Oleh: Tarmidzi Ansory*
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Akhir-akhir ini tidak bisa dipungkiri lagi, pola hidup masyarakat baik secara style, sosial dan perilaku mengalami dekadensi yang melonjak signifikan. Masuknya beragam macam alat teknologi buatan barat ke Indonesia, berpengaruh terhadap rakyat NKRI itu pula. Tak terkecuali timur laut Surabaya yang terkenal dengan sebutan madunya Jawa Timur atau masyhur gara-gara produksi garamnya yang melimpah secara Nasional. Itulah “Maduraâ€, pulau kecil bila dibandingkan Kalimantan, yang hanya terdiri dari empat kabupaten meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Setelah memasuki era globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi, segala sesuatu di dunia ini terkesan mudah didapatkan. Bahkan sampai ada istilah “dunia dalam genggamanâ€. Mungkin ungkapan tersebut tidak terlalu berlebihan kalau melihat situasi saat ini. Contoh sederhana adanya smartphone yang dimiliki masing-masing pribadi berlaku untuk semua kalangan, tidak terkecuali kaum petani puritan, pengusaha sampai pejabat negara.
Ada berbagai aplikasi di dalamnya mulai dari Facebook, Twitter, Line, Emo, Instagram, WhattsApp, Telegram serta E-mail dan semacamnya. Belum lagi fitur dan pendukung lainnya, yang berfungsi mempermudah komunikasi, interaksi bahkan transaksi entah dalam lingkup satu negara maupun mancanegara. Seperti berinteraksi menggunakan video call untuk sekadar melepas kangen, menggunakan jasa aplikasi jual beli online baik berupa Tokopedia, BukaLapak, Shopee, JD.id dan semacamnya.
Ketika ingin membeli atau menjual barang kebutuhan yang tidak ditemukan minat beli dan laku jualnya di pasaran, dengan jual beli online bisa lebih melebarkan jaringan ke daerah bahkan lintas negara untuk sekadar memenuhi hajat keinginan, dalam hal ini menyangkut jual beli barang.
Maka jangan heran kalau seandainya pemerintah pusat sampai kabupaten berlomba-lomba dalam rangka menyukseskan kinerja program kerjanya banyak yang memanfaatkan media teknologi. Salah satu contohnya e-KTP. Selain meringkas pengeluaran dana dan mempercepat pelayanan, adanya e-KTP juga membantu peluang rakyat menggunakan sisa waktunya untuk kepentingan yang lain.
Hal tersebut berbanding terbalik, ketika kita mencoba nostalgia, flashback delapan belas tahun silam. Di mana untuk menghubungi famili di luar masih ngantre nunggu giliran. Itupun terkadang dalam satu kampung hanya tersedia satu warung telepon. Apabila listrik padam tidak lagi bisa difungsikan hanya bisa mengandalkan cahaya telempek atau coleng (kain minyak gas di atas bambu).
Kejadian-kejadian langka semacam itu mungkin sulit bagi indera penglihat kita, yang hidup di era millenial seperti sekarang ini. Karena kebanyakan sekarang sudah memanfaatkan atau menggunakan alat-alat teknologi. Warung telepon tergeser keberadaan smartphone, jika listrik padam ada diesel yang siap berfungsi menghidupkan kembali. Dari segelintir peristiwa masa lampau itu, sungguh kita tidak bisa mengngelakkan kembali betapa besarnya dampak pengaruh baik manfaat atau mudarat alat-alat teknologi bagi sendi-sendi kehidupan.
Walaupun konsekuensinya bagi kalangan akar rumput, dalam tanda kutip tingkat perekonomiannya yang pas-pasan atau gadget-nya masih merek nitnonit belum sampai menyentuh android, bisa jadi keberadaan alat-alat teknologi tidak menyenangkan seperti yang kita bayangkan. Justru kehidupan kita di tengah masyarakat bisa termarginalkan khususnya dalam kalangan kaula muda-mudi, disebabkan kehidupannya yang dianggap tidak relevan dengan keadaan zaman.
Di samping itu pula, dampak negatif daripada media teknologi pula kerabat yang dekat terasa jauh. Hal ini biasanya sering terjadi di hari raya. Tidak sedikit orang meminta maaf ke tetangganya memakai gadget atau media sosial. Sehingga, perilaku yang demikian makin meregangkan dan mereduksi tali silaturahmi di antara tetangga dan masyarakat.
Padahal, sudah jelas silaturahmi sangat dianjurkan oleh Al-Qur’an dan Hadist. Selain karena bisa makin memperkokoh hubungan, rahasia yang lain dapat melancarkan rezeki. Dalam kitab Alfiah karangan Ibnu Malik disebutkan di salah satu dari seribu bait syi’irnya yang berbunyi: Wafittiyari laa yajiu munfashil // idza taat taayyajiul muttashil. Arti praktisnya, selama masih bisa dipersatukan dengan berjabat tangan, mengapa dipisah lewat media sosial.
Oleh sebab itu, mindset demikian harus diperbaiki. Jangan sampai adanya teknologi yang bertujuan mempermudah urusan, malah mengambil alih seluruh fungsi organ tubuh kita, yang seyogyanya diberikan Tuhan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya sebagai tanda mensyukuri nikmatnya.
Toh, walaupun zaman sekarang digadang-gadang memasuki Industri 4.0, di mana kebanyakan pekerjaan manusia diambil alih mesin, akhirnya kita dituntut menjadi user yang baik dan kredibel dalam mengaplikasikan teknologi atau secara khusus media sosial sesuai keadaan dan tuntutan yang memanfaatkan adanya kecanggihan teknologi pendukung dalam mempermudah urusan.
Apakah kehadiran teknologi mau dijadikan sarana menggapai surga? Gambaran segala sesuatu yang gampang didapat seperti dunia berada dalam genggaman. Atau malah sebaliknya kita terjebak dan bisa menjadi budak pengikut dari teknologi itu sendiri. Dan akhirnya istilah “dunia dalam genggaman kita” justru berubah menjadi “dunia menggenggam kita”. Wallahu a’lam.
*Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk, sekaligus alumnus Ponpes Al-Mardliyyah Pamekasan. Berproses di Orda IKSAPANSA.