Berita Utama

LBH Lentera: Kasus Ghinan Ancaman Bagi Profesi Wartawan

×

LBH Lentera: Kasus Ghinan Ancaman Bagi Profesi Wartawan

Sebarkan artikel ini
Anggota LBH Lentera, Salawati Taher (tengah) bersama timnya saat mendatangi Mapolres Bangkalan untuk mengawal kasus kekerasan wartawan Jawa Pos Radar Madura, Ghinan Salman, Senin (26/09). (Foto/Eko)
Anggota LBH Lentera, Salawati Taher (tengah) bersama timnya saat mendatangi Mapolres Bangkalan untuk mengawal kasus kekerasan wartawan Jawa Pos Radar Madura, Ghinan Salman, Senin (26/09). (Foto/Eko)
Anggota LBH Lentera, Salawati Taher (tengah) bersama timnya saat mendatangi Mapolres Bangkalan untuk mengawal kasus kekerasan wartawan Jawa Pos Radar Madura, Ghinan Salman, Senin (26/09). (Foto/Eko)

MataMaduraNews.com, BANGKALAN – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera memberikan pendampingan hukum kepada wartawan Radar Madura (Jawa Pos Group), Ghinan Salman, yang mengalami kekerasan oleh sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Dinas PU Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bangkalan.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Bantuan hukum ini diberikan setelah Ghinan yang merupakan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, menilai kasus yang membelitnya tidak ditangani sebagaimana mestinya oleh penyidik Polres Bangkalan. Polisi menganggap kasus ini pidana umum, sehingga enggan menerapkan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

“Kami mendatangi Polres Bangkalan untuk berdiskusi terkait penanganan kasus ini. Ada beberapa versi kejadian yang kami dapatkan. Namun yang jelas, kami sudah meminta penyidik untuk melakukan pemeriksaan tambahan karena ada banyak fakta yang belum masuk berkas acara pemeriksaan (BAP),” ujar Salawati Taher, anggota tim LBH Lentera, Senin (26/9).

Pemeriksaan tambahan ini, kata Salawati, penting karena ternyata penyidik tidak melihat Ghinan sebagai jurnalis yang menjalankan tugasnya saat kejadian pengeroyokan berlangsung. Ia menjelaskan, Ghinan dikeroyok para pelaku lantaran menolak menghapus foto para pelaku yang sedang bermain tenis meja di jam kerja. Artinya, pengeroyokan ini berkaitan langsung dengan profesi Ghinan sebagai wartawan. Jika dibiarkan, LBH khawatir kasus Ghinan bisa menjadi awal tumbuhnya ancaman bagi profesi wartawan .

Kasus ini terjadi, pada Selasa (20/9) sekitar pukul 09.00 WIB, saat Ghinan liputan ke Dinas PU Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bangkalan. Ghinan melihat ada PNS di lingkungan dinas sedang main tenis meja di sebuah ruangan. Saat itu masih jam kerja. Ghinan kemudian memotret aktivitas yang dia lihat tersebut.

Tak lama berselang, para PNS itu mendatangi Ghinan yang duduk di lobi dan memerintahkan Ghinan untuk menghapus hasil foto. Ghinan menolak permintaan itu. Dia sudah memperkenalkan diri sebagai jurnalis. Namun pelaku malah mengancam Ghinan. Ia menilai, pengeroyokan ini berkaitan dengan penolakan Ghinan menghapus file foto.

Salawati bersama anggota LBH Lentara lainnya, Yohanes Dipa Widjaja juga mendatangi redaksi Radar Madura untuk mendiskusikan masalah ini. Salawati menegaskan, apa yang terjadi pada Ghinan bukanlah masalah pribadi, melainkan profesi. “Kami juga berharap perusahaan media ini peduli dan aktif menindaklanjuti kasus Ghinan,” imbuhnya kepada Mata Madura.

Menurut Salawati, Ghinan sudah menjalankan fungsinya sebagai jurnalis. Ghinan menganggap, sekumpulan PNS bermain tenis meja di sebuah ruangan pada jam kerja adalah tindakan yang tidak patut. Karena itulah ia berinisiatif meliputnya. Begitu juga dengan upaya damai yang diinisiasi Kepala Dinas PU Bina Marga dan Pengairan, Taufan Zairinsyah dengan mengajak Ghinan makan gule dan rawon sangat tidak etis.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Surabaya itu juga mengingatkan, Memorandum of Understanding (MoU) antara Polri dan Dewan Pers yang ditandatangani pada 2012. Dalam kesepakatan bersama itu, ditegaskan bahwa semua kasus yang berkaitan dengan sengketa pers, diselesaikan menggunakan UU Pers. Menurut Salawati, kasus Ghinan termasuk dalam kesepakatan itu.

Sementara itu, Ketua AJI Surabaya, Prasto Wardoyo, menyayangkan sikap perusahaan media tempat Ghina bekerja, yang tidak menindaklanjuti kasus ini secara serius. Padahal, perusahaan wajib memberikan pendampingan hukum dan berkoordinasi dengan Dewan Pers serta organisasi keprofesian wartawan.

AJI Surabaya juga meminta redaksi dan manajemen Radar Madura mendukung upaya yang dilakukan Ghinan. Sebagai korban, suara Ghinan harus menjadi acuan langkah yang ditempuh Radar Madura. Pembelaan yang berperspektif korban dinyatakan Dewan Pers dalam Peraturan Dewan Pers No 1/Peraturan-DP/III/2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan. (eko)