MataMaduraNews.com–SAMPANG-Tak banyak orang Indonesia yang punya pengalaman seperti Abdul Halim Perdanakusuma. Pemuda asal Madura ini pernah terlibat Perang Eropa melawan tentara fasis Jerman pimpinan Adolf Hitler. Tak seperti pemuda Indonesia yang bertempur di Eropa, Halim bukan orang yang sedang kuliah di Belanda kala itu.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Waktu Jerman menyerbu Polandia di tahun 1939, Halim belum lama tamat dari sekolah menengah pamong praja, Middlebare Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA), di Magelang. Ia juga baru saja jadi mantri di Probolinggo.
Dilihat dari latar belakang sekolahnya, pemuda ini jelas fasih berbahasa Belanda. Sebelum di MOSVIA, dia pernah sekolah setingkat SMP untuk pribumi yang berbahasa Belanda, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan SD berbahasa Belanda pula, Hollandsche Inlandsche School (HIS). Paling tidak, itulah yang dicatat M. Sunjata Kardarmadja dalam biografi pria kelahiran Sampang 18 November 1922 itu dengan judul Halim Perdanakusuma (1978).
Halim lahir dan menempuh sekolah dasar di Sampang (yang berbahasa Madura), lalu ke Surabaya dan Magelang (yang berbahasa Jawa). Sudah tentu, kota-kota itu punya adat yang berbeda. Sebelum dia keluar dari Indonesia, setidaknya Halim terbiasa dengan bahasa Jawa, Madura, dan Belanda.
Anak dari Haji Abdul Gani Wongsotaruno dan Raden Ayu Aisyah ini tidak lama bekerja di departemen dalam negeri kolonial. Dia kemudian ikut pelatihan di sekolah Angkatan Laut di Surabaya, di mana dia ditempatkan di bagian torpedo.
Bergabung dengan Angkatan Udara Inggris
Rupanya, ketika Hindia Belanda akan dikuasai balatentara Jepang di awal 1942, Halim termasuk aparatur kolonial yang berada di Cilacap ketika banyak orang-orang Belanda hendak menyeberang ke Australia. Halim adalah salah satu orang yang turut menyeberang ke negeri Kanguru itu.
Halim akhirnya bisa naik kapal menuju Australia bersama anggota Angkatan Laut Belanda dan angkatan lainnya. Kala itu, armada laut Jepang masih ganas di sekitar perairan Jawa. Namun, di benua berbahasa Inggris itu, Halim tidak lama. Dia ikut dikapalkan ke India, tanah koloni milik Inggris, di mana para pegawai kolonialnya juga berbahasa Inggris. Di sana, Halim bergabung dengan militer Inggris.
M. Sunjata mencatat kisah unik dan luar biasa soal Halim dan Laksamana Mountbatten. â€Suatu kali ketika ada istirahat yang agak panjang, Abdul Halim mengisi waktunya membuat lukisan Panglima Armada Inggeris di India, yaitu Laksamana Mountbatten. Ketika lukisan itu selesai digantungkannya di kamarnya.â€
Halim memang gemar melukis sejak bocah. Laksamana Mountbatten lalu melihat lukisan itu dan penasaran siapa yang melukisnya. Berkat lukisan tersebut, Halim dikenal sang Laksamana—yang pernah jadi wakil raja Inggris di India setelah Perang Dunia II.
â€Kelanjutannya, Abdul Halim ditawarkan untuk meneruskan pendidikan militer di Inggeris. Tetapi Abdul Halim mengajukan permintaan untuk pindah jurusan, yaitu ke bagian Angkatan Udara. Permintaannya dikabulkan,†tulis M. Sunjata lagi.
Halim lalu diterbangkan ke Gibraltar. Dari Gibraltar lalu ke London. Dari London, diterbangkan lagi ke Kanada. Di negara itu, Halim dapat latihan Navigasi dari Angkatan Udara Kanada, Royal Canadian Air Force (RCAF). Gibraltar adalah bagian dari benua Eropa dan Kanada masuk dalam benua Amerika. Ditambah Australia, maka setidaknya Abdul Halim Perdanakusuma, si pemuda Sampang itu, sudah menginjak 4 benua.
Hidupnya tak hanya jauh dari keluarga. Dia bahkan tak bisa berhubungan lewat surat karena perang memutus jalur komunikasi. Sebenarnya tak hanya keluarga saja, tapi sang tunangan juga ditinggalkannya. Setelah Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati pada 1942, usia Halim sudah lewat 22 tahun. Dia tidak sedang menjalani zaman normal, masa mudanya diisi dengan perang.
Sebagai perwira navigasi, Halim dijadikan kru pesawat pembom sekutu. Ia â€bertugas di skadron pembom dengan pesawat Lancaster dan Liberator,†tulis buku Bakti TNI Angkatan Udara, 1946-2003(2003: 31). Halim saat itu tergabung dalam Angkatan Udara Inggris, Royal Air Force (RAF).
