MENILIK masa Pangeran Ranggadibasa, Pate Bangsa (R. Demang Wongsonegoro), dan Pate Atma (R. Atmodilogo) atau Pate Suri (R. Kromosure) secara pasti agak sulit. Karena catatan mengenai beliau, termasuk silsilah keluarga besar Dalem Panggung Pangeran Ronggodiboso, sama sekali tak penyebut angka tahun. Begitu juga mengenai keterangan jabatan beliau sebagai pepatih (Patih Dalem) keraton Sumenep.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Namun setidaknya hal itu bisa dilacak dengan analisa catatan keterangan tahun dan info riwayat sohih turun-temurun. Pertama, masyhur di kalangan keluarga Dalem Panggung Ronggodiboso, bahwa putranya yang bernama Pate Bangsa (Wongsonegoro) dan Pate Atma (R. Atmodilogo) adalah saudara sepupu dari Pangeran Jimat (Cakranegara III) dan Ratu Tirtonegoro (isteri Bindara Saut).
Di catatan silsilah keraton Sumenep, susunan R. B. Abdulfattah (1989) dan buku tulisan RTA Zainalfattah (1952), serta Babad Songennepnya Raden Werdisastra (1914), disebut bahwa Pangeran Pulangjiwo, Rato Sumenep yang memerintah 1672-1678 M memiliki di antaranya dua anak perempuan. Yang pertama ialah isteri dari Pangeran Rama (Cakranegara II), dan berputra beberapa orang, di antaranya Pangeran Jimat, Ratu Tirtonegoro, dan ibunya Pangeran Lolos (Cakranegara IV).
Putri kedua Pangeran Pulangjiwa menikah dengan Raden Ario Joyokusumo, dan berputra Raden Ayu Kasi. Raden Ayu Kasi ini disebut dengan Raden Ayu Wongsokusumo, yang bermakna isteri dari Raden Wongsokusumo, yaitu Patih Sumenep.
Jika Wongsokusumo ini yang dimaksud adalah Wongsonegoro, tulisan silsilah tersebut sinkron dengan riwayat turun-temurun yang menyebut Pate Bangsa (Patih Wongso) adalah sepupu Pangeran Jimat. Namun lebih tepatnya ialah isteri Pate Bangsa yang bersaudara sepupu dengan Pangeran Jimat sesaudara.
Sehingga bisa diasumsikan, Pate Bangsa menjabat sebagai Patih Sumenep di masa Pangeran Jimat atau di masa Pangeran Rama. Sekaligus, bisa diduga, Pangeran Ronggodiboso menjabat patih di masa Pangeran Pulangjiwa atau Tumenggung Yudonegoro.
“Kalau menurut riwayat turun-temurun, Dalem Panggung Pangeran Ronggodiboso itu sudah berdiri sejak masa Yudonegoro,†ungkap Iik Guno Sasmito.
Kedua, keponakan Pate Bangsa, yaitu Raden Mas Tumenggung Kertoboso Pratalikromo, Hoofd Jaksa Sultan Sumenep, berdasar beslit tahun 1827 M, diceritakan merupakan keluarga sentana keraton yang menjabat Patih di masa akhir Panembahan Sumolo (Notokusumo I). Dan di masa Sultan Abdurrahman pensiun sebagai Hoofd Jaksa.
Pratalikromo ini adalah anak Raden Atmologodiwongso (Patih Atmologo) anak Pangeran Ronggodiboso (Pate Rangga).
Menurut riwayat lisan, Pratalikromo lebih sepuh dibanding Sultan Sumenep yang kelahiran 1770-an. Perkiraan tahun kelahiran hingga Pate Bangsa diperkirakan sesuai dengan analisa pertama, khususnya yang paling kuat ialah riwayat bahwa Pate Bangsa adalah sepupu Pangeran Jimat sesaudara.
