Bupati Sumenep “Perkasa”

×

Bupati Sumenep “Perkasa”

Sebarkan artikel ini
Bupati Achmad Fauzi
Bupati Sumenep, Achmad Fauzi.

matamaduranews.com-Komitmen adalah bentuk dedikasi atau kewajiban yang mengikat kepada orang lain, baik dalam bentuk kata atau tulisan yang dijanjikan untuk diwujudkan.

Kata komitmen kali ini, banyak disandingkan dengan janji calon pejabat publik jelang pemilihan umum, yang memproduksi berjibun janji pemilu dalam rangka memikat pemilih agar memilih dirinya.

Memang benar, ketika pemimpin itu terpilih, janji itu menjadi prioritas sang pemimpin. Namun tidak sedikit-yang ternyata-tidak mampu mewujudkan janji-janji itu alias “zonk‟.

Biasanya, pejabat publik setelah terpilih, menunjukkan “keperkasaannya‟ untuk dikatakan sebagai pemimpin publik yang punya dedikasi tegakkan komitmennya di mata publik.

Apesnya, di masa pandemi corona 19, banyak pejabat publik kelimpungan karena anggaran yang tersedia di refocusing untuk kegiatan dampak bencana tersebut. Sehingga banyak program unggulan dan smart menjadi lelet dan kehilangan arah.

Misalnya saja di Kabupaten Sumenep, program unggulan yang akan mencetak 5000 wirausaha muda yang gaungnya dulu luar biasa, kini tak bersuara lagi.

Konon disamping kegiatan ini terkendala dengan regulasi dan Pusat Inkubator Wirausaha STKIP PGRI Sumenep (PIWS) yang tidak bisa melaksanakan karena terbentur aturan baru, seperti yang ditulis Mata Madura (27/06/2019).

Anehnya, Program itu yang mulanya dicanangkan di masa Bupati Busyro Karim dan Wabub Fauzi, dengan berani, masih dilanjutkan lagi oleh Bupati Fauzi sebagai produk unggulan kampanyenya;

Namun sampai kini program moncer itu gaungnya tak terdengar lagi, bahkan mungkin mangkrak !

Pandemi Covid 19, memang memukul sendi kehidupan, namun keperkasaan bupati di hadapan rakyatnya tetap dinantikan. Sebab rakyat tidak paham dengan mata anggaran, refocusing dan tidak paham pula dengan situasi dana pemerintah yang kian seret.

Menurut rakyat, pemerintah adalah sistem yang bergerak dengan super power. Karena pemerintah dinilai punya “maha segalanya‟ atas negeri ini.

Masa pandemi yang menyebabkan rakyat kekurangan daya beli pangan dan sandang, meroketnya harga-harga, sulitnya pekerjaan dan dibatasinya pergerakan karena penetapan status darurat bencana. Semakin menambah kian kusutnya hati rakyat. Mimpi-mimpi indah itu nyaris pudar, bahkan kini mungkin berpendar.

Keputusan Bupati Sumenep Nomor : 188/304/KEP435.013/2021 yang dikeluarkan 29 Juni 2021. Tentang Penetapan Status Darurat Bencana Non Alam Akibat Wabah Virus Corona Disease 2019 (Covid 19) di Kabupaten Sumenep, adalah sebuah harapan baru.

Mentereng nya Keputusan Bupati itu yang dilengkapi lima item pertimbangan. Enam konsideran Undang-undang dan lima Peraturan. Sungguh merupakan keputusan dari Keperkasaan seorang bupati.

Bupati Sumenep seperti hendak menunjukkan jati dirinya, bahwa ia memang pantas dipilih. Action Bupati Sumenep, bisa jadi jarang ditemui di kabupaten lainnya dan ini sungguh peristiwa yang luar biasa!

Namun dengan keluarnya Keputusan Bupati Sumenep itu, ternyata tidak sederhana. Sebab cantolan hukum dalam penetapan status darurat bencana non alam akibat wabah virus corona yang akan mengatur prokes/karantina rakyat dan pergerakannya, punya konsekwensi yang berat pula.

Sebab tidak hanya rakyat yang harus patuh dengan perundang undangan dan peraturan lainnya. “Rule of Game” yang berada di jari jemari tangan kekuasaan bupati, yang ditujukan bagi rakyatnya, juga tertuju kepada Bupati yang “Perkasa‟.

Dari enam Undang-Undang yang menjadi konsideran Keputusan Bupati Sumenep dan 5 peraturan lainya; jika “dicolek’ salah satu saja. Misalnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, tentang Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan produk hukum NKRI yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada hari kemerdekaan 17 Agustus 2018.

UU itu merupakan produk hukum dalam rangka mendukung pemerintah untuk melindungi gangguan kesehatan masyarakat Indonesia dari ancaman penyakit baru atapun lama untuk menggantikan UU No.1/1962 tentang Karantina Laut dan UU No.2 tentang Karantina Udara.

Undang-undang ini, tergolong sangat full power. Di antaranya mengatur tanggung jawab pusat dan daerah, hak dan kewajiban, kedaruratan, penyelenggaraan ke karantinaan kesehatan di pintu masuk, mengatur penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan diwilayah, dokumen, sumber daya, informasi, pembinaan, pengawasan, penyidikan dan ketentuan pemidanaannya.

Mantap dan cerdas !

