Catatan

Gus Dur Bertamu

×

Gus Dur Bertamu

Sebarkan artikel ini
Gus Dur Bertamu

Catatan: Hambali Rasidi

matamaduranews.com-Gus Dur Bertamu. Beberapa hari setelah beliau wafat, pada 30 Desember 2009.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Saya menyebut bertamu walau Gus Dur wafat. Ya…seperti, pernyataan Sufi Spanyol, Ibnu Arabi. Menulis dua kitab yang menjadi masterpiece-nya. Futuhat al-Makkiyyah dan Fushush al-Hikam.

Ibnu Arabi ‘bersumpah’ dalam pengantar dua kitab itu. Tidak menambah. Dan tidak mengurangi. Kecuali mencatat hasil pertemuan dengan Rasulullah Saw di Mekkah.

Rasulullah Saw dan Ibnu Arabi terpaut ratusan tahun.

Rasul Muhammad Saw, wafat 632 M.  Ibnu Arabi  lahir di Murcia, Andalusia (Spanyol) 1165 Masehi. Wafat, 16 November 1240 M.

Sejarah Ibnu Arabi saya ngerti di buku. Juga penjelasan dosen di kampus. Termasuk guru.

Kisah Gus Dur Bertamu setelah almarhum dari pernyataan kenalan di Sumenep. Bukan Bertamu ke saya. Hehe

Seseorang itu bercerita jika Gus Dur Bertamu. Sebelumnya, orang itu tak pernah ketemu Gus Dur. Begitu pun Gus Dur. Tak pernah mengenal orang itu.

“Gus Dur amain,” ceritanya. “Seperti biasa. Panggil salam. Dengan mimik wajah seperti saat masih hidup,” terang orang itu.

Saya tak berani menyebut identitas orang itu. Bukan karangan. Hanya saya dan teman yang jadi saksi cerita itu.

Apa saya percaya? Ya, saya percaya. Dan saya tak minta anda harus percaya cerita Gus Dur Bertamu ke identitas yang tak disebutkan itu.

Saya hanya ingin menyampaikan pesan. Gus Dur ngerti sesuatu yang banyak orang tak mengetahui.

Anda percaya? Pasti ada yang gak percaya. Ok…

Saya punya cerita. Waktu mahasiswa. Tahun 1996. Gus Dur berceramah di Ponpes Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya.

Gus Dur menyampaikan pesan ke jamaah yang hadir. Agar warga NU ada di mana-mana. “Warga NU harus jadi ABRI. Jadi Polisi. Jadi Bupati. Jadi Gubernur. Kalau bisa jadi Presiden,” dawuh Gus Dur dengan intonasi tinggi. Lalu disambut dengan gemuruh tepuk tangan jamaah.

Waktu itu. Rezim Orde Baru. Boro-boro jadi Bupati, Gubernur atau Presiden. Warga NU jadi Ketua Umum Parpol peserta pemilu saja tak bisa.

“Warga NU,  Hanya dibutuhkan saat pemilu. Suara warga NU menjanjikan. Setelah pesta usai, ya..diberi secuil diantara secuil kekuasaan,” kata banyak pengamat saat saya baca di koran-koran dan majalah.

Maklum, waktu itu saya mahasiswa. Hanya ikut tertawa dan sengar sengir mendengar ceramah Gus Dur. Gak ngerti apa pesan tersirat yang disampaikan.

Tahun 1997. Itu pemilu terakhir Orde Baru. Gus Dur mengkampanyekan Golkar. Gus Dur ngajak Mbak Tutut berkeliling ke pesantren-pesantren. Ponpes tersohor lagi. Bukan Ponpes yang santrinya puluhan orang.

Para Kiai NU banyak yang tersulut. Terutama para Kiai NU yang menjadi pengurus PPP. Macam-macam responnya. Seandainya dulu ada medsos. Tak terbayang bagaimana bullying ke Gus Dur.

Akrobat Gus Dur tak masuk nalar. Para pengamat politik yang emang subjektif. Macam-macam menilai Gus Dur. Pragmatis-lah. Mendukung penguasa dzalim-lah. Dan macam-macam narasi penilaiannya.

Sebagai mahasiswa saya juga bingung.  Senior selalui mendoktrin anti kemapanan. Orde Baru sebagi rezim otiriter. Harus dilawan.

Sementara Gus Dur. Bermesraan politik dengan Mbak Tutut. Putri Soeharto. Penguasa Orde Baru.

Para Kiai yang setia ke NU juga bingung. NU sudah deklarasi di Muktamar 1984 di Situbondo. NU Kembali ke Khittah. NU tak boleh berpolitik praktis. NU sebagai organisasi masyarakat dan keagamaan. Fokus pada pemberdayaan ummat.

Warga NU banyak yang miskin. NU harus memberdayakan ekonomi ummat. Ummat harus dicerdaskan. Begitu kesimpulan saya baca latarbelakang dan tujuan NU Kembali ke Khittah 1926.

NU setelah Muktamar Situbondo fokus  pemberdayaan ekonomi dan pendampingan bagi warga NU yang tertindas. Bukan ke politik.

Tahun 1990. Gus Dur menggandeng pengusaha etnis China, Edwin Soeryadjaya (Tjia Han Poen). PBNU mendirikan bank. Namanya BPR Nusumma.

Maksud Gus Dur, potensi ekonomi NU harus dinikmati warga NU. Bukan orang luar NU yang menikmati. Tak punya modal. PBNU sediakan pinjaman modal di BPR Nusumma.

Program Gus Dur nyata. Bukan sekedar berwacana di NU.

Sekarang, saya baru sadar. Pesan tersirat Gus Dur. Inilah tantangan masa depan NU. Tantangan ekonomi. Biar warga NU banyak yang kaya raya. Tak lagi disebut banyak warga NU yang miskin.

Jutaan warga NU sekarang dihadapkan kontestasi politik praktis. Sistem demokrasi Indonesia yang berpraktik liberal. Suara terbanyak. Itulah pemenangnya.

Kata guyonan di grup wa. “Man laisal fulus, alamatan Mamfus. Bil fulus kullu sya’in mulus. Laisa fulus manfus,”

Meme pepatah Arab di medsos ini, dirasa banget bagi yang pernah nyaleg. Atau yang pernah ikut kontestasi Pilkada.

Tanpa biaya politik. Mereka hanya tersenyum kecut. “Kasihan deh,” bisiknya dari kejauhan.

Pesona Satelit, 14 September 2019

KPU Bangkalan