matamaduranews.com-Lama tak menyeberang ke Pulau Sapudi lewat Pelabuhan Dungkek. Aktivitas penyeberangan nyaris tak berubah, seperti waktu 50 tahun lalu. Seperti biasa. Penumpang diharuskan menaiki tambengan (perahu kecil) menuju perahu mesin yang akan berlayar.
Di sebelah tempat labuh perahu rakyat itu. Tampak deretan tiang beton. Berjejer dari bibir pantai hingga ke tengah laut. Rupanya itu bangunan Pelabuhan Dungkek yang bersumber dari Bantuan Keuangan (BK) Pemprov
Jatim untuk Pemkab Sumenep senilai Rp 60 miliar pada tahun 2019, lalu.
Hibah murni Pemprov Jatim ke Pemkab Sumenep itu untuk dibangun dua lokasi dermaga. Satu dermaga berlokasi di Dungkek, pagu proyeknya senilai Rp 41,6 miliar. Dikerjakan mulai tahun 2020. Satunya di Dermaga dj Pulau Giliyang sebesar Rp 15 miliar sekian.
Pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek itu Dishub Sumenep-sebelum merger ke DPRKP.
Gubernur Jatim Khofifah sebatas menyerahkan BK Rp 60 miliar secara simbolis kepada Bupati Sumenep KH A Busyro Karim, waktu itu.
Biasanya saya nyeberang ke Pulau Sapudi via Pelabuhan Kalianget. Di sana ada Kapal Feri rute Kalianget-Sapudi-Jangkar. Perjalanan dari Pelabuhan Kalianget ke Tarebung Sapudi cukup 2,5 jam.
Jumat pagi, 31 Maret 2023. Saya sengaja berlayar seorang diri ke Sapudi via Dungkek. Anggap ngebolang.
Jarak Dungkek ke Pulau Sapudi 19,1 mil. 1 mil kalau dikonversi ke km: 1,609 km. Jadi, jarak Dungkek Sapudi 30,7 km. Kalau ditempuh jalur darat dengan lancar butuh waktu sekitar 30 menit. Tapi perahu rakyat yang membawa penumpang masih bertenaga mesin diesel. Selain bising. Laju perahu landai. Sekitar 2 jam baru siap-siap sandar.
Saya minta istri antar ke pangkalan mobil angkutan di Pasar Bangkal. Di tempat itu, angkutan rute Dungkek dan Batang Batang.
Tak lama menunggu. Lalu ada yang ngajak untuk naik. Si sopir ternyata kenal. Dia menyapa. Lalu buka masker. Dia sebut saja nama inisial N. Pensiunan salah satu OPD Pemkab Sumenep. Dulu waktu aktif sering nemanin ngopi santai. Lebih lebih kalau ada kegiatan di pulau.
Perjalanan skitar 45 menit tiba di Pelabuhan Dungkek. Angkutan itu masuk ke arah timur. Melewati dermaga yang masih kenyes-kenyes. Saya diam. Tak perlu tanya. Cukup cari di mesin pencarian google. Sudah ketemu kenapa belum dioperasikan.
Akar masalahnya bukan karena faktor yang menyebabkan bangunan hasil bantuan keuangan Pemprov Jatim itu tak segera berfungsi. Tapi lalu lintas pelayaran di Dungkek itu sebenarnya berpotensi menarik wisatawan untuk meramaikan dunia pariwisata Sumenep.
Dari pelabuhan Dungkek bisa terkoneksi ke Objek Wisata Kesehatan di Pulau Giliyang. Waktu tempuh jika menggunakan perahu rakyat tak sampai 1 jam. Kalau hendak ke Pulau Sapudi juga bisa jadi jujukan Wisata Bahari seperti snorkeling di perairan Tarebung. Terumbu karang-nya masih jernih dipandang mata dari atas air.
Di Pulau Sapudi juga ada objek Wisata Religi. Asta Kakek Joko Tole dan Adi Poday, ayah Joko Tole.
Potensi objek wisatawan itu, perlu dicarikan solusi. Salah satunya bisa dilakukan peremajaan angkutan laut untuk kenyamanan pengunjung. Teknis desain sarana transportasi itu bisa dibahas khusus.
Dari sini akar masalah yangbbelum terurai. Potensi wisata yang menggiurkan. Tapi sarana transportasi menuju objek wisata itu masih konvensional. Tergolong ruwet dan tak bikin happy.
Orang kampung saja ogah lewat jalur itu. Apalagi wisatawan yang hendak berlibur.
Bagaimana menurut Anda?