Kehebatannya tidak hanya berhenti di situ. Di samping mengamanatkan kepada pemerintah daerah dengan berbagai piranti hukum dan penegakannya hingga ketentuan pemidanaan warga yang cengkal tor mothok (dabbleg, pen Jawa ).

Beberapa saat setelah dikeluarkannya penetapan status darurat ini, kota Sumenep pada malam hari mulai di sekat di beberapa ruas akses menuju kota.

Mobil milik polisi pun melintang menjadi penutup ruas jalan. Risikonya warga memilih jalan pinggir kota. Disitulah terjadi penumpukan yang luar biasa.

Hari berikutnya tidak lagi ditemui mobil polisi melintang di perempatan jalan, namun penerangan kota dipadamkan dan dijaga dibeberapa titik, namun kota ini nyaris menjadi kota mati.

Upaya penghentian penyebaran Covid 19 di Sumenep secara kasat mata, memang sudah dilakukan. Namun upaya pencegahan penumpukan di tempat hiburan malam, masih kurang maksimal.

Saat hari pertama diberlakukan darurat Covid 19, masih banyak tempat cangkrukan tetap buka, walau dalam gelap-gelapan.

UU No 6/2018, tidak hanya rakyat yang diatur-atur pergerakannya. Istilah karantina wilayah dan pembatasan sosial dalam UU tersebut juga mengatur “NASIB‟ manusia yang dikarantina dan yang dibatasi, untuk dipatuhi. Sebab jika tidak ! Maka serangkaian UU lainnya dengan pasalnya yang akan “menelikung‟ warga Sumenep bisa masuk hotel prodeo.

Nasibnya kelak tidak jauh amat dengan Habib Rizieq Syihab (HRS) Cs, walau kasus HRS kini masih satu-satunya kasus yang masuk wilayah hukum di NKRI. Sementara lainnya mungkin masih dalam “kalkulasi‟ hukum.

Lalu apakah kewajiban pemerintah daerah yang menjadikan UU No.6/2018 sebagai konsideran produk hukum seperti yang tertuang dalam Keputusan Bupati Sumenep Nomor : 188/304/KEP435.013/2021 ?

Nah ini yang sangat urgent untuk diminta kepada pemerintah kabupaten Sumenep. Seperti yang tertuang dalam UU No 6/2018, konsekwensi atas pemberlakuan UU tersebut, disebutkan dalam Pasal 6. “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Karantina kesehatan”.

Pada pasal 8 “Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina,”.

Pada pasa 9 “(1) Setiap orang WAJIB mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan. (2) Setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan karantina kesehatan.”

Tafsir tiga pasal tersebut mengamanatkan KEWAJIBAN bagi setiap warga NKRI untuk patuh dan tunduk dengan UU No.6/2018 itu . Artinya tidak pandang bulu, termasuk penyelenggara negara/aparatur negara WAJIB mematuhi UU tersebut. Sebab produk hukum ini tidak hanya mengikat bagi warga, tapi negara wajib mematuhi produk hukumnya sendiri.

Pasal 8, negara mengamanatkan kepada Pemda Sumenep, agar memberikan pelayanan pangan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya, juga untuk kesehatan selama Pemda Sumenep menggunakan konsideran UU No. 6/2018.

Pertanyaan besarnya? Adakah bantuan untuk kebutuhan pangan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya bagi warga Sumenep ?

Sebab bunyi pasal ini cakupannya sangat luas, frasa : “dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina”.

Teks pasal ini UU memberikan perintah, agar Pemerintah Pengguna UU No 6/2021, wajib memenuhi ketentuan pasal tersebut. Bahkan pakan ternak dan peliharaan lainnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Begitu juga pada frasa : “Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis”.

Pertanyaan lagi, adakah pemeriksaan SWAB antigen (rapid ) yang tersedia di seluruh Puskesmas di Sumenep dengan gratis bagi semua warga?

Pasal 6, 7,8 dan 9 UU No 6 /2018 tidak hanya menyasar, kelompok tertentu. Namun berlaku bagi setiap warga negara yang berada di lingkup ditetapkannya kedaruratan itu.

Artinya setiap warga negara yang berada wilayah yang telah dinyatakan dengan Status Darurat Bencana Non Alam Akibat Wabah Virus Corona Disease 2019 ( Covid 19 ) punya perlakukaan sama, termasuk bantuan sandang pangan kepada yang kaya sekalipun.

Adakah itu?

Equality be fore the law ; mata hukum sejatinya tidak hanya bisa menatap nanar ke bawah, tapi juga harus mampu menatap matahari yang sinarnya menyakitkan mata, walau berada diatas langit singga sana dengan kepongahannya.

Produk hukum status darurat atas kota Wiraraja ini, tidak ada yang salah jika gunakan kacamata terang.

Namun jika penggunaan produk hukum kurang kajian akademik,”„gagah-gagahan‟, asal-asalan mencantolkan, dan setengah yang dijalankan, setengahnya “omong kosong”. Maka akan menggerogoti “Keperkasaan‟ bupati sepanjang masa. Hilangnya kepercayaan publik terhadap bupati akan menjadi derita panjang.

Tujuan baik bagi muslim, lazimnya diawali dengan bacaan Bissmillah, namun kandungan filosofi dari bacaan itu, kita tetap dituntut harus mempersiapkan segala piranti sebelum berangkat menuju tujuan. (J Faruok Abdillah)

*)Penulis Wartawan Senior. Kini advokat Bantuan Hukum Sumenep. Ketua Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin) Sumenep. Berdomisili di Surabaya.

KPU Bangkalan