Nasional

Cerita Sedih Sri Lestari; Korban Selamat di Kerusuhan Wamena

×

Cerita Sedih Sri Lestari; Korban Selamat di Kerusuhan Wamena

Sebarkan artikel ini
Cerita Sedih Sri Lestari; Korban Selamat di Kerusuhan Wamena
Sri Lestari; Korban Selamat di Kerusuhan Wamena (foto bumipapua.com)

matamaduranews.com-Tangan Sri Lestari (47 tahun) bergetar saat meraih sebotol air mineral yang ditawarkan Komandan Lanud Silas Papare Jayapura, Marsma TNI Tri Bowo Budi Santoso.

Sambil terus meneteskan air mata, Sri memanjatkan segala pujian kepada Yang Maha Kuasa karena tiba dengan selamat di Kota Jayapura, Papua, Rabu (25/9).

“Terima kasih Pak, sudah bawa kami ke sini. Saya betul-betul takut,” kata Sri sambil menangis saat tiba di Base Ops Lanud Silas Papare, Sentani, Jayapura, dari Bandara Wamena, Rabu (25/9).

Sri dan suaminya, Darmanto (52 tahun), telah 11 tahun menetap di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Keduanya bekerja sebagai pedagang baju keliling di Wamena dan tinggal di sekitar Pasar Baru, salah satu lokasi yang habis dibakar masa anarkistis pada Senin (23/9).

Sri menjadi salah satu korban rusuh Wamena yang lolos dari maut. Hari ini, Rabu (25/9), Sri dievakuasi ke Kota Jayapura dengan pesawat CN-235 bersama tiga korban lainnya.

Sri mengingat kejadian Senin pagi (23/9) itu. Suasana pagi dengan udara sejuk dan sinar mentari di Lembah Baliem, Wamena, berubah menjadi panas dengan kobaran api dan asap hitam di mana-mana.

Sri bercerita, pagi itu semua seperti hilang arah dan panik dengan ketakutan yang luar biasa. Bahkan, kini suara teriakan minta tolong masih menghantui dirinya, terngiang-ngiang di telinganya.

“Suami saya minta saya naik ke mobil dengan tetangga sebelah untuk mengungsi di Polres Jayawijaya. Saya ikut petunjuk suami dan suami saya memutuskan untuk sembunyi di atas plafon rumah,” kisah Sri.

Semua petunjuk sang suami dilakoni ibu tiga anak itu. Mobil Strada yang berisikan 10 orang, yakni enam orang dewasa dan empat orang anak-anak itu pun melaju kencang ke arah Kepolisian Resor (Polres) Jayawijaya.

Tapi nahas, mobil mereka diadang sekelompok pengunjuk rasa anarkistis dan semua penumpang diminta keluar dari dalam mobil.

“Mereka menyeret paksa kami keluar semua dari dalam mobil. Kami diperlakukan seperti binatang. Apa salah kami?” kata Sri sambil menutup muka dengan kedua tangannya, tak kuasa menahan air mata mengenang peristiwa tragis yang dialaminya.

Saat mobil diadang, Sri sudah tak tahu lagi nasib ke-9 orang lainnya. Saat itu dia hanya ingat teriakan minta tolong dan tangisan anak-anak yang diseret dan dipukul para pedemo itu.

“Saya mau tolong anak-anak, tapi saya juga diseret ke semak-semak oleh lebih dari tiga orang,” ujar Sri yang baru mengetahui sang sopir meninggal dunia dalam kejadian itu.

Di semak-semak itulah, semua tas, dompet, dan perhiasan yang ia miliki dirampas para pelaku. Tak sampai di situ, dia pun dianiaya dan mendapatkan luka tikaman benda tajam oleh pelaku.

Sri mendapat sejumlah luka tusuk pada bagian tubuhnya. Berbagai benda tajam pun mengenai tubuh ringkihnya.

“Saya ditusuk di pinggul sebelah kanan, lalu di dada dan dagu. Mata saya juga hampir ditusuk. Beruntung saya bisa menghindar dan mengenai pelipis mata saya. Saya yakin ini kuasa Tuhan, masih diberi hidup sampai detik ini,” kata Sri sambil menangis sesenggukan.

Sri menceritakan, ia bisa lepas dari maut karena ada bantuan anggota brimob yang tiba di lokasi kejadian dan melepaskan tembakan. Massa pun bubar.

“Kami semua ditolong anggota polisi yang datang. Aparat membubarkan massa dan membawa kami ke rumah sakit. Saya langsung dioperasi untuk mengeluarkan panah dari pinggang saya,” ceritanya.

Darmanto, sang suami, tak pernah menyangka akan bertemu Sri di Polres Jayawijaya dalam keadaan babak belur dan terluka.

“Hati saya seperti teriris, melihat istri saya bersimbah darah. Saya hanya berpikir satu, bahwa istri saya selamat dari amukan massa saat itu,” jelasnya, saat ditemui di Base Ops Lanud Silas Papare, Sentani, Jayapura, Rabu (25/9).

Darmanto pun mengingat kejadian Senin pagi (23/9) itu, massa secara brutal masuk ke rumah warga dan menjarah semua barang dalam rumah atau tempat usaha lainnya.

“Pelaku yang brutal itu bukan pelajar, mereka warga lainnya yang sudah lebih dewasa. Mereka membawa benda tajam membabi buta menyerang warga lainnya,” katanya.

Saat ini, Sri dan suaminya hanya ingin pulang ke Solo dan berobat di kampung halamannya. Akibat insiden tragis itu, mereka mengaku masih akan berpikir ulang untuk kembali hidup merantau di Papua.

Sumber: bumipapua.

KPU Bangkalan