Ramai-Ramai “Menggugat” Bupati Sumenep

×

Ramai-Ramai “Menggugat” Bupati Sumenep

Sebarkan artikel ini
Jakfar Faruk Abdillah

matamaduranews.com-Kabar tak nyaman menyeruak belakangan ini selama berhari-hari, setelah penetapan darurat covid 19 diberlakukan oleh Bupati Sumenep, lewat surat keputusan Bupati No. 188/304/KEP/435.013/2021 tangga 29 Juni 2021.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Kabar itu datang dari rekan-rekan media, aktivis dan tokoh di Sumenep yang menggambarkan Sumenep hari ini ; bahwa warga Sumenep dalam keadaan kesulitan menghadapi darurat C19.

Diceritakan bahwa pasokan obat-obatan, oxygen dan yang lainnya sangat minim  di fasilitas  kesehatan pemerintahan, kurang memadai untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat.

Dikabarkan pula ada beberapa warga di Kecamatan Arjasa, Raas dan Batang-Batang yang wafat saat isolasi mandiri  di rumahnya. Kemudian keluarga dan warga setempat memandikan jenasah dan dikuburkan dengan tidak menjalankan prokes. Lagi-lagi Pemkab ‘dituduh’  tidak hadir dalam keadaan ini.

Sementara Dinas Kesehatan terkesan tidak berdaya. Sebab salah satu kabidnya yang merangkap sebagai pejabat  kabid lainnya sedang  mengikuti pendidikan.

Jadi sifat darurat ini, juga terjadi kedaruratan tenaga profesional di Dinas Kesehatan Sumenep.

Mengapa hal ini dibiarkan tanpa solusi..?

‘Kepanikan’ warga Sumenep, kini mengarah pada class action terhadap bupati, karena dinilai ‘lalai’ dan ‘abai’ dalam melindungi warganya.

Tidak adanya persiapan pengadaan tenaga medis, obat-obatan dan fasilitas kesehatan lainnya sebelum  ditetapkannya darurat bencana C19, adalah ‘kecerobohan’  yang tak layak dilakukan kalangan professional. Karena mereka orang-orang terlatih, pengalaman dan terbiasa bekerja dalam tekanan tinggi.

Apakah  Dinas Kesehatan dengan sengaja membiarkan Bupatinya berpikir dan bertindak sendiri?  Lagi-lagi Bupati..!

Memang tidak dapat dipungkiri, ketidakhadiran negara dalam situasi pandemic yang telah ‘digaungkan’ lewat SK Bupati, sangat mungkin sudah bisa dilakukan class action oleh warga.

Sebab UU No 6/2018 yang menjadian tolak ukur pedoman dikeluarkannya SK Bupati Sumenep itu, terdiridari 14 Bab dan 98 pasal, yang di antaranya dari pasal itu, bisa menjadi ‘crucial’.

Misalnya pada pasal 6 sampai dengan pasal 9, yang menjadi  wilayah wewewnang dan tanggung jawab bupati, yang harus dipertanggung jawabkan.

Di antaranya di Pasal 6 yang mengamanatkan agar Pemda bertanggung jawab tersedianya sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan karantina kesehatan. Dan jika benar banyak para tenaga kesehatan asal kepulauan balik ke daratan karena ikut terpapar C19, ini masalah besar.

Begitu pula di pasal 8.  Yang memerintahkan pemerintah agar memberikan pelayanan dasar kepada rakyat sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina. Dan jika Pemkab tidak punya sikap atas UU No 6/2018, maka keresahan masyarakat akan membuncah.

Teriakan warga akan semakin luas akan menjadi produksi kekecewaan dan kefrustrasian, kemudian akan menjadi batu karang yang bersarang di hati warga Sumenep yang bisa menyimpan ‘dendam’ dalam Pilkada.

Lagi-lagi Bupati yang akan jadi ‘korban’  dan bisa orang lain yang akan memanen untung kelak.

Pekan ini gaung class action terhadap Bupati Fauzi, seperti tidak bisa ditawar-tawar lagi, jika tidak ada implementasi atas SK Bupati itu.

Sebagian warga seperti pasang kuda-kuda untuk melakukan class action sepanjang adanya kerugian yang dialaminya dan terus berjalan.

Mereka tentu tidak perduli kalah atau menang, yang penting mereka bisa menggugat Bupatinya yang dinilai ‘abai’ dan ‘lalai’ dengan tanggung jawabnya.

Karena rakyat paham makna gugatan class action itu yang tidak bisa dilepaskan dari paham ajaran negara yang bersandarkan hukum, baik yang dikenal dengan paham rule of law atau rechtstaats.

Pada dasarnya ajaran Negara Hukum adalah membatasi kekuasaan organ negara (limitation of state power) dan mengedepankan konsep hak asasi manusia. Hukum wajib ditegakkan, namun kemanusian dan jiwa manusia adalah  hukum tertinggi dalam negara.

