Model tradisional ini disebut sebagai pengajaran yang ‘’mutawatir’’ atau menyambung langsung kepada para ulama salaf. Dalam tradisi Islam para ulama disebut sebagai pewaris nabi, dan karena itu, mengaji langsung kepada ulama disebut sebagai ‘’mutawatir’’ karena langsung menyambung sampai ke Rasulullah.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Filosof muslim Imam Al-Ghazali bahkan mewajibkan adanya guru langsung bagi seorang santri yang ingin belajar agama Islam. Tanpa guru yang melakukan supervisi langsung dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam transfer pemahaman. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar munculnya metode pengajian sorogan yang langsung diasuh oleh para kiai.
Pandangan Al-Ghazali ini sampai sekarang masih tetap kuat dan dianut secara luas di kalangan Islam tradisional, terutama dalam sistem pengajaran pesantren. Model pengajaran Al-Ghazali ini disebut sebagai bagian dari ortodoksi Islam.
Para pengritik Al-Ghazali menyebut ajaran ini sebagai penghalang bagi munculnya kreatifitas dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer. Metode pengajaran Al-Ghazali ini dianggap menghalangi kemampuan melakukan ijtihad untuk merespons berbagai persoalan mutakhir.
Penganut Al-Ghazali berpendapat bahwa justru metode pengajaran konvensional inilah yang bisa menjaga originalitas ajaran Islam. Dalam pandangan ini Islam telah memberikan ajaran yang ‘’kaffah’’ komprehensif, yang sesuai dengan segala keadaan tempat dan waktu, ‘’shalihun likulli zaman wa makan’’, dan karenanya tidak perlu ada yang ditambah atau dikurangi.
Para ulama memerankan posisi sentral dalam tatanan masyarakat tradisional. Mereka bukan hanya menjadi tumpuan untuk bertanya mengenai persoalan-persoalan agama, tetapi juga menjadi tumpuan untuk bertanya mengenai masalah-masalah kehidupan seperti ekonomi, pertanian, perdagangan, kesehatan, dan juga perjodohan. Banyak sekali masyarakat yang datang ke kiai untuk meminta berkah sebelum menanam padi dan meminta doa supaya anaknya segera mendapatkan jodoh.