matamaduranews.com–BANGKALAN-Rocky Gerung, lahir di Manado, 20 Januari 1959. Rocky menempuh pendidikan di Universitas Indonesia pada 1986. Lalu bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya UI.
Selain mengajar, Rocky juga aktif menulis di berbagai media massa. Sebelum mencuat dengan pernyataan kontroversialnya, Rocky dikenal sebagai ahli filsafat. Cuitan-cuitannya di media sosial tajam dan kritis. Ia juga sering tampil di acara-acara diskusi yang disiarkan televisi.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Saat memenuhi undangan BEM Fakultas Hukum UTM, Jum’at sore, (30/8/2019), Rocky diwawancarai oleh wartawan Mata Madura dan menggelindingkan pertanyaan sejauh mana Bung Rocky mengenal Madura.
Rocky Gerung menjawab “Bahasa Madura itu sekeras intonasi pertanyaan kamu kepada saya”, ungkap rocky disertai gemuruh tawa kawan-kawan dan menunjuk kepada salah satu wartawan Mata Madura, Syaiful.
Rocky menjelaskan, Madura itu adalah kumpulan segelintir Tokoh, Kiai, Pemuda dan Mahasiswa yang sudah diuji dalam sejarah kemerdekaan Repulik Indonesia untuk menghasilkan semangat juang yang mandiri.
“Artinya semangat Madura itu independent (tidak bisa diatur oleh siapa-siapa). Dan mampu untuk mengungkapkan akal pikiran sehat tanpa takut akan penindasan,” ucapnya dalam wawancara sekilas, di ruang tamu lantai 5 rektorat UTM
Menurut Rocky, Madura itu banyak unsur kiai yang dihormati sebagai tokoh kultural. Dengan keperibadian ilmu agama yang tinggi, mendalam dan keras, ucapan kiai tajam ketika melawan kekejian dan kemungkaran.
“Akhlak kiai pun begitu luhur untuk dijadikan teladan. Sikap yang begitu sederhana, tak berfoya-foya, serta cinta akan agama menjadi suri tauladan ummatnya,” terang Rocky.
Madura juga diisi pemuda, mahasiswa dan dosen yang menjadi kaum agamis dan intelektual bebas.
“Mereka tidak bisa disogok, tidak mau dipuji, dan besar kepala. Itulah pentingnya mencetak kaum intelektual bebas di madura,” nilainya.
Rocky berharap kepada pemuda Madura agar mampu membentengi Negara jangan sampai masuk dalam jebakan feodalisme, otoritarisme dan global kapitalisme.
Syaiful, Mata Bangkalan