matamaduranews.com-Pasca Dahlan Iskan disebut tersangka oleh Polda Jatim. Tak sedikit publik yang bertanya-tanya ihwal kasus yang menjeratnya.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Dari sejumlah berita disebut, kasus Dahlan terkait sengketa saham PT Dharma Nyata Press, yang merupakan penerbit Tabloid Nyata.
Dahlan mengklarifikasi lewat catatan Disway, mengatakan: tidak semua media yang pernah ia pimpin adalah milik Jawa Pos, termasuk Nyata, dan ada riwayatnya mengapa demikian. Ia merasa pimpinan Jawa Pos yang sekarang tidak tahu sejarah tersebut sehingga menganggap Nyata miliknya, yang kemudian menjadi sengketa.
Dahlan juga menyebutkan bahwa sengketa saham Nyata ini adalah masalah perdata, dan sidang perdatanya sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya.
Sedangkan mantan wartawan senior Jawa Pos, seperti Djono W Oesman membuat tulisan; Inti tulisan itu: Jawa Pos adalah Dahlan Iskan. Tidak pantas orang Jawa Pos memolisikan Dahlan yang membesarkannya.
Berikut tulisannya:
Suatu Hari… di Jawa Pos
Oleh: Djono W. Oesman
Orang paling kubenci pada 1984 itu bernama Dahlan Iskan. Waktu itu saya wartawan Jawa Pos. Masuk per 1 Agustus 1984. Dahlan pemimpin redaksi Jawa Pos. Hampir semua penugasan jurnalistik darinya, bukan dari redaktur. Itu tidak struktural. Tugasnya pun kejam-kejam. Saya benci.
MASAK, di suatu kasus pembunuhan di Surabaya waktu itu, saya ditugasi wawancara mendalam dengan keluarga pelaku? Keluarga kan malu. Mereka pasti ngumpet (pikirku sebelum melaksanakannya).
Apalagi, Dahlan memberikan perincian tugas: pelaku (pria usia 24 tahun, baru saja ditahan polisi, motif dendam) harus dideskripsikan lengkap. Antara lain:
Kisah saat ia lahir dulu bagaimana? Menyusahkan ortu, tidak? Misalnya, apakah ia lahir sungsang atau normal? Ceritakan.
Semasa ia bayi bagaimana? Waktu balita bagaimana (di sini banyak pertanyaan detail). Apakah ia pernah dipukul anggota keluarga karena nakal, misalnya? Atau suka diejek, dihina, bertujuan memotivasinya?
Saat sekolah ia bagaimana? Saat remaja bagaimana? Saat dewasa bagaimana? Hari-hari sebelum ia membunuh, ceritanya bagaimana? Dan, jangan lupa: Teori 5W plus 1H di setiap detail segmen. Bukan cuma di keseluruhan cerita. ”Di tiap detail. Oke?” ujar Dahlan.
Saya manggut-manggut. Refleks, manggut-manggut. Pikirku: ”Ajur… iki.”
Hal itu sesungguhnya riset kriminologi. Saya memang sarjana (S-1) sosiologi, yang antara lain diajari kriminologi. Tapi, riset kriminologi dilaksanakan tim ahli. Berbulan-bulan. Bukan cuma saya sendirian. Dengan deadline hari itu juga pukul 17.00. Atau, sekitar enam jam kemudian.
Saya benci Dahlan. Aslinya, sebenarnya saya takut melaksanakan tugas itu. Bukan takut kepada keluarga pembunuh. Bukan. Saya, kan wartawan Republik Indonesia. Mesti berani. Melainkan, takut gagal.
Sebagai wartawan Jawa Pos yang baru masuk, saya sudah menyelidik, kalau gagal tugas, langsung goodbye. Tidak layak Jawa Pos. Sudah beberapa senior saya yang goodbye.
Yang senior sekali, tapi gagal dalam tugas, dibuang ke bidang yang tidak ia sukai. Supaya goodbye sendirinya.
Mau tidak mau, saya laksanakan tugas. Grogi, pasti. Namun, harus maju. Atau goodbye.
Alamat pelaku saya dapat dari polisi. Di Surabaya Utara. Berangkat saya ke sana dengan motor Suzuki A100 tangki kates (pepaya).
Matahari di langit Surabaya tersenyum ceria. Panasnya menyengat kulit. Lalu lintas? Jangan tanya. Macet. Campuran antara mobil, bemo, motor, sepeda, becak, aneka gerobak ditarik orang. Tumplek di jalan raya.
Ketemulah rumah itu. Di anak gang. Ada gang sempit, masuk lagi ke gang yang lebih sempit. Sebuah rumah papan kayu sangat kecil. Cat hijau tua. Kusam. Rumah kosong. Pintunya terbuka, kosong.
Ketika saya masuk anak gang itu, warga mengamati saya. Ketat. Mereka, pelan-pelan, berkerumun. Beberapa pemuda mengikuti saya. Antusias. Ada yang tanya:
”Mas polisi, ya?”
”Bukan. Saya Djono, wartawan Jawa Pos.”
”Oh… sejak anaknya ditangkap kemarin, orang tuanya (tuan rumah) pindah, tadi pagi.”
”Pindah ke mana?”
Ia menoleh ke teman-teman di sekelilingnya. Lalu, di antara teman, muncul pemuda menyeruak maju.
”Kami tidak tahu. Kalau Sampean bukan polisi, jangan cari-cari masalah,” katanya, melotot.
