Catatan

dr Erliyati Seperti Lilin

×

dr Erliyati Seperti Lilin

Sebarkan artikel ini

Catatan: Hambali Rasidi

dr Erliyati
Ilustrasi

matamaduranews.com-Sabtu pagi. Seorang teman menghubungi saya lewat WhatsApp. Mengajak ngopi di kawasan TB.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Sekitar sejam kemudian, kami bertemu. Tak ada obrolan serius. Kopi di gelas sudah tandas. Saya pamit.

Seperti biasa. Hari libur tanpa agenda tetap, warung kopi jadi pelarian. Saya keliling. Hingga bertemu teman di area RSUD Sumenep.

Tak lama, datang teman lain. Kali ini nadanya berbeda. Serius. Biasanya santai. Tapi kali itu, pembicaraannya dalam. Saya mendengar. Lalu kami berpisah.

Saya keluar bertemu teman di Warkop WMS.
Si teman sibuk layout buku. Saya terngiang obrolan teman di RSUD. Ada keinginan untuk menulis. Tapi dari sisi mana?

Saya berpikir cukup lama. Sampai akhirnya satu nama muncul: dr Erliyati. Ya..namanya sedang jadi sorotan. Dihantam isu rekrutmen tenaga lewat skema IKS.

Beberapa hari sebelumnya, saya sempat bertemu langsung dengannya. Saat itu ia baru kembali dari ibadah haji. Wajahnya segar, tapi ucapannya tegas.

Dengan nada tinggi, ia lempar “sayembara”.

Mas..Siapa pun yang bisa membuktikan bahwa dirinya merekrut saudara atau keponakan lewat IKS, silakan tunjukkan.

Saya diam tak menyela. Bu Erli seperti ingin meluapkan sesuatu. Ia menjelaskan, IKS bagian dari persiapan RSUD untuk akreditasi tipe B pada tahun 2026. Semua dilakukan sesuai regulasi. Ia menyebut dasar hukumnya: Permendagri No. 79 Tahun 2018, Perbup Sumenep No. 57 Tahun 2020, dan Keputusan Direktur RSUD.

Sejak Februari 2025, RSUD dr. H. Moh. Anwar resmi naik kelas dari tipe C ke tipe B. Sebagai bagian dari implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)—standar nasional untuk rumah sakit tipe B. dr Erliyati mempersiapkan itu semua. Salah satunya melalui pola IKS. Tak menunggu rekrutmen ASN.

dr Erliyati dikenal gesit. Sat set. Gercep. Sampai ada media yang menyebutnya: “Ibu Risma-nya Sumenep.”

Saat dilantik sebagai Direktur RSUD pada April 2019, ia langsung berhadapan dengan masalah serius. Cash flow rumah sakit terguncang akibat BPJS nunggak. Belum selesai, pandemi COVID-19 datang. Menghantam tanpa ampun.

Tapi dua badai besar itu justru mengasahnya. Dengan langkah cepat dan strategi adaptif, ia membawa rumah sakit keluar dari krisis.

November 2022, RSUD Sumenep berhasil meraih Akreditasi Paripurna (Bintang Lima) dari Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS).

Sebelum resmi naik kelas, dr Erliyati sudah mencicil berbagai perubahan. Salah satunya yang paling monumental: mendirikan Poli Onkologi—satu-satunya di Madura. Di Jawa Timur, layanan ini hanya tersedia di RSUD Sumenep dan RSUD dr. Soetomo Surabaya.

Setelah keuangan rumah sakit stabil, ia mulai membenahi layanan dasar. Baginya, pelayanan yang baik adalah yang paling dekat dengan kebutuhan masyarakat.

Unit hemodialisa yang dulu kumuh, direnovasi. Tempat tidur ditambah. Agar pasien Sumenep tak perlu lagi ke Surabaya atau Pamekasan.

Pelayanan kemoterapi dirintis. Begitu juga layanan patologi anatomi dan ortopedi. Semua dilakukan bertahap, tapi dengan arah yang jelas: pelayanan yang manusiawi, yang meringankan beban pasien dan keluarganya.

Di bawah kepemimpinannya, modernisasi alat kesehatan juga digenjot. CT Scan kedua ditambah, karena permintaan meningkat.
Mammografi untuk deteksi dini kanker payudara dihadirkan. Alat terapi hiperbarik senilai Rp 5 miliar pun disiapkan.

Tidak hanya pembaruan fisik. Sistem pun dibenahi. Digitalisasi layanan dikebut. Demi efisiensi dan kenyamanan pasien.

Tapi dr Erliyati sadar: perubahan sejati tidak hanya datang dari alat dan bangunan.

Ia menanamkan satu nilai yang sederhana, tapi mendalam: “Bismillah Melayani.”

Sebuah niat yang menjadi napas dalam setiap pelayanan. Melayani dengan ketulusan. Dengan sabar. Tanpa setengah hati.

Ia percaya rumah sakit bukan milik direktur, dokter, atau perawat. Tapi milik bersama. Milik masyarakat. Instalasi Peduli Pelanggan (IPP). Tempat siapa saja boleh mengadu. Boleh memberi saran. Dan bukan sekadar ditampung—tapi ditindaklanjuti.

Perubahan besar memang tidak bisa instan. Ia tahu, rumah sakit yang kuat tidak dibangun dalam semalam. Tapi dari fondasi yang tahan lama.

Maka ia menanam.

Menyusun program pengembangan SDM. Melatih tenaga medis. Merancang pembenahan sarana. Semua dilakukan pelan, tapi pasti.

Dari itu semua, dr Erliyati menekankan pelayanan menjadi wajah utama rumah sakit. Agar pasien dihargai. Dipahami. Didampingi.

Kini, di tengah transisi RSUD menuju tipe B, saya dengar ia pernah mengeluh lirih kepada seseorang:

“Saya seperti lilin. Menerangi sekitar. Tapi diri saya dibakar. Bukan terbakar.”

Kalimat itu menyentak. Dalam. Diam-diam menusuk.

Saya teringat ucapan orang-orang tua:

Kadang, yang paling terang justru paling cepat habis—karena apinya datang dari dalam. Dan lilin tak pernah menjerit saat ia menyala.

Begitulah dr Erliyati.
Menerangi dalam diam. Meski dirinya pelan-pelan mau didelet..