Politik

Selamat Tinggal Kiai

×

Selamat Tinggal Kiai

Sebarkan artikel ini

Catatan: Hambali Rasidi

Selamat Tinggal Kiai

PILKADA Sumenep 2020 merupakan kali ke lima sejak reformasi berlangsung.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Tahun 2000, kali pertama pemilihan bupati berlangsung. Jabatan Bupati Sumenep dijabat figur berlatar belakang pesantren (kiai). Itu berlanjut hingga Februari 2021.

20 tahun, figur kiai (pesantren) merengkuh kekuasaan di Sumenep. Bukan hanya di puncak eksekutif. Tapi mayoritas di legislatif. Entah legislator dari PKB. Maupun dari PPP dan partai yang dinahkodai figur dari pesantren.

Figur dari pesantren atau mereka yang berlatar pesantren, mayoritas sebagai wakil rakyat di DPRD Sumenep.

Wajar, jika ada yang berkesimpulan, kekuatan politik di Sumenep terpusat di pesantren.

Bagaimana dengan kekuatan politik pesantren menghadapi Pilkada Sumenep 2020?

Fenomenanya seperti lampu merah. Signal awas.

Kenapa? Tiga figur yang tak punya latar belakang pesantren. Tapi berpotensi maju dan memenangkan di Pilkada Sumenep 2020.

Tiga figur itu, Malik Effendi (PAN), Fattah Jasin (PKB) dan Ach. Fauzi (PDI-P) sebagai Bakal Calon Bupati Sumenep.

Nama-nama ini sudah mengantongi rekom dari Parpol pengusung. Tinggal mencari pasangan koalisi.

Kecuali Fattah Jasin, rekom dari PKB masih belum dipegang. Tapi, Fattah seribu pede. Rekom PKB jatuh ke dirinya. Makanya, Fattah sudah terjun total bergerilya menggait dukungan menghadapi Pilkada Sumenep 2020.

Lalu siapa figur kiai (pesantren) yang siap maju di Pilkada Sumenep 2020? Terdengar ada nama KH Unais Ali Hisyam dan Kiai Mamak (KH. Shalahuddin A. Warits Ilyas).

Kiai Unais sedang berjuang agar rekom PKB jatuh pada dirinya. Kiai Mamak belum memegang rekom dari PPP.

Di luar dua figur kiai ini, ada nama Nyai Dewi Kholifah Safraji. Sebagai perwakilan pesantren, Nyai Eva seperti puas di posisi Calon Wakil Bupati.

Mungkinkah kekuatan pesantren tetap berkuasa di Sumenep?

Entahlah.

Kecuali meniru negara Iran, yang dikenal negeri para Mullah. Warga Iran percaya kepada sosok ulama (kiai) untuk menentukan langkah negara.

Sejak revolusi Iran, 1979 hingga sekarang, Negara Iran dikendalikan figur ulama. Memang, Presiden Iran bukan dari kalangan (kiai) ulama. Tapi Presiden sebatas pelaksana sesuai arahan ulama (kiai).

Figur (kiai) ulama di Iran punya kendali politik. Bukan sebatas memberi restu dan dukungan politik. Apalagi sebagai juru kampanye.

Revolusi Iran, 40 tahun lalu. Ruhollah Khomeini, seorang ulama dan politisi Iran berhasil mendirikan Republik Islam Iran.

Revolusi Iran memberi pesan ke dunia.

Perlunya kebangkitan politik Islam untuk melawan para kapital yang menjarah kekayaan.

Kekayaan Migas Iran dirampas. Rakyat hanya dijadikan penonton setelah ladang-ladang Migas dieksploitasi besar-besaran.

Warga Iran hanya diberi 20 persen dari keuntungan. Sisanya dibawah ke Ingris.

Sebelum revolusi Iran, kekuasaan Raja Iran diintimidasi oleh para pemain Migas.

Intervensi pemain Migas dinilai merendahkan rakyat Iran. Para Ulama Iran merasakan penghinaan.

Hasil Migas sebagai penopang kerajaan Iran tak terdistribusi secara merata. Orang desa banyak bermigrasi ke kota. Penindasan dan hegemoni politik terjadi di mana-mana.

Sejak awal 1960, kaum intelektual Iran menggulirkan wacana pentingnya Revolusi Iran.

Ali Shari’ati, Murtadha Muthahari dan Bani Sadr, salah satu intelektual Iran yang selalu mengkampanyekan Revolusi Iran. Sebuah protes kepemimpinan yang menjarah kekayaan Iran, Migas.

Wacana revolusi mendapat angin segar setelah Ayatollah Khomeini, seorang ulama Iran, ikut protes melalui khotbah-khotbahnya.

Kampanye Khomeini mendapat hati di warga Iran. Para ulama (kiai) se antero Iran bersatu. Bergerak. Hingga revolusi Iran meletus, 1 Februari 1979.

Itulah kekuatan Politik Iran. Kekuatan para Kiai Iran.

Perlukah Sumenep meniru kekuatan politik Iran?

Para ulama (kiai) se antero Sumenep perlu bersatu. Bergerak. Hingga memenangkan figur di Pilkada Sumenep 2020.

Jika tidak bersatu?

Selamat Tinggal Kiai

Pesona Satelit, 23 Desember 2019