Keluarga Pate Rangga, Pate Bangsa dan Pate Atma atau Sure dikenal sebagai keluarga yang disandari oleh Ratu Tirtonegoro, khususnya ketika terjadi pro-kontra akan munculnya Bindara Saut sebagai Rato Sumenep, yang notabene di luar keluarga keraton dinasti Yudanegara-Kanduruhan.
Sosok Pate Rangga, Pate Bangsa, dan Pate Atma ini dikenal sebagai sosok tegas, pemberani, dan berwibawa besar. Sehingga ketika terjadi pro-kontra, dan Pate Bangsa dan Pate Atma memihak pada Rato Terta (Ratu Tirtonegoro) dan Bindara Saut, maka mayoritas keluarga dinasti Yudonegoro ikut memihak sang Ratu dan suaminya.
Keluarga Cendekia dan Alim Ulama
Dalam catatan Wedana Mahfudh Wongsoleksono maupun Wedana Ramli Sasmitokusumo di atas, Raden Demang Wongsonegoro (Pate Bangsa atau Ju’ Bangsa) berputra dua orang. Yaitu , Raden Singowongso (Pate Senga), dan Raden Wongsodirejo (Pate Bangsa II). Sedang Raden Atmologo atau Raden Kromosure berputra berputra Raden Syirwana yang bergelar Raden Mas Tumenggung Ronggo Kertoboso Pratalikromo (Hoofd Jaksa Sumenep).
Pratalikromo dikenal sebagai tokoh yang alim dan menguasai beberapa bahasa. Beliau yang membantu Sultan Sumenep dalam menerjemahkan prasasti berbahasa Sansekerta yang diminta oleh Gubernur Jenderal TS Raffles.
Pratalikromo berputra di antaranya Raden Wongsokusumo I atau Ke Bangsa (manteri Sepudi yang selanjutnya berdasar catatan keluarga Dalem Panggung Ronggodiboso, diangkat Panembahan Sumolo sebagai bupati Sepudi). Dua cucu Wongsokusumo ini di antaranya ialah Raden Mertowiseso (sekretaris Panembahan Moh Saleh Notokusumo), dan Raden Wongsotaruno (Patih Sampang yang dikenal dengan nama Pate Siwa).
Putra Pratalikromo yang lain bernama Raden Sukari alias Atmologo II. Raden Sukari ini berputra R. Abubakar Sumodilogo, ayah dari Raden Tayyib Sumosastro. Sedang Raden Tayyib ini adalah ayah dari Raden Musa’et alias Raden Werdisastro (penulis buku Babad Songennep).
Sementara putra Pate Bangsa (Raden Demang Wongsonegoro) yang bernama Raden Singowongso dalam catatan Wedana Ramli disebut sebagai Patih Sumenep. Namun di catatan Wedana Mahfudh disebut sebagai Kepala Ambunten (bergelar Demang Singowongso). Raden Demang Singowongso ini berputra Raden Singoleksono I, yaitu yang dikenal dengan sebutan agung; Kiai Macan Ambunten (Kiai Macan I alias Kiai Macan Seppo), yang menurunkan banyak kiai-kiai di Ambunten, di antaranya K. H. Aliwafa (mursyid Thariqoh Naqsyabadiah) dan K. R. P. Wongsoleksono (Penghulu).
Putra Raden Singoleksono I, yaitu Raden Geluduk alias Raden Singoleksono II alias Kiai Macan II, seperti halnya ayahnya merupakan waliyullah besar Ambunten di masanya. Banyak riwayat-riwayat karomah tentang beliau berdua. Seperti kisah Kiai Macan Seppo yang membangun pagar komplek utama Asta Tinggi dalam waktu sehari. Beliau menyusun batu bata tanpa bahan perekat, dan tetap kokoh hingga detik ini.
