Kisah Awal Petualangan Ke’ Lesap, Pemuda Ambisius Yang Hampir Kuasai Madura

×

Kisah Awal Petualangan Ke’ Lesap, Pemuda Ambisius Yang Hampir Kuasai Madura

Sebarkan artikel ini
Kisah Awal Petualangan Ke’ Lesap, Pemuda Ambisius Yang Hampir Kuasai Madura
Goa Payudan di Sumenep. Lokasi bertapa Ke' Lesap di Madura Timur. (Foto/Istimewa)

matamaduranews.comKe’ Lesap, salah satu pemuda sakti dari Madura Barat di abad 18, membuat sejarah yang terus terukir hingga detik ini.

Sejarawan legendaris  Madura, R. T. A. Zainalfattah alias Kangjeng Sinal menulis tokoh ini dengan sebutan Pa’ Lessap. Sementara Prof. P. J. Veth, salah satu penulis sejarah Nusantara berkebangsaan Belanda menulisnya Pa’ Nessap.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Raden Werdisastra, penulis buku Babad Songennep (1914) menulis Pa’na Lesap. Penulisan berbeda di Babab Sumenep alih bahasa Indonesia cetakan pertama (1996). Di buku itu, Thoha Hadi, sang alih bahasa menulisnya Ke’ Lesap. Sebutan itu yang selanjutnya lebih populer di masa sekarang. Meski terkadang tetap ada yang menulis Pak atau Pa’ Lesap.

Asal-usul Ke’ Lesap atau Pa’ Lesap masih menjadi misteri. Cerita yang biasa berkembang dalam literatur sejarah Madura awal menyebutnya sebagai pemuda berdarah biru yang tak mendapat pengakuan.

Zainalfattah maupun Werdisastro menyebut Ke’ Lesap sebagai putra Panembahan Cakraadiningrat V (1707-1718) dengan isteri selir. Di kalangan resmi, Ke’ Lesap tidak diakui. Dan yang lebih penting lagi, Cakraadiningrat V juga tidak mengakui.

Pada suatu waktu Ke’ Lesap diberitahu oleh ibunya tentang siapa sebenarnya ayahnya. Sebagai seorang pemuda, ia merasa kesal dan berusaha untuk tampil ke depan dengan berbagai macam keahliannya. Ke’ Lesap muda memiliki kebiasaan suka sekali bertapa di gunung-gunung dan di kuburan-kuburan yang keramat. Pada suatu waktu ia bertapa di Gunung Geger di Bangkalan dengan durasi yang cukup lama.

Hingga setelah bertapa, ia mempunyai beberapa macam keahlian, dan keahlian utamanya sebagai dukun atau tabib untuk menyembuhkan bermacam-macam penyakit yang diderita oleh banyak orang.

Kabar itu akhirnya sampai terdengar oleh Panembahan Cakraadiningrat V. Selanjutnya Ke’ Lesap dipanggil dan diperkenankan untuk tinggal di Bangkalan, serta diberi hadiah berupa rumah dan langgar di Desa Pajagan. Selain itu Raja juga mengizinkan ia untuk menjalankan praktiknya sebagai dukun atau tabib.

Di  tempat itu Ke’ Lesap menjadi keramat. Yang datang tak hanya orang sakit, tapi orang dengan hajat lain, semisal pedagang yang ingin dagangannya laris, dan lain sebagainya.

Meski begitu, Ke’ Lesap masih merasa belum puas karena ia merasa sering diawasi oleh Raja. Sementara Ke’ Lesap sendiri mempunyai maksud tersembunyi, yaitu dia berambisi untuk memegang kendali pemerintahan di seluruh Madura hingga tapal kuda, dan sekaligus Bali. Karena itu Ke’ Lesap lantas diam-diam melarikan diri.