â€Sebagai awak pesawat pembom ia berkali-kali ikut dalam pemboman (daerah pendudukan militer) Jerman, dan mengalami pertempuran udara yang sengit,†tulis M. Sunjata (hlm. 21).
Abdul Halim Perdanakusuma van Sampang ini terhitung sudah 42 kali terlibat misi serangan udara di wilayah Jerman dan Perancis yang diduduki tentara fasis NAZI Jerman. â€Setiap kali ia ikut dengan skwadronnya dalam serangan udara atas kota-kota di Jerman dan Perancis, pasti seluruh pesawat kembali dengan selamat. Oleh karena itu Angkatan Udara Kerajaan Inggeris memberinya nama julukan ‘The Black Mascot’, yang berarti si Jimat Hitam,†catat Sunjata (hlm. 23) dan dikutip Bakti TNI Angkatan Udara (hlm. 31).
Setelah Perang Dunia II selesai, Halim dikembalikan ke unit militer lamanya, Marine Luchtvaart Dienst (MLD) alias Dinas Penerbangan Angkatan Laut Belanda. Dengan begitu, ia punya kesempatan pulang ke Indonesia. Sudah lebih dari tiga kali puasa tiga kali lebaran Halim tidak pulang ke kampungnya. Karena itu, ia pun memilih pulang. Halim pulang ke Indonesia ketika Revolusi Indonesia sedang bergolak.
Membantu Revolusi Indonesia
â€Mantan kru udara MLD seperti Halim Perdanakusuma sejak awal perang kemerdekaan masuk Badan Keamanan Rakyat Udara,†tulis buku Dan Toch Maar! (2009: 25 & 264).
Disebut dalam buku itu, Halim adalah awak pesawat amfibi Catalina PBY yang bisa mendarat di air. Meski awak Angkatan Laut Belanda punya gaji lebih bagus dari tentara Republik yang baru dibangun, Halim memilih bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat Jawatan Penerbangan. Belakangan, kesatuan ini menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Sebagai mantan perwira udara Sekutu yang pernah terlibat operasi militer penting, Halim dijadikan Perwira Operasi dengan pangkat komodor muda oedara (KMO). Ketika Nurtanio dan R.J. Salatun ditugasi merancang tanda pangkat, menurut J. M. V. Soeparno dalam Nurtanio: Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia (2004: 48), tanda pangkat mirip RAF—tempat Halim pernah bergabung—menjadi referensi.
Angkatan Udara nan miskin itu tak punya banyak pesawat siap tempur dan beberapa di antaranya tidak siap terbang. Saat Belanda melancarkan Agresi Militer pada 21 Juli 1947, beberapa pesawat tersebut kena tembak skuadron Belanda.
Meski miskin, pantang bagi AURI untuk berpangku tangan. Sebuah rencana rahasia pun disusun. Hanya petinggi AURIÂ yang tahu. Meski tak disepakati semua perwira, aksi balas dendam atas agresi yang melanggar perundingan Linggajati itu tak bisa dibendung.
Halim Perdanakusuma selaku Perwira Operasi ikut serta menyusun serangan udara ke Semarang dan Salatiga. Penerbang yang dilibatkan adalah adalah penerbang sukarela, bukan perintah atasan.
Seperti tercatat dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2007), Halim memberi arahan kepada masing-masing awak pesawat ke mana mereka harus menembakkan bahan peledak dan memberi kerusakan kepada musuh. Misi itu terlaksana pada pagi 29 Juli 1947 dan terhitung sukses. Namun sorenya, pesawat Dakota yang ditumpangi petinggi AURI macam Abdul Rachman Saleh dan Adisucipto tertembak jatuh di selatan Yogyakarta (hlm. 92-93).
Tahun 1947 adalah tahun suram bagi AURI. Tak hanya karena kejadian sore 29 Juli 1947 itu, tapi juga karena Halim mengalami nasib yang naas. Ia mati muda di umur baru 25.
Buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2007:144-145) menyebut, sebelum kematiannya, Halim terlibat dalam pembelian pesawat AVRO Anson. Ia bersama Iswahyudi menerbangkan pesawat itu menuju Bukittinggi pada 14 Desember 1947, dari Songkla melewati Singapura. Cuaca buruk di Tanjung Hantu, Semenanjung Malaya, mencelakakan mereka. Jenazah keduanya lalu dimakamkan penduduk setempat.
Orang-orang Indonesia mengenang mereka berdua sebagai Pahlawan Nasional. Nama Iswahyudi diabadikan menjadi nama pangkalan udara di Madiun. Sementara Abdul Halim Perdanakusuma sebagai pangkalan udara di Jakarta Timur.
Sumber: Tirto.id