Molangkeng Reborn

×

Molangkeng Reborn

Sebarkan artikel ini
Molangkeng
Reborn. (muhsinlabib.com)

Oleh: Syarwini Syair*)

Di langgar bambu samping rumah, saat lagi terik-teriknya siang, ada seseorang yang mengganggu tidur qailulahku. Seseorang yang sudah lama tertinggal dalam sejarah masa silam. Raut wajahnya memantulkan rupa kultural orang-orang Madura, sebelum jembatan Suramadu dibangun. Sebelum pola hidup materialis merebak ke sudut-sudut perkampungan penduduk, dan lantas menjadikan mereka makhluk matematis.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

“Sudah, jangan sok bingung begitu,” sambil cengir, menampilkan panorama giginya yang kuning langsat, dengan rambut gondrong tak terurus. Ia duduk. Tanpa disuruh, tangannya mengambil sebatang rokok. Tidak disulut, sekadar dimain-mainkan di jemarinya.

“Sekarang ini, sudah terlalu banyak orang bingung. Bingung terhadap mekanisme kekuasaan yang terus melanggengkan ketergantungan global. Bingung dengan terus digembar-gemborkan kampanye anti radikalisme agama, seolah tak pernah ada radikalisme politik. Bingung dengan surat edaran Pak Kades untuk shalat tepat waktu bagi seluruh aparatur desa saat tugas kerja. Bingun dengan gejolak pembangunisme, investasi asing, dan industri neoliberal yang semakin dimuluskan dengan kebijakan dan pasal-pasal…”

“Lho, shalat di awal waktu kan bagus,” aku mencoba protes. Ia tertawa.

“Hei, Cong! Bagi pejabat publik, kesalehan profesional lebih penting dari pada kesalehan ritual. Shalat itu urusan pribadi, sedangkan bekerja dengan pelayanan maksimal, itu menyangkut urusan orang banyak. Jangan sampai shalat dijadikan tameng….”

Ia terus ngacopok. Terus menggerutu terhadap dirinya sendiri. Di tengah suaranya yang agaremmeng, tentang banyak hal. Aku pelan-pelan merapikan ingatan. Mendaur ulang kenangan-kenangan, yang sudah lama berceceran dan diterbangkan angin, berantakan. Jleebb, aku ingat sekarang!

“Molangkeng,” aku teriak girang, “Angin apa yang membawamu ke mari?” Ia tak bergeming. Tak menanggapi. Tak menoleh. Raut mukanya biasa saja, menatap entah. Hanya kuperhatikan jauh di sudut matanya, tersimpan semacam kegelisahan yang dalam.

Iya, dialah Molangkeng. Tak ada yang tahu, dari mana ia berasal. Menurut cerita para orang tua, Molangkeng adalah anak kebudayaan. Ia terlahir dari proses kultural masyarakat Madura, terutama untuk mengidentifikasi anak-anak di bawah umur yang tak berpakaian. Jadi, kalau ada di antara kami, pada masa kanak-kanak, yang tidak memakai baju saat bermain, pasti akan dibilang: “Kamu Molangkeng!”. Lantas kami segera berpakaian, karena dikatain sebagai Molangkeng: ia adalah simbol dari manusia yang tak punya malu. Bagi orang Madura, lebih baik putih tulang daripada putih mata.

Lama-lama, Molangkeng seperti bermetamorfosis menjadi sosok yang tak kasat mata. Namanya lama tak terdengar. Kemudian benar-benar hilang dalam kerangka kultural masyarakat Madura, yang pasca jembatan Suramadu, sudah mulai pragmatis. Mulai menampilkan citra yang agak hedon dan serba material, pun juga dalam urusan agama. Ups, kok bisa ya agama menjadi ajang materialistik?

Siang ini, Molangkeng tiba-tiba nongol tak disangka. Mungkin selama bertahun-tahun ia sedang merantau, atau bertapa, atau apa saja untuk menghindari keramaian. Dan tentu saja ia punya alasan: justru disaat orang sudah menghapusnya dari buku catatan, ia hadir kembali dalam ruang, situasi, dan tatanan kebudayaan yang sudah berbeda. Ia seperti ingin mengingatkan: bahwa sudah lama kami hidup telanjang.

Tentu saja, tafsir terhadap pakaian bukan hanya berlaku pada sesuatu yang disangkutkan di badan. Ia bisa menyasar terhadap nilai-nilai yang berlaku di berbagai dimensi, ya politik, ya ekonomi, ya budaya, dan ya ya ya yang lain. Ketika pakaian dalam politik dilepas, maka gerakan politik ini menjadi telanjang. Ia tak punya nilai-nilai yang dijadikan landasan dan acuan. Pancasila, cukup diucapkan sesekali saja. Dan kita tak perlu merasa malu, meskipun terdapat satu kekuatan besar, yang secara gamblang menelanjangi pakaian politik sejak lama.

Termasuk pula persoalan ekonomi. Coba perhatikan! Jangankan kita, negara saja tidak punya kekuatan untuk menghentikan laju neoliberal. Bahkan cenderung menjadi semacam pipa yang menyalurkan air kapital ke berbagai rumah tangga rakyat di dusun-dusun. Jangan bicara soal alih fungsi lahan, itu sudah menjadi hukum alam yang diciptakan negara. Ketika yang mengolah tanah sawah tegalan bukan lagi orang-orang kampung, tidak perlu protes. Cukup disadari saja bahwa orang-orang asing itu sengaja diundang untuk membawa kemajuan-kemajuan. Soal lagi-lagi kita ditelanjangi, itu urusan belakangan.

“Walah Cong, pikiranmu kok ke mana-mana? Ini urusan shalat saja belum selesai,” Molangkeng setengah melotot. Mengacaukan pikiran.

“Bagian mana yang belum selesai?”

“Begini ya, aku cerita saja. Dahulu, saat NU masih menjadi partai politik. Ada seorang ketua Partai NU di Sumenep yang tidak shalat. Lalu oleh beberapa pengurus yang lain dilaporkan kepada KH. Usymuni, yang pada waktu itu menjabat sebagai Rois Syuriah. Begitu pengaduan selesai, dengan santai sang kiai kharismatik itu menjawab: urusan shalat tidak shalat, itu urusan dia dengan Allah. Tapi kalau dia berkhianat terhadap organisasi, melanggar AD/ART partai, baru itu menjadi urusan saya….

Nah, sekarang. Partai-partai sekular nasionalis, yang rata-rata bodoh soal agama, tiba-tiba sebagian personelnya bikin kebijakan atau aturan-aturan yang sok perhatian pada agama. Persis seperti yang dilakukan oleh Pak Kades. Tujuannya cuma satu: materialistik,”.

Sok tahu, itulah ciri khas Molangkeng. Memangnya dia sendiri pernah nyantri. Ngomong seenak mulutnya saja. Pak Kades yang sudah berusaha dengan sebaik-baiknya menjalankan Ketuhanan Yang Maha Esa, kok malah diributin.

“Ingat ya, apa yang aku omongin semuanya tidak benar. Kebenaran hanya milik negara. La syarika lah”.

Dasar Molangkeng!

*) Penulis tinggal di Candi, Dungkek, Sumenep

KPU Bangkalan