Ia meninggalkan kota Bangkalan pada tengah malam dan menuju ke arah Timur. Hingga akhirnya ia sampai di Gua Gunung Payudan di Sumenep. Di gua itulah ia bertapa untuk beberapa bulan lamanya.

Diceritakan bahwa Ke’ Lesap mempunyai sebuah senjata pusaka yang dinamai dengan Calo’ Kodhi’ Crancang. Senjatanya itu dapat disuruh untuk mengamuk sendiri tanpa ada seorangpun yang memegangnya. Karena kesaktian-kesaktian yang dimilikinya, maka ia semakin dikenal orang.

Akhirnya Ke’ Lesap merasa yakin pada dirinya sendiri bahwa ia sudah cukup mampu untuk mengobarkan api pemberontakan. Keahlian dan kemasyhurannya banyak membawa simpati pada rakyat, sehingga ketika ia turun dari pertapaannya di Gunung Payudan, Ke’ Lesap langsung dapat menaklukan desa-desa yang ia datangi. Dengan bantuan pengikutnya, Ke’ Lesap mulai menyerang kerajaan Sumenep pada tahun 1749-1750 M.

Pertempuran sengit sempat terjadi, dan tak lama kemudian Sumenep dapat didudukinya. Pangeran Ario Cokronegoro IV (Raden Alza), adipati Sumenep (1744-1749) bahkan hampir terbunuh. Beruntung ia berhasil melarikan diri bersama-sama keluarganya ke Surabaya, dan melaporkan adanya pemberontakan itu kepada Kompeni Belanda yang berada di Surabaya.

Karena Pangeran Ario Cokronegoro IV ini lari dari Ke’ Lesap, maka beliau disebut Pangeran Lolos. Setelah Keraton Sumenep dapat diduduki oleh Ke’ Lesap, ia menjadikan dirinya sebagai Adipati Sumenep (1749-1750).

Selanjutnya Ke’ Lesap menuju ke Pamekasan melalui jalan Sumenep sebelah selatan, yaitu melewati Bluto, Prenduan, Kaduara dan seterusnya. Di manapun tempat yang dilaluinya, dia berhasil menambah dukungan personel dari kawasan taklukannya, dan mereka menggabungkan diri sebagai pasukan pemberontak.

Pamekasan dengan mudah pula dapat dikalahkan oleh Ke’ Lesap, karena pada waktu itu Bupati Pamekasan, Raden Isma’il (Raden Tumenggung Ario Adikoro IV) tidak ada di tempat. Beliau sedang bepergian ke Semarang.

Raden Tumenggung Ario Adikoro IV tak lain adalah menantu Panembahan Cakraadiningrat V, yang disebut di muka. Sewaktu Raden Tumenggung Ario Adikoro IV kembali dari Semarang dan singgah di Madura Barat, ia lalu mendengar dari mertuanya bahwa Ke’ Lesap melakukan pemberontakan dan kini sedang menuju ke Barat.

Setelah mendengar berita itu, Adikoro IV memohon diri kepada ayah mertuanya untuk berangkat berperang melawan Ke’ Lesap. Adikoro IV sangat marah karena memikirkan nasib rakyat Pamekasan yang tentunya kocar-kacir karena ditinggal pemimpinnya. Dengan diiringi pengikutnya yang setia, Raden Adikoro IV terus menuju ke Sampang.

Di kota tersebut beliau berhenti untuk beristirahat sebentar. Pada saat makan siang datanglah seorang utusan Ke’ Lesap dengan membawa sepucuk surat yang isinya menantang untuk berperang. Sebagian isi surat itu berbunyi “kalau kamu takut berperang melawan saya, lebih baik istrimu berikan pada saya”.

Raden Adikoro IV sangat marah, dan serta-merta nasinya tidak dimakannya, bahkan ia terus berdiri dan menanyakan kepada orang-orang banyak, siapa yang sanggup mengikuti dirinya untuk berperang dengan Ke’ Lesap.

RM Farhan

KPU Bangkalan