Catatan: Hambali Rasidi
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!matamaduranews.com-Pilkades Sumenep 2019 yang akan digelar serentak 227 desa bulan November mendatang, mengundang kontroversi.
Ada enam gejolak publik yang memprotes penerapan skoring bagi pendaftar Calon Kades.
Kenapa ketentuan skoring, diprotes? Padahal, Perbup 39 yang mengatur skoring itu, punya cantolan hukum di atasnya.
Catatan ini tak akan mengupas dari sudut pandang hukum. Biar para pendekar hukum yang mengupas tuntas.
Tulisan ini hanya menyuguhkan beberapa fenomena sosial politik desa yang mulai dinamis setelah ada uang miliaran rupiah dari Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang gelontor ke desa.
Kenapa Perbup 39 menuai pro kontra? Tentu jawabnya tergantung siapa yang menilai. Dari sudut mana, orang itu menilai Perbup 39.
“Incumbent pasti diuntungkan,” sebut salah satu pemprotes. Sudut pandang yang lain, juga menilai incumbent yang dirugikan adanya Perbup 39.
Lho kok bisa? Ini menarik. Kasat mata, penerapan skoring itu otomatis menguntungkan incumbent. Tapi, apakah publik ngerti di balik kerumunan semut itu ada tumpukan gula?
Fenomena sosial politik desa pasca DD dan ADD telah melahirkan sifat angkara murka sebagian kades untuk sekedar bertahan di kekuasaan.
Lebih dari itu, ia bersyahwat untuk ekspansi politik ke luar desa dengan memasang topeng-topeng untuk jadi Kades.
Tujuannya? Lagi-lagi gula itu manis. Dia ingin mengatur DD dan ADD termasuk distribusi rastra dan hibah ke desa hasil ekspansi.
Lebih dari itu, dia ingin menasbihkan diri sebagai orang paling berkuasa dengan memiliki banyak topeng di desa.
Wajar jika penerapan skoring ini dia tersulut perih. Ibarat taburan spirtus mengenai luka menganga. Kepentingan menebar topeng di luar desa dibatasi skoring.
Fenomena lain, incumbent yang dinilai tak baik oleh sebagian warganya, sulit diganti adanya skoring.
Incumbent itu bisa memanfaatkan skoring dengan menyewa mantan Kades atau Ketua BPD dari luar desanya.
Maka, jangan heran jika ada gejolak penolakan calon Kades dari luar desa. Mereka para calon sewaan, katanya dibayar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.
Bahkan, Bupati Sumenep KH A. Busyro terkaget-kaget mendengar ada calon Kades sewaan itu sedang dikontrak lebih satu desa untuk menjadi calon bayangan.
Termasuk anda. Jangan kaget bila ada pemimpin setingkat desa (Kades) dinilai tak patut sebagi pemimpin.
Sama halnya, anda memilih wakil rakyat saat Pileg. Orang baik itu relatif.
Tergantung kerumunan semut.
Itulah politik. Untuk memahaminya, ibarat semut hitam di atas batu hitam di kegelapan malam.
Perum Satelit, 25 Agustus 2019