Politik Kiai NU dan Geopolitik Sumenep

×

Politik Kiai NU dan Geopolitik Sumenep

Sebarkan artikel ini
Geopolitika Sumenep
Ilustrasi

matamaduranews.com-NU dan Partai Politik memiliki hubungan sejarah. Dalam sejarah perpolitikan NU, kiai tidak sekedar sebagai pengumpul massa (vote getter) yang cukup ampuh. Tetapi ada juga yang menjadi pengurus dan anggota partai, calon legislatif, anggota legislatif bahkan pemimpin eksekutif.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Keterlibatan Kiai NU dalam politik sudah berlangsung sejak bergabung dengan Masyumi. Lalu berpisah dengan Masyumi dan terlibat dalam Pemilu 1955, Pemilu 1971 hingga sekarang.

Persoalan berikutnya adalah dinamika partisipasi para elite NU. Pilihan politiknya memiliki daya tarik tersendiri. Sehingga memberi efek beragam pilihan yang akan mewarnai warga nahdliyin sesuai pilihan panutannya (kiai).

Dinamika partisipasi elit NU akhirnya terbelah dalam kekuatan politik terhadap suatu wilayah. Geopolitik NU Sumenep ini terbagi dari berbagai pintu berdasar partisipasi panutan masyarakat (kiai).

Memahami Geopolitika NU Sumenep memang tak lepas dari pengaruh kiai sebagai panutan masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari sebaran alumni atau pengikut sang kiai.

Jika di petakan, kiai yang memiliki pengaruh terbagi berbagai daerah atau wilayah. Pertama, wilayah barat. Daerah ini memiliki pengaruh Ponpes Annuqayah, Guluk-Guluk dan Karay, Ganding. Kedua, wilayah utara. Daerah ini memiliki pengaruh atas figur KH Thaifur Ali Wafa, sang mursyid tarekat.

Ketiga, wilayah selatan. Daerah ini kombinasi pengaruh atas figur KH Ramdlan Siradj, Pengasuh Ponpes Karangcempaka dan tokoh lokal di daerah Saronggi dan Pragaan. Keempat, wilayah kepulauan. Daerah ini terbagi tiga kutub sesuai arus pengaruh. Ada pengaruh dari kiai Situbondo karena banyak alumni pesantren di sana. Sebagian pengaruh dari pengikut tarekat KH Thaifur Ali Wafa, Ambunten.

Kelima, wilayah timur Sumenep, meliputi Gapura, Dungkek, Batang-Batang dan Batuputih. Daerah ini nyaris tidak ada tokoh sentral. Kendati demikian, daerah ini menjadi sesuatu yang terkendali dengan tampilnya sosok KH A. Busyro Karim yang kini menjabat Bupati Sumenep dua periode. Keberpihakan politiknya sangat mempengaruhi warna politik, baik di Pileg maupun di Pilkada.

Kepentingan Migas
Selain kekuatan politik Kiai NU, ada kekuatan baru yang mempengaruhi warna pilihan masyarakat Sumenep. Meminjam istilah Abd. Gaffar Karim, pengamat politik UGM, masyarakat Sumenep mulai bergerak dinamis sesuai kebutuhan terkini. Pola pencaharian masyarakat yang terserap ke dalam pola-pola pekerjaan modern, telah mempengaruhi atas pilihan politiknya. Tak lagi tergantung penuh atas kepatuhan figur panutan.

Sumenep yang memiliki banyak sumur dan cadangan Migas tentu menjadi perhatian khusus bagi para petinggi Jakarta atau Surabaya untuk terlibat langsung mengawal jagoan agar menang di Pilkada Sumenep.

Kandungan Migas Sumenep yang melimpah ruah karena masuk 10 besar penyuplai Gas Nasional tentu sangat menggoda selera para elit nasional untuk ikut manisnya Migas. Potensi itu tentu bukan pada kegiatan eksplorasi atau produksi. Sebab, kegiatan itu tetap dilakukan kontraktor Migas dunia.

Lebih dari itu, ada kewenangan daerah penghasil Migas untuk memiliki saham pengelolaan PI Migas 10 persen. Sebagaimana Peraturan Menteri ESDM No 37 Tahun 2016. BUMD yang berbentuk perusahaan daerah diberi saham gratis 10%.

Kepentingan elit yang bertabur kapital sungguh menjadi kekuatan baru di tengah rasionalitas pilihan masyarakat yang cendrung pragmatis.

Lalu, siapa yang akan menjadi vote getter (penggerak suara) di Pilkada Sumenep 2020? Figur kiai atau pemegang kapital? Atau konfigurasi antara figur kiai dan pemegang kapital?

Jawaban itu bisa dilihat di Pilkada Sumenep, 23 September 2020.

editor: khoirul anwar

Tulisan ini tayang di Majalah Mata Madura edisi 54