Negara La Syarika Lah

×

Negara La Syarika Lah

Sebarkan artikel ini
Kepentingan Negara
Ilustrasi. (KolFil)

Oleh: SyarwiniSyair*)

Negara itu tidak bisa diduakan. Dialah satu-satunya pemegang otoritas. Apa yang menjadi kemauan negara, harus pula menjadi kemauan rakyat. Suara negara adalah suara Tuhan. Bahkan, Tuhan saja masih disa dinego, negara hampir tidak. Dan apa yang disebut sebagai kepentingan negara, terkadang merupakan sesuatu yang bukan menjadi kepentingan negara.

Ketika Pak Kades tiba-tiba memberikan pengumuman bahwa dia akan membangun kolam renang, orang-orang kampung pada ribut. Pertama, kolam renang itu akan dibangun di lahan pertanian dan perkebunan penduduk. Kedua, mereka tidak butuh atas keberadaan kolam renang yang dianggapnya mubadzir, apalagi dengan cara merampas ruang rakyat. Tapi Pak Kades tetap bersikukuh: “Ini demi kemajuan dan kepentingan negara!”.

Lagian, belakangan ini negara kan lagi sering kedatangan tamu. Kebetulan tamu-tamu itu punya kebiasaan berenang di negeri asalnya. Maka sebagai bentuk memuliakan para tamunya, sudah sewajarnya Pak Kades, atas nama negara, membangunkan kolam renang untuk mereka. Lagi pula, duit yang digunakan untuk membangun kan dari mereka juga, tidak mengambil duit rakyat. Tidak seperti membangun masjid, yang duitnya seringkali dimintakan pada orang-orang, baik di jalan-jalan, maupun door to door.

Dulu, Pak Kades pernah marah-marah, gara-gara dia mejumpai sekelompok orang di pinggir jalan, meminta sedekah pembangunan masjid pada setiap orang yang lewat. Itu memalukan. Mettha’ buri’ e tenga lorong. Membeberkan keburukan sendiri pada orang lain. Orang-orang jadi pada tahu, kalau kita tidak cukup duit untuk sekadar membangun masjid.

Lha, terus kalau bangun kolam renang, lengkap dengan penginapan, restoran, taman bermain dan berbagai kelengkapan hidup mewah lainnya, kok mampu? Itulah hebatnya negara. Ia selalu mampu melaksanakan apa yang menjadi kemauannya sendiri. Dengan segala cara.

“Ya sudah, lebih baik kita hidup tanpa negara,” celetuk Mat Sura tiba-tiba.

“Hei, apa kamu sudah mulai ketularan pemikiran kaum marxis, masyarakat tanpa negara? Itu sekadar omong kosong!” Molangkeng yang sedari tadi diam, mendengar ucapan Mat Sura jadi ikut bersuara.

“Alah Keng, tahu apa kamu tentang marxisme?. Kita memerlukan kaca mata mereka, untuk bisa melihat tali temali ketidakadilan kelas dan ketimpangan sosial yang terus diproduksi oleh negara!” Kini giliran Markawi yang menanggapi. “Apalagi, sudah kewajiban negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya…”

“Keadilan itu semestinya terdapat pada cara berpikirmu, sudut pandang budayamu. Jangan sesekali berharap keadilan pada negara. Negara memiliki ukuran keadilan sendiri yang tidak sama dengan standar keadilan orang-orang kecil macam kita….”

Molangkeng diam, begitu pun yang lain. Obrolan di warung pinggir jalan, sekitar 100 ke selatan balai desa, menjadi terputus. Sebelum akhirnya Ke Karsudin, si pemilik warung, memecah keheningan: “Pagi-pagi segar begini, lebih cocok menikmati segelas kopi, sebatang rokok, sambil sesekali makan gorengan. Nikmat Tuhan akan lebih terasa daripada ngomongin urusan negara yang ribet dan terlalu sulit bagi kita”.

Obrolan pun pindah ke tema lain. Tapi tidak dengan pikiran Molangkeng. Ia terus menerawang entah ke titik mana. Hatinya masih gundah gulana. Terlalu banyak perubahan yang terjadi di kampung ini. Sejak ia menghilang selama 25 tahun, sudah banyak hal tak terduga yang terjadi. Ah, tapi bagaimana mungkin, orang kecil macam dia, sanggup membaca dan menduga kemungkinan-kemungkinan masa depan. Satu-satunya yang punya otoritas untuk merancang masa depan, 10 sampai 100 tahun ke depan, hanya negara.

Badannya memang di warung Ke Karsudin, pikirannya masih di Pelabuhan Dungkek. Tiga hari lalu, ia menyaksikan pelabuhan yang baru dibangun itu. Tentu, bukan karena semata proyek wisata Gili Iyang, pelabuhan ini akan menjadi semakin strategis ketika Ibu Kota sudah pindah ke Kalimantan.Keesokan harinya, ia menyaksikan uji coba pesawat Amphibi Travira Air, yang menjadi seaplane jalur wisata udara, antara Pulau Bali dan Pulau Gili Iyang. Semua pembangunan ini diharapkan mampu mendorong peningkatan ekonomi masyarakat, kata seseorang. Iya, tapi yang lebih masuk akal, meningkatkan ekonomi konglomerat. Molangkeng membatin.

Kalau semua itu menandakan sebuah kemajuan peradaban, ia senang sekaligus khawatir. Senang karena kiamat semakin dekat. Hanya kiamat yang akan menghentikan laju sebuah negara. Khawatir apabila kerangka kemajuan tidak dibangun di atas pondasi-pondasi kearifan, budaya dan nilai-nilai peradaban leluhur. Molangkeng tahu, bahwa e paddu Mordhaja (wilayah timur daya Madura) ini, menyimpan sebuah peradaban besar masa lalu, yang menjadi rujukan banyak orang.

“Tapi kamu kan tidak punya bukti-bukti arkeologis yang bisa mendukung pikiranmu itu, Keng,” sekarang giliran aku yang menimpali.

“Husss, tidak ada bukti itu bukan karena tidak ada, tapi memang sengaja ditiadakan. Sengaja disembunyikan. Ada banyak kemungkinan, kenapa harta karun peradaban di masa lalu hilang tak terlacak. Sebab kalau semua diketahui, khawatir akan diambil orang, dan akan diakui sebagai milik mereka,” Molangkeng berapi-api. Potongan wajahnya tampak serius. Ah, pasti seriusnya hanya akting belaka. Mana ada manusia seperti dia serius.

“Melihat tanda-tanda yang ada, pembangunan di kampung ini, sama sekali tidak merujuk terhadap nilai-nilai peradaban Mordhaja. Ia terlihat begitu asing…” Molangkeng menutup ocehannya dengan kalimat penuh tekanan.

*) Penulis adalah santri alumni Pondok Pesantren Pangarangan Sumenep dan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama.

KPU Bangkalan