Selain itu kisah Kiai Macan II yang menundukkan perampok dan pencuri di kawasan Ambunten, cukup dengan menabuh kentongan bambu. Di masa beliau Ambunten menjadi daerah paling aman, karena tak satu pun orang yang berani mengambil milik orang lain tanpa seijin pemiliknya. “Kiai Macan ini jika berdehem saja suaranya terdengar seantero Ambunten, dan menggetarkan bumi di sana. Jika ada warga yang kemalingan, beliau menabuh kentongan, dan pencuri sekaligus barang curiannya datang pada beliau,†kata R. Imamiyah, salah satu keturunan Kiai Macan di Ambunten.
Sejak masa Kiai Macan, Ambunten masuk wilayah Mardikan atau Perdikan. Wilayah Mardikan ini merupakan daerah istimewa, karena bebas pajak. Beberapa daerah mardikan lainnya seperti Batuampar, dan Barangbang.
Konon, status tersebut tidak bisa lepas dari sosok Kiai Macan yang sangat disegani bahkan oleh Raja Sumenep kala itu. Di samping memiliki garis kerabat dekat dengan keluarga keraton, sang Kiai juga dikenal sebagai ulama dan waliyullah besar. Tokoh yang mampu memadukan kekuasan dengan kewaliyan. Sehingga tak salah semat Ratu Simanya Madura pada sosok beliau. Meski bukanlah Ratu secara de jure, secara de facto kedudukan Kiai Macan yang dituakan oleh Raja menunjukkan kapasitas ketokohannya yang melampaui jabatan keduniawiannya. Secara ruhani, ketokohannya yang diselimuti karomah, menguak tabir rahasia kedudukannya dalam Pandangan Ilahi.
Untuk hal-hal pelik, keraton Sumenep memang dikisahkan selalu meminta pandangan dan masukan dari Kiai Macan. Bahkan dalam hal yang kaitannya dengan eskpedisi perang. Konon beliau juga dikenal menguasai seni perang. Salah satu ekspedisi yang dikenal melibatkan Kiai Macan ialah ekspedisi perang ke tanah Aceh.
Jika melihat angka tahun wafat beliau di Pasareannya di Kampung Guwa Desa Ambunten Tengah, yakni 1284 Hijriah, kemungkinan beliau hidup di masa Sultan Abdurrahman Pakunataningrat. Ekspedisi itu bisa jadi juga bersamaan dengan keberangkatan Pangeran Le’nan Hamzah, salah satu putra Sultan Sumenep.
Ekspedisi ini menyisakan banyak jejak sejarah. Di antaranya hadirnya seni Shalawat Sintung yang konon dibawa oleh Kiai Macan pasca lawatannya dari Serambi Mekkah itu. Juga termasuk info aktual bahwa pemimpin pasukan ekspedisi Sumenep justru di Aceh dikenal sebagai ulama yang mengajar ngaji.
Mengenai Sintung, seni ini kini memang hidup di Ambunten. Salah satu yang melestarikan kini ialah KH Suhil Imam. Versi lain, selain Kiai Macan, yang ikut mempopulerkan Sintung di bumi Sumekar ialah Kiai Parongpong, Kecer, Dasuk.
Sementara putra kedua Pate Bangsa, yaitu Raden Wongsodirejo bergelar Raden Ronggodiboso II, Patih Sumenep. Di catatan Wedana Mahfudh hanya ditulis Raden Wongsodirejo, Patih Sumenep.
Raden Wongsodirejo berputra Raden Srigati, yaitu ayah dari Raden Sutojoyo (K. H. Ahmad Muzammil). Raden Sutojoyo menikah dengan Nyai Nurmila. Nyai Nurmila ini ialah putri dari Nyai Zainah, putri dari Kiai Macan Seppo. Dari Nyai Nurmila ini lahirlah Kiai R. P. Wongsoleksono atau Kiai Wongsoleksono, yang disebut di muka (tulisan bagian 1); yaitu ayahanda Wedana Mahfudh. (bersambung)
RBM Farhan Muzammily