adzim dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Syaikh Abdul Adzim sendiri adalah Wali Allah yang menguasai banyak cabang ilmu pengetahuan agama. Sebagai mursyid Thariqah Naqsabandiyah, beliau sukses menyebarkan Thariqah Naqsabandiya Mudzhariyah ke segala penjuru Republik Indonesia.

Syaikh Abdul Adzim juga memiliki banyak khalifa yang kesemuanya ‘alim. Di antara khalifa Syaikh Abdul Adzim adalah Syaikh Hasan Basuni Pakong, Pamekasan; Syaikh Muhammad Shaleh al Maduri; Syaikh Zainal Abidin Kwanyar, Bangkalan; Syaikh Muhammad Jazuli Sampang; dan Syaikh Ahmad Syabrawi al Maduri.

Dari masing-masing khalifah yang diangkat oleh Syaikh Abdul Adzim di atas, sebelum wafat mereka mengangkat khalifah baru. Hal ini yang membuat thariqah ini bisa berjaya di Indonesia sampai saat ini.

Pada tahun 1975-1996, mursyid Thariqah Naqsabandiya Mudzhariyah paling berpengaruh dan memiliki banyak pengikut adalah Syaikh Muhammad Shaleh atau lebih dikenal Syaikh KH. Lathifi Baidhawi, Malang, Jawa Timur.

Konon, Syaikh KH. Lathifi Baidhawi mendapat ijazah sebagai mursyid dari Syaikh KH. Ali Wafa di Ambunten, Sumenep.  Syaikh KH. Ali Wafa mendapat ijazah dari Syaikh KH. Ahmad Syirajuddin, Sampang. Syaikh KH. Ahmad Syirajuddin mendapat ijaza dari Syaikh Hasan Basuni, Pakong, Pamekasan dan Syaikh Hasan Basuni mendapat ijazah dari Syaikh Abdul Adzim, Bangkalan.

Sebelum wafat pada tahun 1996, Syaikh KH. Lathifi Baidhawi memberikan kepemimpinan mursyid kepada dua orang, yaitu Syaikh KH. Zahid Lathifi, puteranya sendiri dan KH. Thaifur Ali Wafa, putera dari Syaikh KH. Ali Wafa.

KH Thaifur Ali Wafa mengaku mendapat ijazah dari Syaikh KH. Lathifi Baidhawi saat beliau berumur 33 tahun. ”Saya diberi jazah oleh K. Muhammad Shaleh (Syaikh Lathifi Baidhawi, Red.) saat saya berusia 33 tahun, sekarang saya sudah 50 tahun,” imbuhnya, Jum’at, 11/07.

Di bawah kepemimpinan kiai yang memiliki empat orang putera dari satu istri ini, secara keseluruhan Thariqah Naqsabandiyah Mudzhariyah mimiliki ribuan jama’ah menyebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Sumenep. Antara lain, Kec. Ambunten, Kec. Gapura, Kec. Batang-batang, dll. Tidak hanya di daerah daratan, melainkan juga di kepulauan, seperti di kepulauan Sepudi. Bahkan, konon, ada juga ikhwan (sebutan untuk jama’ah thariqah) dari luar Madura, seperti Kalimantan.

Dari beberapa daerah tersebut, Kecamatan Batang-Batang dan kepulauan Sepudi-lah yang paling banyak jama’ahnya. Begitu juga dengan di lingkungan kediaman KH. Thaifur Ali Wafa. Menurut beliau, mayoritas masyarakat di sekitarnya menganut thariqah, bahkan mulai sejak kepemimpinan ayahandanya, Syaikh KH. Ali Wafa.

Untuk menjadi ikhwan dari Thariqah Naqsabandiyah, seseorang perlu mendatangi seorang mursyid terlebih dahulu untuk berbai’at. Menurut KH. Thaifur, seseorang tidak boleh sembarang ikut.

”Harus berbai’at. Harus berikrar. Harus mengakui. Harus mau mengamalkan. Pokoknya harus berbai’at terlebih dulu,” tegas KH. Thaifur.

Namun untuk saat ini, KH. Thaifur Ali Wafa sedang tawakuf (istirahat, Red.) dari kegiatan thariqah. Sewaktu aktif, kegiatan thariqah ini biasa diselenggarakan setiap Jum’at pagi. Kegiatan tersebut diberi nama Khatmil Khawajakan.

”Oleh orang Madura disebut hojhegen,” tambahnya.

Melalui thariqah, lanjut Kiai Thaifur, seseorang bisa lebih cepat ’sampai’ kepada Allah dan sifat-sifat tercela yang biasanya bersemayam dalam hati seseorang bisa cepat hilang. ”Thariqah bisa lebih cepat dibanding mujahada,” dawuhnya.

Sumber: Mata Sumenep