Budaya

Yuk…Intip Tata Rias Pengantin Madura

×

Yuk…Intip Tata Rias Pengantin Madura

Sebarkan artikel ini
Pernak-pernik pernikahan di Madura begitu kompleks mulai tergerus. TP-PKK Sumenep ingin mrnghidupkan kembali melalui pembakuan pakem tata rias pengantin.

matamaduranews.com-SUMENEP-Misteri ilahi sedikitnya terbagi dalam tiga hal. Kelahiran, jodoh, dan kematian. Jodoh memiliki beberapa rangkaian, termasuk di dalamnya pernikahan.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Bagi masyarakat Madura, pernikahan begitu sakral. Tangga menuju prosesi ini memiliki banyak tahapan. Semuanya diatur dalam pernak-pernik yang kompleks, seperti tata rias dan busana pengantinnya.

Kendati diatur dan memiliki pakem, tradisi Madura yang berkaitan dengan tata rias dan busana pengantin ini sudah banyak ditinggal.

Nasib tradisi ini hampir tidak jauh beda dengan budaya Madura lainnya. Tercecer dan sebagian besar terkubur dalam reruntuhan berbagai jenis jaman.

Beberapa pihak mulai berupaya memungutnya, seperti yang dilakukan TP-PKK Sumenep beberapa waktu lalu.

Akar Sejarah

Ketika mencermati budaya Madura, maka acuan utamanya ialah sejarah. Tanpa melihat sejarah, maka akan sulit mencari akar budaya tertentu.

Sementara sumber sejarah beragam, baik sumber lisan maupun sumber tertulis yang bisa dipertanggung jawabkan.

Ketika bicara pernikahan di Madura, maka seperti melewati sebuah rangkaian panjang yang cukup melelahkan. Dimulai dari pra pertunangan yang memiliki beberapa tingkatan seperti ngin-angin, arabhas pagar, dan nyaba’ jajan. Sebuah ritual panjang yang sarat makna.

Namun yang terpenting adalah pesan utama yang dikandung di dalamnya; yaitu bahwa tradisi Madura begitu memuliakan kaum perempuan. Ya, meminang perempuan di Madura memang tidaklah serampangan.

Kembali pada sejarah, sejatinya kiblat budaya sekaligus pemerintahan Madura kuna terletak di Sumenep.

Hal itu tersirat pada sebuah prasasti kuna di pintu Agung keraton Sumenep dalam bahasa Arab dan Madura kuna, yaitu Brahmono Hasmoro Hung Putri Hayu—yang berarti Brahmono = 6; Hasmoro = 8; Hung = 9; Putri = 1; dan Ayu = 1. Maknanya, susunan struktur susunan pemerintahan di Sumenep sudah ada sejak 1 Januari 986 Masehi.

Apalagi, Sumenep juga merupakan kabupaten tertua berdasar penetapan tanggal hari jadi di empat kabupaten di Madura. Berdiri pada dekade keenam di kurun 1200-an Masehi menunjukkan kota kecil ini bahkan lebih tua dari kerajaan Majapahit.

Dengan kata lain, Sumenep merupakan pusat pemerintahan di dua masa kerajaan besar Nusantara sekaligus; Singhasari dan Majapahit.

Nah, dari uraian ini didapat fakta bahwa kebudayaan berkembang dari Sumenep dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok di Madura, mulai dari Pamekasan, Sampang hingga Bangkalan.

Namun, karena sejak mula Sumenep berada di bawah pemerintahan raja-raja di tanah Jawa, maka kebudayaan di Madura pada umumnya merupakan hasil pembauran dengan kebudayaan lokal.

Pengaruh pembauran ini terus berkembang, seiiring dengan masuknya beberapa budaya luar. Seperti pengaruh Islam, budaya Arab, Cina, dan Eropa.

Dalam hal pembauran dengan Jawa, hal ini bisa dilihat dari tradisi sebelum prosesi perkawinan, yaitu sehari atau malam sebelum hari pernikahan.

Tradisi ini hampir sama dengan di Jawa Tengah, hanya istilahnya saja yang beda. Tradisi yang di sana dikenal dengan istilah midodareni, dimana sang mempelai perempuan mengenakan busana bahasan seperti kemben.

