Bukan Valentine’s Day, Tanggal 14 Februari Hari Pemberontakan Tentara PETA

×

Bukan Valentine’s Day, Tanggal 14 Februari Hari Pemberontakan Tentara PETA

Sebarkan artikel ini
Bukan Valentine’s Day, Tanggal 14 Februari Hari Pemberontakan Tentara PETA
Monumen PETA di Jl. Sudanco Supriyadi, Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur

matamaduranews.com – Selama ini kita mengenal tanggal 14 Februari sebagai Valentine’s Day atau Hari Kasih Sayang. Padahal, bangsa Indonesia punya sejarah sendiri pada tanggal tersebut, yakni sebuah peristiwa pemberontakan tentara Pembela Tanah Air atau yang kita kenal dengan PETA.

Generasi hari ini tentu saja cukup asing dengan PETA, sehingga hanya mengenal tanggal 14 Februari sebagai Valentine’s Day atau Hari Kasih Sayang semata. Namun, sebelum Indonesia merdeka dan memiliki Tentara Nasional Indonesia, sudah ada tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Sejarah Singkat PETA

Dilansir Mata Madura dari Channel YouTube Hikayat Ilmu, Senin, 14 Februari 2022, Pembela Tanah Air atau PETA merupakan kesatuan militer yang dibentuk Jepang pada masa pendudukan di Indonesia. PETA dibentuk tahun 1943 dengan tujuan untuk menghadapi perang Asia Timur Raya dari serangan blok sekutu.

Banyak pemuda dan pelajar bangsa Indonesia ikut bergabung menjadi tentara suka relawan. Mereka diberikan pelatihan fisik oleh bangsa Jepang. Namun, mereka semangat karena ternyata memiliki tujuan untuk mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Apalagi, Pemerintahan Jepang sendiri mengatakan, jika pelatihan ketentaraan tersebut akan bermanfaat untuk melindungi bangsa Indonesia.

Kemudian pada Maret 1944, Pemerintah Jepang merasa PETA melayani kepentingan Indonesia daripada Jepang. Bahkan, terjadi pemberontakan PETA di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Supriyadi. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh seorang Sodanco, salah satu jabatan pada struktur PETA yang dapat disebut juga sebagai komandan Pleton.

Pemberontakan Tentara PETA

Pemberontakan tentara PETA berawal dari keprihatinan Supriyadi terhadap nasib rakyat Indonesia, khususnya di Blitar Jawa Timur, yang hidup susah di bawah masa kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II. Penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi itu disebabkan kekaisaran Jepang menerapkan kebijakan yang sangat brutal, seperti kerja paksa atau Romusha.

Kondisi rakyat waktu itu sangat menyedihkan, karena sudah seperti budak yang harus bekerja tanpa mengenal batas waktu dan mendapatkan perlakuan intimidatif dari tentara Jepang. Banyak dari Romusha yang tewas kelaparan dan terdampak berbagai macam penyakit. Perlakuan rasis juga dialami oleh tentara PETA yang notabene adalah bentukan pihak Jepang sendiri. Berdasarkan hal itulah, Supriyadi kemudian mengkonsolidasikan pasukannya untuk melakukan pemberontakan melawan tentara kekaisaran Jepang.

Sejak bulan September 1944, tentara PETA sudah menggelar berbagai pertemuan yang bersifat rahasia. Supriyadi merencanakan aksi yang tak hanya sekadar pemberontakan saja, tetapi juga sebuah aksi revolusi yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Hal itu terlihat dari komunikasi para pemberontak dengan komandan Batalyon di wilayah lain untuk sama-sama mengangkat senjata.

Tak hanya itu saja, mereka juga bahkan berniat menggalang kekuatan rakyat. Sayangnya, persiapan yang sudah direncanakan PETA justru belum matang sepenuhnya. Kempeitai atau polisi rahasia Jepang sudah mencium aksi mereka. Supriyadi lantas cemas dan khawatir mereka malah ditangkap sebelum aksi dimulai.

