Catatan

1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (4)

×

1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (4)

Sebarkan artikel ini
1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (4)
Ibu Motiah (kanan) usai mengahadiri wisuda anak Zairanil Multazam. (Foto keluarga for Mata Madura)

Catatan: Hambali Rasidi*

Ibu Motiah selalu menyembunyikan kelebihan ke publik. Kedekatan ibu ke putra dan keluarga KH As’ad Syamsul Arifin menjadi modal untuk dirikan pondok pesantren, misalnya. Apalagi, ketokohan putra-putri dan keluarga KH As’ad bagi sebagian besar warga Sapudi menjelma sebagai satu-satunya sosok yang perlu ditaati dan ditauladani setelah Rasulullah SAW.

Ibu memilih sembunyi dan sekadar bercerita kepada anak-anaknya. Hanya saja, ketiga anak laki-laki ibu tak nyentuh pondok pesantren. Kecuali Imraatul, anak bungsu perempuan ibu yang kini mondok dan kuliah di Ponpes Sukorejo.

Salah satu ajaran ibu yang selalu ditanamkan ke semua anak-anaknya adalah maqam setiap orang yang tidak sama. Kata ibu, jika di luar maqam atau kemampuannya jangan dipaksa. Hanya saja, nasihat ibu kurang diperhatikan oleh anak-anaknya. Kendati demikian, doa ibu selalu menjadi kunci kemulusan menapaki jalan kehidupan.

BACA JUGA:

Kabar Duka: Ibunda Pemred Mata Madura Berpulang ke Rahmatullah

1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (1)

Pesan ibu itu seperti menerjemahkan pribahasa orang Madura; lakona lakone, kennenganna kennengge. Jika individu memegang pribahasa itu, jalan hidup akan mengalir seperti air. Karena individu itu memiliki keyakinan bahwa jalan hidup kuasa Ilahi.

Pesan lain yang ditanamkan ibu adalah mendekati dan menghormati para kekasih Allah (waliyullah). Mendekati waliyullah itu dengan cara belajar ilmunya atau memperbanyak doa yang dikhususkan kepadanya.

Menghormati keluarga atau keturunannya berupa menjungjung harkat dan martabatnya. Sesekali penuhi apa yang menjadi kebutuhannya. Walau tidak meminta untuk dibantu.

BACA JUGA: 1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (2)

Pesan ibu untuk menghormati para waliyullah sengaja ditanamkan ibu kepada anak-anaknya walau putranya tidak mondok di pesantren. Dengan harapan, putranya bisa mengambil saripati ajaran pesantren yang bisa mengalir doa para kekasih Allah dalam kehidupan anak-anaknya.

Ibu masih dalam tingkatan kasab. Tingkatan itu berupa upaya dulu, tawakal kemudian. Berbeda dengan maqam atau tingkatan tanpa kasab. Yaitu, seseorang memiliki keyakinan utuh atas ketetapan Allah SWT. Sehingga, dia sangat yakin atas janji Allah SWT. Karena keyakinan yang utuh itu, dia merasa bodoh jika berusaha.

Dalam konteks kasab, ibu mengambil peran seadanya. Meski secara potensi toko sembako yang dikelola ibu bisa dikembangkan dan diperluas, tapi ibu memilih pasif. Usaha ibu dalam mengais rezeki seadanya. Tidak berhasyrat ngembangkan bisnisnya dalam orientasi duniawi.

BACA JUGA: 1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (3)

Pesan-pesan sederhana dan langsung dipraktikkan ibu seperti warisan ilmu yang perlu dilestarikan oleh anak-anaknya. Walau, dalam konteks hasrat duniawi itu, saya menilai ibu memiliki kelebihan karena konsisten terhadap orientasi ukhrawi di tengah godaan duniawi yang mengitarinya.

Perhatian ibu kepada anak-anaknya saya anggap luar biasa. Ibu selalu memanja apa yang menjadi kebutuhan anak-anaknya. Ibu selalu bercita semua anaknya menjalani hidup yang layak. Karena itu, ibu selalu berdoa agar para anaknya berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dan menjadi anak yang berpendidikan. Serta tertanam nilai-nilai Islam dalam kehidupannya.

Selamat jalan ibu. Semoga Allah SWT memberi tempat yang layak bagimu disisi-Nya. [Habis]

* Jurnalis asal Sapudi, putra Ibu Hj. Motiah, tinggal di Sumenep daratan.

KPU Bangkalan