matamaduranews.com-Alkisah. Saat Raja Kertanegara berkuasa menggantikan Raja Wisnu Wardha. Kebijakan politik raja baru itu, ingin menundukkan kerajaan lain yang dikenal sebagai ‘Doktrin Dirnyawipantara’ yang meliputi Jawa dan Sumatera.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Ambisi Kertanegara cukup beralasan, karena Singasari adalah Kerajaan Tua di Pulau Jawa dan kuat bala tentaranya. Keraton Singasari yang digdaya saat itu juga didukung para mantri yang piawai.
Namun sejak pemerintahan Ken Arok, di intern keraton terdapat dua kubu yang saling bertentangan. Mirip kelompok politik di zaman kini, yakni blok politik keturunan Ken Arok dengan Ken Dedes dan blok politik keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung.
Raja Kertanegara ini, masih dari keturunan raja dari kubu Tunggul Ametung yag dibunuh Ken Arok. Ia paham bahwa di Keraton Singosari masih cukup banyak orang pinter dan memiliki pengaruh kuat di masyarakat dari peninggalan Ken Arok. Sehingga acap kali mengalahkan pendapat Kertanegara di dalam menata strategi.
Sang raja mulai galau, karena tidak mampu menandingi kepiawaian mantrinya yang di atas rata-rata. Sang Raja Kertanegara pun geram. Melihat kekuasasaannya yang tidak lagi “mutlak‟.
Raja Kertanegara “Dhuka‟ (marah/Dhuko, Jawa,red) dan panik. Kemudian tidak ada pilihan lain kecuali “menohaken‟ (menyingkirkan) Arya Wiraraja ke Sumenep.
Padahal sejak usia 30 tahun Arya Wiraraja sudah menjadi penasehat utama kenegaraan raja dengan gelar ‘Babatanga’, sebuah jabatan prestisius dalam tata negara Singosari.
Begitu pula Patih Raganatha, Sang Pati Singosari yang dijadikan jaksa. Santasmerthi pendeta kerajaan juga disingkirkan ke pegunungan dan melorotkan Wirakerti dari jabatan Tumenggung menjadi mantri.
Memang telah menjadi tradisi, pemegang kekuasaan senantiasa berusaha keras melanggengkan kekuasaannya dengan cara apapun.
Yang tidak masuk akal bisa dipaksa-paksakan menjadi masuk akal. Yang terang benderang bisa diupayakan dikaburkan. Yang cerdas dan pintar bisa kalah dengan yang dungu dan pandir.
Yang punya utang bisa dikalahkan dengan yang memberi utang. Dan yang benar dipaksa mengaku salah.
Perbedaan dan pertikaian terbuka lebar dalam struktur pemerintahan siapa saja. Namun ada yang bisa disaksikan dengan mata telanjang, tapi tak sedikit yang membutuh kacamata analisa.
Pekan ini ternyata warga NKRI mendapat sajian menarik dari Harian KOMPAS dengan judul “Anggota DPR Diminta Bersuara Soal Utangng, Ketua Banggar: “Ngapain Aja Ente di Senayan, Tidur ?.†(Kompas, Rabu 30 Juni 2021).
Berpuluh-puluh tahun sebagai pembaca KOMPAS, baru kali ini KOMPAS sajikan judul sangar dan dengan diksi marah besar. Sebab KOMPAS sangat dikenal sebuah media Nasional yang jarang memberi judul sesangar itu, santun, bijak, intelek dan tidak fulgar.
Penggunaan tata bahasa “ngapain, aja dan Ente, Tidur?“. Dengan judul berita seperti itu, KOMPAS seperti hendak mengajak membayangkan dan menebak-nebak gestur Ketua Banggar HM Said Abdullah saat diwawancarai.
Pembaca bisa jadi membayangkan begitu marahnya MH Said Abdullah mengungkapkan kalimat per kalimat. Bisa pula membayangkan HM Said Abdullah sedang mengelus-ngelus dadanya sendiri karena prihatin.
Bisa jadi ketakutan dengan jumlah utang negara yang kian meroket, bisa jadi ada kekhawatiran DPR tidak perduli dengan negara ini.
Bisa pula ditengarai ada yang bermain-main di tengah kesulitan keuangan negara, bisa jadi akan ada ke ‘kekacauan’ tidak lama lagi. Dan banyak pula bayang membayang keadaan dalam hati dan pikiran pembacanya, tentu sesuka yang membayangkan. (siapa yang takut, jika hanya membayangkan narasi yang disampaikan MH Said Abdullah).
Ketua Banggar DPR RI MH Said Abddullah seperti yang dilansir KOMPAS, kecewa dengan tidak bersuaranya DPR terkait peningkatan utang pemerintah agar tidak jadi polemik di masyarakat.
Hal ini dikatakan MH Said Abdullah, mungkin, karena DPR sudah mirip iklan mobil, nyaris tak terdengar suara mesinnya.
“Sebab kalau DPR tidak bersuara terhadap utang bagian tanggung jawab DPR, itu nantinya rakyat akan nanya. Eh DPR ngapain aja ente di Senayan, tidur?,†tutur Said kepada KOMPAS.
Pernyataan MH Said tentu kekhawatiran yang beralasan. Sebab koalisi pemerintah di DPR menempatkan 9 Parpol yang dipimpin PDIP. Bahkan PDIP, partai yang mengantarkan MH Said Abdullah menjadi Ketua Banggar, menempatkan 128 legislatornya dan terbesar di Parlemen. Bahkan jika dijumlah kursi DPR yang pro pemerintahan berjumlah 481 kursi atau sekitar 84 %.
Kenapa mereka tidak bersuara tentang utang negara itu? Padahal rakyat telah menggunjingkan tentang utang itu. Pertanyaannya mungkinkah kursi pro Jokowi di DPR sudah tidak lagi Pro Jokowi? Sehingga MH Said Abdullah perlu berteriak lantang ? Atau hanya tinggal MH Said Abdullah saja pendukung pemerintahan ini.
Statemen MH Said Abdullah di KOMPAS bukan hanya pernyataan sederhana. Sodokan kalimatnya, “ngapain, aja ente, tidur“ tidak hanya sekedar bunyi.
Kalimat itu seperti “palu godam politik†yang besar dan berat menghantam sebutir telur. Sebab di ruang kura-kura senayan sana, ada maha dewi PDIP yakni Puan Maharani yang juga Ketua DPR RI yang juga Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDIP. Mungkinkah tertuju pula pada beliau? (Jakfar Faruk Abdillah)
Jakfar Faruk Abdillah adalah Wartawan Senior. Pengacara Bantuan Hukum Sumenep. Ketua DPC Peradin Sumenep. Berdomisili di Surabaya.