Saya kaget dengan ancaman itu. Saya tidak siap. Lalu, saya jawab begini:
Saya wartawan Republik Indonesia. Saya melaksanakan tugas negara ke sini. Bukan cari masalah.”
Ternyata mata pemuda itu meredup. Pelan-pelan. Gesturnya berubah, tidak lagi mengancam. Mungkin, karena tambahan kata-kata ”Republik Indonesia” itu, ia jadi redup.
Mungkin, ia terbayang kata ”Angkatan Bersenjata Republik Indonesia” (waktu itu, ABRI). Mungkin, ia anggap dua hal itu beda-beda tipis. Mungkin.
Tapi, ia tampak masih emosional. ”Kami di sini tidak tahu alamat barunya,” ujarnya, sambil menjauh.
Saya terus menggali. Berakrab-akrab dengan para pemuda itu. Tapi, nihil. Mereka semua takut kepada pemuda yang pergi tadi. Saya pun mencari cara lain.
Singkat cerita, saya sukses tugas. Target tercapai. Lengkap, 5W plus 1H di tiap detail. Juga, pastinya 5W plus 1H di struktur cerita.
Tiba di kantor Jawa Pos, Jalan Kembang Jepun 167, saya langsung dicegat Dahlan. Di ujung tangga yang menuju ruang redaksi. Ia tidak cuma menunggu saya, tapi juga menunggu semua wartawan Jawa Pos lainnya yang baru tiba di kantor.
Dahlan ke saya cuma berucap satu kata: ”Bagaimana?”
”Beres dan lengkap, Pak,” jawab saya.
Dahlan tersenyum lebar. Ia menepuk-nepuk pundak saya. Kemudian, ia berteriak kepada puluhan wartawan dan redaktur di ruang redaksi yang terbuka tanpa sekat itu: ”Pengumuman… Headline sedang diketik DWO.” DWO adalah kode jurnalistik saya.
Tulisan ini bukan tentang bagaimana cara saya meliput berita. Bukan. Melainkan, tentang isi koran Jawa Pos di zaman itu. Dan, siapa yang memimpin. Serta, bagaimana cara kepemimpinannya.
Anda sudah baca, koran Jawa Pos sebelum tahun 1982 tidak laku. Dibagikan gratis oleh asongan di perempatan jalan-jalan di Surabaya yang panas pun, orang tidak mau mengambil. Ada pemotor yang mengambil, lalu dibuang lagi. Mengotori jalanan.
Sejak 1982 koran itu dibeli PT Grafiti Pers (pemilik majalah Tempo). Dahlan Iskan yang semula wartawan Tempo dengan jabatan kepala Biro Jatim ditunjuk sebagai pemimpin redaksi Jawa Pos.
Dahlan memimpin dengan cara tersebut di atas. Hasilnya luar biasa. Ketika koran-koran memuat berita kriminal dari rilis polisi, Jawa Pos melakukan riset kriminologi. Riset dilakukan dalam beberapa jam.
Itu baru di satu berita. Padahal, setiap hari ada puluhan berita. Kualitas puluhan berita itu setara dengan berita yang ditugaskan ke saya. Semua atas penugasan dari Dahlan.
Itu baru satu hari. Sedangkan, Dahlan memimpin Jawa Pos sampai dengan ia ditunjuk negara jadi direktur utama PLN pada 2009. Atau, 27 tahun ia memimpin Jawa Pos. Dengan cara yang konsisten seperti itu.
Hasilnya, Jawa Pos menjadi perusahaan pers raksasa. Total aset puluhan triliun rupiah. Dahlan Iskan dijadikan tersangka oleh Polda Jatim karena laporan salah seorang HRD Jawa Pos sekarang.
Dari tulisan Dahlan Iskan yang dimuat di Disway kemarin, saya baru tahu. Bahwa takeover Jawa Pos pada 1982 dari pemilik lama The Chung Shen oleh PT Grafiti Pers, uang pembeliannya diminta lagi oleh Dirut PT Grafiti Pers (saat itu) Eric Samola. Pada 1984. Uangnya dikembalikan Eric ke kas PT Grafiti Pers lagi.
Uang itu dari hasil usaha Jawa Pos selama dua tahun sejak takeover. Dari koran tidak laku sebelum 1982 menjadi pembayar pengembalian dana takeover pada 1984. Sudah lunas. Sudah impas. Artinya, Grafiti sudah tidak bermodal duit lagi. Nol.
Maka, jika disebut bahwa Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, sudah selayaknya disebut begitu. Kini orang di perusahaan yang dibesarkan Dahlan itu membikin Dahlan jadi tersangka kriminal.
Tulisan ini bisa dianggap membela Dahlan Iskan. Memang begitu. Dimuat di Disway lagi, yang didirikan Dahlan. Seperti membela diri di kandang sendiri.
Ya, pasti begitu.
Seumpama dibalik. Tulisan ini saya kirimkan ke Jawa Pos, karena isi tulisan menyangkut kilasan kisah di balik proses liputan berita Jawa Pos oleh wartawan Jawa Pos saat itu. Ya… naskahnya langsung dibuang. Sampah.
Atau, seumpama tulisan ini saya kirimkan ke media massa lain. Netral. Maka, media massa lain itu mikir. Sebab, seandainya memuatnya, mereka berarti berkonfrontasi dengan Jawa Pos. Apakah mau?
Inti tulisan ini: Jawa Pos adalah Dahlan Iskan. Tidak pantas orang Jawa Pos memolisikan Dahlan yang membesarkannya. (*)