Penerbitan SK Bupati Sumenep dengan sejumlah ‘cantolannya’ seperti yang termuat dalam SK Bupati, menurut hemat saya telah menyalahi prinsip negara hukum.

Sebab  prinsip dasarnegara hukum adalah penegakan supremasi hukum, seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yakni penyelenggaraan negara dijalankan tidak hanya sebatas hukum yang dibuat, namun hukum tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar sebagai landasan penyelenggara negara.

Imunitas bagi penyelenggara negara tidak ada ruang pembenarannya di situasi apapun untuk menabrak UUD 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di NKRI. Sebab setiap warga Negara sama kedudukannya di mata hukum, entah itu presiden, menteri, gubenur ataupun bupati.

Jabatan apapun di negeri ini bisa diminta pertanggung jawaban atau  bisa dikoreksi melalui lembaga peradilan.

Tidak ada yang super body dalam konstitusi NKRI !Kecuali Negara ini berubah menjadi berfaham fasisme, dimana  prinsip kepemimpinan dengan otoritas absolut,sehingga perintah pimpinan wajib dipatuhi.

Mustahillah ! Karena negeri ini tidak dipimpin Fir’aun yang hidup di tahun 3.100 sebelum masehi (SM).

Saya masih berkeyakinan; class action akan berjalan smooth bila di awali dengan cara-cara yang smart.

Sebab publik hari ini dipertontonkan penegakan hukum dengan tegas atas pelanggaran prokes oleh Habieb Rizieq Syihab, yang  menggunakan UU Bo 6/2018 ; tidak jauh beda dengan class action yang akan dilakukan warga Sumenep.

HES sudah dijatuhi hukuman.

Lalu bagaimana penegakan hukum, jika yang melanggar UU No 6/2018 itu pemerintah daerah-atas hak hak rakyatnya yang dilanggar?

Lalu dalil manakah yang bisa menggugat SK Bupati tentang penetapan kedaruratan kesehatan di Sumenep?

Pertama: UU No 6/2018  tentang karantina kesehatan, yang berisi amanat negara seperti yang tertuang dalam pasa 6 hingga 9.

Kedua :UU No. 24 /2007 tentang penanggulangan bencana.

Ketiga : UU PTUN pasal 53 ayat 1.

Keempat :  UU no 1/1946 Pasal 14 (1), juga lewat pintu yang dibuat oleh MA dengan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No 1/2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok.

Dalil tersebut bisa digunakan salah satunya atau secara berlapis, sesuai kesamaan dasar hukum. Bukti-bukti yang kuat, kesamaan jenis tuntutan, kesamaan fakta dan peristiwa.

Dan pastinya warga Sumenep yang lebih paham bab itu dalam merangkai tali temali dan peristiwa hukumnya. Karena mereka yang mengalami, melihat dan merasakannya sendiri apa yang telah terjadi.

Sungguh ini akan menjadi pertarungan yang seru di pengadilan, sekali lagi soal kalah dan menang itu bukan tujuan.

Walaupun yurespendensi class action cukup banyak yang dimenangkan oleh rakyat, misalnya Putusan PN Tanjung Pinang yang memenangkan warga dalam kasus penambangan, Putusan PN Jakarta Pusat atas atas normalisasi Kali Ciliwung dan banyak putusan PN lainnya.

Setidaknya class action ini menjadi ‘hook’ (istilah pukulan dalam tinju) yang dilontarkan rakyat dengan kepalan tangan yang diayun keras;  jika mengena rahang, maka akan membuat siapapun terkapar (knockdown) kendati dihitung hingga sepuluh kali oleh sang wasit.

Dan kalau rakyat kalah dalam gugatan ini. Yang ingin saya katakan, ternyata masih ada kedaulatan rakyat di negeri ini, meski sebatas menggugat.

Namun setidaknya theory kedaulatan rakyat yang di dengungkan penyokong demokrasi, seperti Jhohn Locke, Montesquieu dan J.J Rouseau masih ada jalan ceritanya. Walau hanya berupa sehelai kapas yang terbang melayang layang, berarak-arak bersama mendung kelabu, karena diterjang angin sakau (mabuk).

Sebab kata musisi Ebiet G. Ade dalam syair lagu Air Mata. “Percayalah tak ada badai yang kekal. Suatu saat pasti belalu. Air mata dan jiwa yang tulus menyentuh samudera keabadian”.

Ngereng se gaduen niat aguget Bupati Fauzi….! (J. Faruk Abdillah)

*Penulis adalah Wartawan Senior. Kini Advokat Bantuan Hukum. Ketua Perkumpulan Advokat Indonesia ( Peradin ) Sumenep. Berdomisili di Surabaya.