Opini

Pegadaian Partai Politik; Peran Agama bagi Parpol dalam Pilkada di Madura

×

Pegadaian Partai Politik; Peran Agama bagi Parpol dalam Pilkada di Madura

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mohammad Ali Al Humaidy*

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Dalam sebuah perbincangan di kampus, muncul pertanyaan sederhana, adakah perbedaan secara spesifik pergerakan politik khususnya momentum pilkada di Madura. Tentu, arah pertanyaan tersebut tidak memperdebatkan tahapan-tahapan politik yang secara prosedural sudah ditentukan undang-undang, namun mengarah pembacaan dinamika politik dan lembaga politik pada masyarakat Madura.

Secara sosiologis, konteks Madura tidak akan lepas dari ‘stigma’ masyarakat religius, bahkan ada yang menyebut serambi Madinah. Simbol ini merupakan apresiasi atas pemahaman dan ketaatan terhadap nilai-nilai agama dalam kehidupan, termasuk tindakan politik praktis (pilkada). Tentu, sah-saja bila publik membayangkan Madura sebagai serambi Madinah mengandung perkawinan pelaksanaan hukum Islam seperti Aceh sebagai serambi Mekkah.

Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan antara masyarakat Madura dengan Aceh, dan tidak akan menjustifikasi kelompok mana yang lebih beriman kepada Sang Khalik, namun lebih mengarah kepada refleksi pengamalan nilai-nilai agama dalam institusi partai politik khususnya dalam ritual politik pilkada di Madura, karena pengamalan secara holistik jauh lebih penting daripada sebatas memahami agama secara formalistik.

Sungguh suatu peradaban demokrasi dalam pelaksanaan pilkada di Madura, jika mampu membumikan satu paradigma fungsi agama dan politik yaitu fungsi edukatif bahwa kehadiran agama dan demokrasi pilkada mengandung makna pendidikan politik rakyat (civic education). Islam sangat peduli dengan hak-hak (politik) rakyat, demikian juga substansi demokrasi Pancasila. Pembumian nilai-nilai edukasi agama dan demokrasi Pancasila, sangat urgent dan mendesak, karena dalam proses berpolitik pilkada di Madura nyaris kurang memberikan porsi pencerahan nilai-nilai edukasi, itu artinya para aktor politik terjebak pada pragmatisme politik hanya satu tujuan calon yang diusung menang. Rakyat hanya dicekokin janji-janji politik, dibius bahwa calon yang diusung satu-satunya calon yang layak dipilih dan sejuta praktek politik bermadzhab ‘pokoknya’ menang.

Fenomena ini, penting menjadi catatan kritis khususnya oleh partai politik yang mengusung calon sekaligus sebagai tim pemenangan. Mengapa demikian, karena jika terjadi pembiaran disfungsi agama dan demokrasi politik, maka ini berarti partai politik ikut terlibat dalam pembodohan hak-hak politik rakyat, yang sejatinya partai politik mempunyai peran besar memberikan ruang informasi dan komunikasi politik yang baik dengan rakyat.

Faktanya, partai politik membangun intensitas komunikasi dengan rakyat, secara pragmatis hanya dilakukan menjelang pemilihan legislatif dan pilkada. Jika tidak ada perubahan paradigma gerakan fungsi partai politik, maka partai politik gagal memfungsikan diri sebagai agregator publik. Kondisi ini sejalan dengan pandangan Syahrul Hidayat dalam tulisannya Hambatan dan Keberhasilan Partai Politik di Indonesia; Dari Diskusi Dengan Partai-Partai mengemukakan bahwa kelompok LSM, mahasiswa dan perempuan merasa kecewa dengan keberadaan partai politik, dengan alasan: Pertama, masih kuatnya instrument kekuatan lama yang kini berubah wajah menjadi seolah-olah reformis di dalam partai-partai politik di era reformasi. Harus disadari betapa sulit dan tidak mudah menyingkirkan dan mengikis habis kekuatan lama, mengingat pilihan yang diambil dalam perubahan yang berjalan saat ini adalah reformasi, sehingga keterlibatan instrumen lama tidak serta merta berakhir, bahkan diiuktsertakan.

Kedua, komitmen yang rendah terhadap janji-janji dalam kampanye pemilu sebelumnya. Tidak satu partai politikpun yang tidak menyampaikan tawaran yang “bombastis” saat kampanye berlangsung. Para juru kampanye dengan nada dan intonasi yang berapi-api menyalak membakar massa. Slogan-slogan dan jargon-jargon yang diusung luar biasa dahsyatnya, dari pendidikan gratis hingga pelayanan kesehatan gratis termasuk penciptaan pemerintahan yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sampai pada pembukaan dan perluasan lapangan kerja. Ketiga, manajemen partai yang tidak modern yang juga disangga oleh masih kuatnya dominasi budaya patrimonialisme. Meskipun beberapa partai besar terus membenahi diri, namun partai politik yang ada masih menggunakan cara-cara lama, misalnya dalam banyak hal, pengelolaan partai politik terkadang tidak berdasar pada kompetensi, melainkan pada ukuran seberapa banyak jumlah dana yang bisa setorkan kepada partai tersebut atau adakah nama besar yang membawa dan menitipkannya dalam partai politik tersebut.

Keempat, partai politik terlihat tidak mempunyai program yang jelas. Beragam program yang diajukan lebih bersifat normatif, mengawang-awang bahkan cenderung mengada-ngada tanpa melihat kenyataan dan kondisi riel Indonesia, maka tidak mengherankan jika mereka kebingungan sendiri untuk memulai program yang telah disusunnya. Kelima, kaderisasi di tubuh partai politik yang juga dituding lemah. Hal ini terkait dan tidak dapat dipisah-lepaskan dengan rekruitmen yang lagi-lagi masih didominasi oleh kapital atau jumlah dana yang mampu diberikan seseorang terhadap partai politik, bukan pada kemampuan, track record dan sebagainya. Wajar jika pada saat berkuasa yang dipikirkan adalah bagaimana cara mengembalikan dana yang telah dikeluarkan.

Kelima kritik ini, menggambarkan betapa inkonsistensi yang semakin digemari oleh partai politik. Maka bila ini tetap terjadi, semakin sulit rasanya berharap adanya peningkatan kesejahteraan rakyat pada diri partai politik untuk diperjuangkan melalui kewenangan yang didapat dan milikinya.

Dalam pandangan penulis, instrumen agama sebagai salah satu yang utama sebagai senjata untuk meminimalisir jarak antara idealita/konsep dengan realitas yang dilakukan oleh partai politik (politisi). Agama senantiasa akan menuntun para politisi dan institusi partai politik kearah fungionalisme agama, sebagai fungsi penyelamatan, pengawasan (social control), memupuk persaudaraan dan fungsi transformatif. Wallahu a’lam.

*Penulis; Dosen STAIN Pamekasan. Alumni Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia.