Asal Usul Raden Azhar, Tokoh Legendaris Bulangan Pamekasan

×

Asal Usul Raden Azhar, Tokoh Legendaris Bulangan Pamekasan

Sebarkan artikel ini
Asal Usul Raden Azhar, Tokoh Legendaris Bulangan Pamekasan
Pasarean Raden Azhar di Bagandan, Pamekasan. (Foto/RM Farhan)

matamaduranews.com-PAMEKASAN-Raden Azhar merupakan tokoh ulama besar di masanya. Beliau merupakan leluhur sebagian para ulama di Pamekasan, Sumenep hingga daerah tapal kuda. Di tapal kuda, salah satu keturunan pancer dari beliau ialah KHR As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo, salah satu tokoh besar Nahdlatul Ulama.

Berdasar sejarah, Raden Azhar gugur bersama Raden Tumenggung Ario Adikoro IV (R. Ismail), dalam peristiwa pemberontakan Ke’ Lesap di tahun 1750 M, di tempat yang bernama Bulangan. Keduanya dikenal dengan gelar anumerta, Sido Bulangan.

Nasab

Raden Azhar dikenal berasal dari keluarga ulama sekaligus bangsawan di Pamekasan. Gelar Raden di depan namanya menunjukkan identitas kedarah biruannya. Sementara posisinya sebagai penghulu, jelas menunjukkan kapasitas keilmuannya di bidang agama.

Meski begitu, ada dua versi mengenai asal-usul Raden Azhar, Sang Penghulu Bagandan Pamekasan ini. Yang mana keduanya memiliki sumber otentik.

Di versi pertama yang salah satunya ditulis oleh Kangjeng Raden Tumenggung Ario (KRTA) Zainalfattah Notoadikusumo, sejarawan legendaris Madura, menyebutkan bahwa Raden Azhar adalah salah satu putra dari Raden Tumenggung Wiromenggolo, alias Pangeran Purwonegoro.

Tumenggung Wiromenggolo merupakan adipati Sumenep yang memerintah pada 1709-1721 Masehi. Isteri Wiromenggolo ialah Putri Pangeran Rama alias Cokronegoro II, penguasa Sumenep sebelumnya.

Wiromenggolo ini berputra 11 orang. Dua di antaranya ialah Pangeran Cokronegoro IV alias Raden Alza alias Pangeran Lolos; dan Raden Wongsodirejo, yakni nama lain dari Raden Azhar Penghulu Bagandan.

Jika ditarik ke atas, Wiromenggolo adalah putra Pangeran Wirosari. Wirosari adalah anak Pangeran Megatsari Pamekasan. Pangeran Megatsari adalah anak Pangeran Mertosari Jambringan Pamekasan. Pangeran Mertosari adalah anak Pangeran Suhra atau Kiai Pradata, yaitu salah satu anak Kiai Pragolbo (Pangeran Arosbaya).

Adapun versi kedua yang dipegang oleh sebagian anak keturunannya yang bersumber dari catatan manuskrip kuno yang diwariskan turun temurun, diketahui bahwa Raden Azhar Penghulu Bagandan yang wafat di Desa Bulangan saat berperang melawan Ke’ Lesap itu keturunan dari Panembahan Kalijaga alias Panembahan Qadhi.

Panembahan Kalijaga ini ditulis berputra Kiai Mujahid. Kiai Mujahid disebutkan tinggal di Arosbaya dan beristri di daerah tersebut. Beliau diterangkan menjabat sebagai Mufti (pemberi fatwa) di Negeri Arosbaya dan dikenal alim ilmu fikih. Nah, Kiai Mujahid ini berputra Kiai Ahmad. Kiai Ahmad menikah dengan Nyai Maimunah putri dari Kiai Ma’rifat Penghulu Keraton Pamekasan.

Kiai Ma’rifat menjabat sebagai Penghulu, yaitu Penasehat Agama Kerajaan yang diangkat oleh Kangjeng Tumenggung Megatsari. Setelah Penghulu Ma’rifat wafat, maka yang menjadi penggantinya adalah sang menantu, yaitu Kiai Ahmad sebagai Penghulu Pamekasan.

Dari pernikahan antara Kiai Ahmad bin Kiai Mujahid dengan Nyai Maimunah binti Kiai Ma’rifat ini maka lahirlah seorang pemuda yang diberi nama Muhammad Al-Azhari.

