Budaya

Warisan Budaya Tionghoa di Sumenep

Labang Mesem
Labang Mesem Keraton Sumenep. (Foto/Istimewa)

matamaduranews.com-Secara berseri. Harian Disway menyajikan liputan warisan budaya Tionghoa yang tercecer di sejumlah tempat di nusantara. Di Pulau Madura, di Kabupaten Sumenep hinggsa saat ini masih tersisa warisan budaya Tionghoa . Tim ekspedisi yang menamakan Jejak Naga Utara Jawa datang ke Sumenep untuk meliput.

Berikut liputan tim yang dikutip dari situs: hariandisway.id:

 Warisan budaya Tionghoa menyebar ke banyak tempat di Nusantara. Termasuk di daerah yang—boleh dibilang—terpencil. Misalnya, di Sumenep, Madura.

BETULKAH tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa harus pergi ke Sumenep? Bukankah tempat itu cukup ’’terpencil,’’ di sisi timur Pulau Madura. Yang dari Jembatan Suramadu orang masih harus berkendara sekitar empat-lima jam, bergantung kecepatan kendaraan dan keruwetan pasar tumpah. Dan bukankah Sumenep itu tidak terletak di pantai utara Jawa?

Tetapi, selalu ada jawaban untuk setiap pertanyaan. Dan jawaban untuk itu adalah: bukankah Sumenep adalah kota pantai. Dan ia terletak di utara Pulau Jawa. Maka, ’’sah’’ jika ekspedisi kami harus mampir ke tempat itu.

Memang, kisah tentang jejak budaya Tionghoa di Sumenep sedikit banyak sudah pernah kami dengar. Tetapi, krenteg alias gereget untuk berangkat semakin meluap setelah kami berdiskusi dengan Freddy H. Istanto, founder Surabaya Heritage Society.

Freddy adalah dosen luar biasa di Universitas Ciputra yang menjadi salah satu narasumber dalam serial ini. Terutama soal wilayah utara Surabaya yang memang sudah sangat nglonthok di kepalanya. ’’Di Sumenep masih terlihat sisi-sisi arsitektur Tionghoanya. Terutama di keraton dan masjidnya. Buagus,’’ katanya. Meski begitu, Freddy mengaku tidak begitu ahli soal warisan budaya tersebut.

Maka, menuntaskan rasa penasaran itu, kami berangkat pada pagi buta, Rabu, 1 Februari 2023. Honda CR-V Prestige yang menemani ekspedisi ini kami bawa melewati jalur selatan Pulau Madura. Menyisir Bangkalan, Sampang, Pamekasan, sampai Sumenep. Tak ketinggalan, melewati beberapa pasar tumpah yang membuat mobil menjadi merambat.

Hari masih belum terlalu siang saat kami tiba di pelataran Keraton Sumenep. Meski namanya keraton, sebenarnya Sumenep tidak diperintah oleh seorang raja. Jabatan pemimpinnya adalah adipati. Maka, Sumenep sejatinya adalah sebuah kadipaten. Itu terlihat dari nama resmi bangunan inti di tengah kompleks keraton yakni Pendapa Agung Kadipaten.

Tetapi, sejak dulu, warga Sumenep menyebut sang adipati itu sebagai ratoh alias ratu. Raja.

Keraton Sumenep terletak di Jalan dr Soetomo yang membujur dari timur ke barat. Ujung barat jalan itu adalah alun-alun. Di barat alun-alun ada Masjid Jamik Sumenep. Dua bangunan ini memang sangat ikonik di kawasan tersebut. Terlihat dari warna dan ornamennya yang begitu khas.

Di ujung timur kompleks keraton ada bangunan yang begitu ikonik. Itulah Labang Mesem. Artinya, gerbang atau pintu senyum.

Gerbang itu berupa gapura tertutup dengan pintu melengkung. Ada dua pintu kecil yang mengapit pintu besar itu. Seperti pos penjagaan.

Di depan gapura itu, kami mengenakan kain batik dari Museum Keraton Sumenep yang terletak di seberang keraton. Ya, ada aturan yang cukup ketat untuk pengunjung yang masuk kompleks keraton. Yakni, harus memakai kain jika busananya—baik rok atau celana—dirasa kurang panjang.

Labang Mesem adalah sebuah gapura tembok yang kukuh. Warnanya kuning. Tebal. Ada pilar semu yang menyangga puncaknya. Di puncak itu ada gardu pandang dengan atap bersusun mirip pagoda.

Memasuki Labang Mesem itu, tak bisa tidak, kami memang harus mesem. Sebab, yang ada di dalamnya ternyata cukup apik. Ya, kompleks Keraton Sumenep itu menyimpan kekayaan arsitektur yang cukup wah. Ia adalah perpaduan berbagai budaya: Madura, Jawa, Kolonial, dan Tionghoa.

Tak heran. Sebab, perancang kompleks keraton itu memang orang Tionghoa… (*)

sumber: Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Annisa Salsabila, Boy Slamet.

Exit mobile version