Memasuki tanggal 13 Februari 1945 malam, Supriyadi memutuskan pemberontakan harus dimulai. Siap ataupun tidak siap inilah saatnya tentara PETA membalas perlakuan tentara Jepang. Banyak yang menilai pemberontakan tersebut belum siap, termasuk Soekarno. Bahkan, dia meminta Supriyadi memikul tanggung jawab jika pemberontakan gagal.

Akhirnya pada tanggal 14 Februari 1945 dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan. Sebab, saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar. Sehingga, anggota-anggota PETA yang lain diharapkan akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan, yang tujuannya untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.

Kemudian pada pukul 03.00 WIB, pasukan Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira Jepang. Markas Kempeitai juga ditembaki senapan mesin. Namun, rupanya kedua bangunan itu sudah dikosongkan lantaran secara mendadak telah terjadi pembatalan pertemuan. Pasalnya, Jepang sudah menerima informasi mengenai rencana pemberontakan yang akan dilakukan PETA.

Dalam aksi yang lain, salah seorang Budanco, Bintara PETA merobek poster bertuliskan “Indonesia Akan Merdeka” dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia Sudah Merdeka”.

Pemberontakan Gagal, Sodanco Supriyadi Hilang

Pemberontakan PETA sendiri akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan itu pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang.

Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk menghentikan pemberontakan PETA. Dalam kondisi seperti itu, para pemberontak pun terdesak. Difasilitasi oleh Dinas Propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Sodanco Muradi, salah satu pentolan pemberontak PETA dan meminta seluruh pasukan pemberontak kembali ke markas Batalyon.

Sodanco Muradi setuju, namun mengajukan syarat kepada Kolonel Katagiri, yakni senjata para pemberontak tidak boleh dilucuti Jepang dan para pemberontak tidak boleh diperiksa atau diadili Jepang. Kolonel Katagiri pun setuju dan memberikan pedangnya sebagai jaminan. Pemberian pedang tersebut sebagai janji seorang Samurai yang harus ditepati.

Akan tetapi, janji Kolonel Katagiri kepada pemberontak PETA ternyata tidak bisa diterima oleh komandan tentara Jepang. Mereka malah mengirimkan Kempeitai untuk mengusut pemberontakan PETA. Dan Jepang pun melanggar janji yang diucapkan seorang Samurai.

Pasca pemberontakan, sejumlah perwira dan prajurit PETA dari daerah Blitar ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara oleh Pemerintahan Jepang, untuk kemudian diadili secara militer di Jakarta. Mirisnya lagi, nasib Sodanco Supriyadi justru tidak diketahui.

Supriyadi menghilang secara misterius tanpa seorangpun yang mengetahui kabarnya. Sebagian orang meyakini Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Sementara sebagian yang lain menyakini Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan-hutan sekitar Kota Blitar.

Supriyadi, Menteri yang Tak Pernah Dilantik

Setelah Indonesia merdeka, Sodanco Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah muncul untuk menerima mandat tersebut hingga saat pelantikan para menteri tiba. Alhasil,saat para menteri dilantik oleh presiden Soekarno tertulis Menteri Pertahanan dan Keamanan RI belum diangkat.

Akhirnya karena Supriyadi benar-benar tidak muncul, Presiden Soekarno mengangkat dan melantik Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia. Meskipun begitu, Pemerintah Indonesia tetap mengakui jasa-jasa Supriyadi. Kemudian mengangkatnya sebagai salah satu Pelopor Kemerdekaan serta sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Monumen Tentara PETA

Untuk mengenang perjuangan pemberontakan tentara PETA pimpinan Sodanco Supriyadi, Pemerintah Indonesia mendirikan monumen PETA tepat di lokasi perlawanan. Monumen tersebut terdiri atas 7 buah patung tentara PETA dalam posisi siap menyerang, di mana patung Sodanco Supriyadi diletakkan tepat di tengah monumen sebagai pemimpin pemberontakan PETA.

Kemudian tanggal 14 Februari dicatat dalam sejarah Nasional Indonesia sebagai peringatan peristiwa pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA). Namun sayang, generasi hari ini tampaknya lebih mengingat tanggal 14 Februari untuk merayakan hari Valentine. (Wf01)

KPU Bangkalan