Kiai Muhammad Al-Azhari mempunyai putra yang bernama Azhar atau yang lebih dikenal dengan Raden Azhar, beliau diangkat menjadi Qadhi (Penghulu) Pamekasan di zaman Raden Isma’il (Raden Tumenggung Ario Adikoro IV).

Setelah dewasa, Raden Azhar menikah dengan Nyai Qadhi putri Nyai Aminah Lembung Somor Koneng Kwanyar Bangkalan. Nyai Qadhi ini bersaudara kandung denganNyai Toronan (istri Kiai Agung Toronan). Sehingga dengan demikian, antara Raden Azhar dengan Kiai Agung Toronan dalam istilah Maduranya disebut saudara loway.

Mengajar Ngaji Di Desa Bulangan

Sejak masa mudanya, sebelum menjadi Penghulu Keraton, Raden Azhar sangat peduli dengan ilmu agama. Ia dikisahkan mendalami ilmu agama dari ayahnya. Di sebuah desa di Kawedanan Pegantenan, Raden Azhar rutin mengajari ngaji, baik Al-Qur’an ataupun ilmu agama lainnya. Karena istiqomahnya Raden Azhar molang (mengajari) ngaji, maka tempat beliau berdakwah, saat ini diberi nama desa Bulangan.

Bulangan ini berarti tempat beliau molang (mengajari) ngaji, beliau molang di sebuah surau yang terbuat dari kayu yang beratap belli’ (ilalang/welit).

Beberapa meter di sebelah Timur surau, terdapat sumber mata air tempat Raden Azhar beserta para santrinya mandi dan bersuci.

Menurut cerita Kepala Desa Bulangan Barat, yaitu H. Faishol, sumber mata air itu sangat sakral sampai sekarang. Di dalamnya hidup ikan lele berwarna putih. Sedangkan di luar kolam tempat aliran air yang keluar dari kolam, ikan lelenya berwarna hitam.

“Masyarakat sekitar tidak berani menggunakan air di dalam kolam untuk menyiram tembakau, karena tembakaunya tidak akan masak,” kata Kepala Desa Faishol.

Menjadi Penghulu Di Keraton Pamekasan

Jabatan Penghulu Pamekasan adalah jabatan yang diwariskan dari buyutnya Raden Azhar, yaitu Kiai Ma’rifat yang menjadi Penghulu di zamannya Raden Tumenggung Megatsari.

Seperti disebut di muka, setelah Kiai Ma’rifat wafat, diganti oleh menantunya yaitu Kiai Ahmad. Setelah Kiai Ahmad wafat, diganti oleh putranya yaitu Kiai Muhammad Al-Azhari, dan sepeninggalnya, jabatan Penghulu Pamekasan diteruskan oleh putra beliau yaitu Raden Azhar yang diangkat oleh Raden Isma’il (Raden Tumenggung Ario Adikoro IV).

Segala urusan agama keraton, urusan adat dan urusan sosial kemasyarakatan lantas menjadi tugas Raden Azhar untuk menanganinya.

Tentang Nama Sadangdang

Dikisahkan saat Raden Azhar sowan (nyabis) ke kakak lowaynya yaitu Kiai Agung Toronan, terjadi peristiwa aneh yang lantas diabadikan dalam bentuk penamaan sebuah lokasi di Pamekasan.

Kala itu Raden Azhar sowan untuk meminta izin kepada Kiai Agung Toronan dan mengutarakan niatnya untuk berperang melawan Ke’ Lesap, atas dasar perintah dan pengabdian terhadap Raja.

Sepulang dari Toronan, beliau kembali ke sekitar area Kota Raja Pamekasan dengan menunggangi kuda lewat daerah Kowel (saat ini salah satu kelurahan di kecamatan Pamekasan). Setelah melewati Asta Kolpajung (Komplek Pemakaman Raja-raja Pamekasan), tanpa diketahui dari mana asalnya, belasan burung gagak (dangdang) datang mau menerkam Raden Azhar dengan suara khasnya yang saling bersahutan satu sama lainnya, dan hal itu terlihat langsung oleh penduduk setempat. Maka setelah kejadian itu, tempat Raden Azhar akan esaop (diterkam) Dangdang ini dikenal dengan sebutan Sadangdang yang artinya Saop Dangdang.

RM Farhan

KPU Bangkalan