SECARA pribadi saya tidak tergolong orang dekat Bupati Pamekasan, Achmad Syafii. Saya kenal dekat saat ia menjabat Ketua DPRD Pamekasan, 1999.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Sejak 2002, saya tidak ketemu dan berbincang dengan Syafii. Terkahir ketemu; salaman dan bercakap-cakap, bulan November 2016 lalu. Pertemuan itu di luar nalar. Saya bertemu di Sumenep. Bukan di Pamekasan.
Berulangkali, lupa menghitung saking seringnya-saya ingin ketemu Bupati Syafii di Pamekasan. Entah di kantor bupati atau rumah dinasnya. Tapi selalu dijawab oleh petugas jaga, “Bapak tidak bisa ditemui, dan bla..bla..,”.
Saya hampir putus asa untuk ketemu Syafii. Saya berupaya menggerakkan segala potensi untuk sekedar bertemu ‘sahabat lama’ yang sudah menjabat bupati dua periode ini.
Ada yang menyarankan ketemu Soleh, staf bupati bidang media. Upaya ketemu Soleh terwujud. Dalam pertemuan itu, saya memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud keinginan untuk ketemu Bupati Syafii.
Dalam pertemuan perdana itu, Soleh welcome. Ternyata dia adik angkatan saat kuliah di UINSA, Surabaya. Soleh berjanji akan menyampaikan pesan kerrong saya kepada Bupati Syafii.
Saya berharap, Syafii menelepon saya. Dan bla..bla..sebagaimana impian lama saya untuk ketemu dan cerita kenangan saat sebelum ia menjabat Bupati Pamekasan periode pertama.
Khayalan itu hampa. Saya tanya Soleh, kembali bertanya respon Syafii. Dia hanya bilang sudah disampaikan dan Soleh menjawab, bla…bla…
Kenapa saya kebelet ingin ketemu Syafii? Selain rasa kangen menggelora. Saya ingin merais rezeki di Pemkab Pamekasan lewat sentuhan Syafii. 2016 lalu, saya merintis Majalah Mata Madura. Berkantor pusat di Sumenep, saya ingin mengembangkan pasar se Madura lewat kolega saat kali pertama saya bekerja di Radar Madura.
25 Juli 1999, kali pertama kaki menginjak Kota Pamekasan. Saya bingung harus kemana. Walau tiga tahun di Sumenep, saya buta Kota Pamekasan. Dari Sumenep, saya langsung ke Surabaya. Lima tahun kuliah di Surabaya. Kota Pamekasan sebatas jalur bus yang saya tumpangi saat hendak ke Surabaya.
Beruntung saat itu, saya menuju markas besar Tofadi (pengusaha yang kini mencalonkan diri di Pilkada Pamekasan), Ismail (politisi Demokrat), dan Agus Sujarwadi (Ketua Gerindra). Dari markas itu, saya dijamu bak pahlawan. Saya diberi fasilitas indekos. Dan jika sewaktu butuh bantuan guide, para aktivis pergerakan itu, selalu sigap. Dan mengantarkan ke objek yang dituju.
Maklum, ketika itu, Jawa Pos menjadi icon masyarakat Pemekasan bidang informasi. Akses informasi tentang Pamekasan dan Madura begitu sulit dikonsumsi publik. Jika ada, sekelumit di radio Karimata. Dan sewaktu-waktu muncul di koran Surya.
Saya memperkenalkan diri bukan atas nama Radar Madura, tapi Jawa Pos. Karena waktu saya tiba kali pertama, Radar Madura, belum terbit. Saya diberi tugas di Pamekasan menjadi wartawan Radar Madura. Cetakan Radar Madura nunut di koran Jawa Pos yang begitu menggurita di Pemakasan (Madura). Radar manajemen sendiri, berkantor pusat di Jl Cempaka Perumda, Bangkalan. Berpisah dengan Jawa Pos.
Berita-berita Radar Madura, saat itu, menjadi kebutuhan publik. Itu terjadi karena akses informasi terbatas pada cetak, tivi dan radio. Sehingga, pekerja media, ketika itu, menjadi pusat perhatian.
Pekerja media yang banyak dikenal masyarakat menjadi magnet tersendiri. Tidak sedikit yang ingin dekat dan bisa menjadi satu hati. Terutama pejabat dan politisi. Maklum, keran demokrasi baru dibuka. Publik masih buta tentang media dan demokrasi.
Termasuk Syafii. Perawakan yang kurus dan berpenampilan sederhana. Dia selalu ngajak ngopi bareng. Bicara banyak hal tetang Pamekasan ke depan. Gaya santri tetap melekat walau ia berbicara politik kepentingan. Singkatnya, Syafii minta secara pribadi, saya menjadi tim bagian yang bisa make over pada Pilbup 2003.
Permintaan itu saya konkretkan dengan pola pemberitaan yang menguntungkan Syafii. Saya merasa banyak dosa kepada Hadi Soewarso (mantan Sekda), ketika itu Kabag Humas Pemkab Pamekasan. Terutama kepada Bupati Pamekasan, Dwiatmo Hadiyanto. Semoga mereka memaafkan atas dosa-dosa saya.
Saya citrakan Syafii orang baik. Figur yang merakyat. Sosok pemimpin Pamekasan yang dekat dengan rakyat. Syafii juga dicitrakan sebagai kepanjangan para Kiai Pamekasan. Seusai dengan kultur dan geo politik Pamekasan.
Pertengahan 2002, saya harus meninggalkan Pamekasan. Saya hijrah ke Sumenep. Saya tidak pamit ke Syafii dan sejumlah kolega. Saat itu, Syafii telepon dan mengabarkan akan mencalonkan sebagai Bupati Pamekasan. Saya hanya menjawab, maaf tidak bisa gabung.
Usai Syafii dilantik bupati pertengahan 2003, Abe (Abrori al-Zael) telepon saya. Saat itu, Abe menjadi wartawan Radar Madura di Pamekasan. Dia memberitahu kalau Syafii, kangen saya. Abe bilang, Syafii ingin ketemu. Saya hanya bilang maaf, tidak bisa. Sejak itu, saya berusaha melupakan Syafii. Walau beberapa kali saya ke Pamekasan, melihat dan bertatapan dengan Syafii di suatu tempat. Tapi, saya berusaha menghindar.
Saya tahu diri. Saya berpikir, Syafii sudah menjabat bupati. Sedangkan saya pengangguran. Bukan orang yang bisa membantu Syafii.
Saya ingat pesan terakhir saat ia telepon, “Temui saya, ketika Anda menjadi orang lebih dari sebelumnya,â€. Kata-katanya menjadi cambuk. Pesannya menyulut ghirah anak pulau. Suaranya ditelepon, saya anggap pesan untuk membangkitkan optimisme.
Maklum, ketika itu, Syafii menganggap saya anak yang lugu. Masih ori dalam percaturan kehidupan. Tidak mengenal gemerlap kehidupan duniawi. Tidak mengenal kehidupan sebenarnya. Tidak mengenal hermeneutika kehidupan. Tidak ngerti body language. Tidak paham bahasa sandi. Memang, saya baru lulus kuliah. Ibarat sepeda motor, baru keluar dari dealer. Masih kinyis-kinyis.
2 Agustus 2017, saya mendapat kiriman WhatsApp dari kolega. Syafii dibawa KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT). Detak jantung langsung bergetar. Saya hubungi wartawan Mata Pamekasan. Johar Maknun, Kabiro Mata Pamekasan, membenarkan kalau Syafii terjaring OTT KPK.
Publik Pamekasan kaget.
Syafii yang dikenal orang baik, suka bantu orang, memiliki solidaritas tinggi ke teman mendapat ujian besar diakhir ujung jabatannya. Lewat berita-berita media nasional dan media lokal menyuguhkan Syafii orang jahat. Syafii Koruptor. Padahal, peran Syafii hanya ‘membantu’ koleganya, yang kebetulan menjadi Kades Dasuk, sedang tertimpa musibah.
Syafii menjalani ujian hidup di saat akses informasi yang tidak bisa dibendung. Akses informasi sudah bukan lagi menjadi kebutuhan publik. Beda saat ia merangkak menjadi orang besar di Pamekasan. Akses informasi langka. Pemberitaan menjadi barang yang sangat berharga. Jika orang ingin ngerti informasi, ia harus beli koran atau nyetel radio dan nyalakan tivi.
Kini, orang tidur pun dibangunin informasi lewat kiriman WhatsApp, IG, Twitter dan Facebook.
Media informasi, saat ini, bukan lagi menjadi barang berharga. Pelaku media bukan lagi sebagai sosok langka yang menjadi pusat perhatian. Karena setiap individu sudah bisa menjadi pemberi informasi lewat aplikasi di media sosial. Entah siaran langsung di facebook atau menulis dan mengirim gambar atau video lewat sarana medsos lainnya.
Anehnya, saya ingin hadir di Pamekasan di tengah kondisi akses informasi yang tidak lagi menjadi kebutuhan. Dunia saya saat ini terbalik. Kebalikan saat kali pertama tiba di Pamekasan, tahun 1999 lalu. Dan Syafii, sudah tidak lagi di Pamekasan.
Sumenep, 4 Agustus 2017