Dengan busana ini mempelai perempuan melewati serangkaian perawatan tubuh, seperti dilulur (elolor dalam bahasa Madura) dan rambutnya diasapi dupa yang wangi.

Kemudian dilanjutkan sapuan bedak kamoridan, yaitu bedak bida yang sarat khasiat. Kemudian yang terakhir ialah meminum jamu khusus yang diyakini mampu membuat tubuh menjadi harum.

Tak ayal lagi, keberadaan tata rias pengantin di Madura ini tak hanya memiliki nilai estika maupun filosofi positif.

Tata rias pengantin atau paes di Madura ini juga mampu menampilkan sisi beda dari kedua mempelai; yakni mempelai perempuan terlihat menjadi lebih cantik juga anggun, dan yang pria terlihat lebih tampan serta gagah.

Tiga Macam Pakem Tata Rias

Dalam sebuah acara seminar tata rias pengantin yang digelar TP-PKK Sumenep, pakem tata rias pengantin di Madura dibakukan.

Dari berbagai narasumber yang meliputi kalangan budayawan, maupun pakar tata rias pengantin, secara garis besarnya ada jenis rias dan busana pengantin, atau istilahnya paes. Yaitu paes legha, kapotren, dan lilin.

Jika dilihat dari aspek sejarah, masing-masing paes tersebut menandakan waktu dipakainya oleh kedua mempelai. Setiap paes dipakai sehari di waktu malam perayaan.

Dari sana bisa diakumulasikan berapa lama ritual pengantin di Madura. Ya, ritual tersebut berlangsung tiga malam.

Setiap malam perayaan dengan tata rias dan busana yang berbeda ini memiliki banyak makna.

Ketika di malam perayaan pertama, digunakan tata rias dan busana legha. Riasan ini yang terbilang paling kaya pernak-perniknya.

Riasan ini hampir tidak beda dengan paes pengantin di Jawa atau Jogja (paes ageng), kecuali ditiadakannya kinjengan maupun jahitan mata dan jahitan alis pada riasannya paes legha Madura.

Sanggul yang dipakai paes legha oleh mempelai perempuan ialah sanggul gelung malang yang bentuknya menyerupai angka delapan, yang berisi irisan pandan (babur) dan dibungkus rajut panjang.

Aksesoris kepala juga beragam, ada kaco’ (hiasan dahi), peces (hiasan di atas kaco’), sisir (hiasan di belakang peces) dan jamang (mahkota).

Disamping itu juga ada hiasan giwang khusus, kalung berbahan kain beludru hitam berbentuk bulan sabit, klat bahu kuning emas, gelang empelan, dan buntalan melati yang panjangnya lebih dari 1 meter.

Busana pengantin pria paes legha hampir tak jauh beda, kecuali beberapa tambahan seperti memakai keris dengan untaian melati kering dengan bawang sebungkul.

Ritual malam perayaan pertama ini meliputi beberapa hal. Sedang yang paling utama ialah acara moter dulang, yang mengandung makna siap untuk memutar biduk rumah tangga.

Di malam perayaan kedua digunakan paes kapotren. Busana paes kapotren secara garis besarnya merupakan paduan antara kebaya berbahan beludru dengan kain batik khas Madura yang dikenal dengan sebutan samper sarong.

Dalam resepsi ini yang hadir meliputi pini sepuh dan keluarga dekat kedua mempelai saja.

Selanjutnya malam perayaan ketiga atau malam perayaan terakhir. Kedua mempelai dihias dengan paes lilin. Disebut lilin karena busana kebaya yang dipakai berwarna putih.

Di kebaya mempelai perempuan juga disematkan riasan melati berbentuk lilin yang merupakan lambang kesucian.

Dewasa ini tata cara perayaan tiga malam bagi mempelai pengantin di Madura sudah hampir tidak lagi dipakai. Begitu juga busana atau paesnya.

Kalaupun masih menggunakan busana adat tersebut kebanyakan sudah tidak sesuai pakem asli budaya Madura. Disamping itu juga terkadang dikombinasikan dengan model busana luar. Seperti busana muslimah maupun eropa.

R M Farhan Muzammily, Mata Madura