BudayaOpini

Kemelut Seni Tayub di Tengah Pragmatisme Masyarakat

×

Kemelut Seni Tayub di Tengah Pragmatisme Masyarakat

Sebarkan artikel ini
Kemelut Seni Tayub di Tengah Pragmatisme Masyarakat
Tradisi Tayub Madura yang masih lestari di Madura (fotosumberyoutube)

Oleh: Syarwini Syair*

Seni tayub merupakan sejenis kesenian tradisional masyarakat Madura, khusus nya di Sumenep, lebih khusus lagi pada masyarakat pedesaan, yang sedang mengalami dinamika mengejutkan.

Eksistensi seni tayub, yang terdiri dari kerawitan (najaga), sinden, tokang tandhang (penayub), dan satu juru gelandang, menjadi semacam tradisi masyarakat bawah yang tidak hanya sarat dengan nilai estetika, tetapi yang tidak kalah penting adalah etika.

Estetika seni tayub terletak pada visualitasnya, apa yang tampak dan bisa diamati serta dinikmati mata, bukan hanya audio dengan cukup mengandalkan suara yang bagus disaat ngejung. Sebab masyarakat lebih tertarik, dan lebih memerhatikan cara tangdhang para penayub, dari pada materi suara mereka.

Hal ini wajar dan sah, jika ada beberapa penayub yang hanya bisa nangdhang, tapi tidak bisa ngejung, karena pasti ada salah satu personil kerawitan yang ditugaskan untuk ngejung, sesuai dengan gending yang dipesan penayub. Sehingga sang penayub hanya tinggal menciptakan gerakan-gerakan tertu, mengikuti irama gendang dan gong, tanpa harus nembang / ngejung.

Sedangkan etika seni tayub meliputi sejumlah hal yang sangat kompleks; mulai dari busana, cara berjalan dan duduk, cara berbicara, merokok dan makan, bahkan sampai pada materi kejung (tidak boleh ada unsur SARA) dan cara memperlakukan sinden. Semua etika tersebut harus dimiliki oleh para penayub agar mampu meraih simpati dan empati dari masyarakat pengggemar, layaknya bintang sinetron di dunia telenovela.

Kegengsian Sosial
Sebagai kesenian rakyat, keberadaan seni tayub mampu menembus ke semua segmen struktur sosial masyarakat pedesaan, pesisir dan pedalaman. Meskipun dengan biaya yang sedikit mahal, untuk ukuran ekonomi rakyat kebanyakan, hampir setiap ada hajatan pertunangan dan pernikahan, seni tayub dipastikan menjadi ajang hiburan dan sajian utama yang sekaligus menjadi simbol martabat tuan rumah.

Latar belakang ekonomi yang di bawah rata-rata, mampu dikalahkan dengan semangat adu gengsi dan dukungan antar teman yang solid (group), serta sistem tompangan, baik berupa uang atau barang, sehingga seni tayub mampu bergerak lebih cepat dan merata, no limit. Maka, pertimbangan yang dipakai sangat pragmatis, yang penting ngadakan tayuban dulu, soal hutang dan lain-lain, urusan belakangan.

Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya, seni tayub bukan hanya menjadi tradisi yang membudaya, namun telah berubah semacam kegengsian sosial dan harga diri struktural yang dipaksakan. Lambat laun, seni tayub akan menjadi narkoba kebudayaan yang membuat para penggemarnya kecanduan sampai tercipta ketergantuan yang permanen.

Sehingga hal tersebut akan menghilangkan daya kritis dan sikap arif dalam melihat seni tayub sebagai kreasi atau hasil cipta rasa karsa manusia, yang harus selalu dikontrol dan dilestarikan sebagai wadah kesenian tradional, yang kaya akan makna dan kearifan lokal.

Gamelan misalnya, terdiri dari 17 bilah kayu yang menunjukkan 17 raka’at shalat dalam sehari semalam. Ini melambangkan bahwa para warga seni tayub jangan sampai meninggalkan shalat hanya karena alasan kesenian, sebab dalam filosofi seni tayub, seni adalah bagian dari agama.

Seorang seniman sekaligus seorang agamawan. Tujuan berkesenian adalah mengasa kepekaan rasa agar lebih mudah diajak beribadah kepada Allah. Makanya, ada gong besar yang ketika ditabuh berbunyi “gung”, maksudnya “Yang Maha Agung”, agar dalam berkesenian hati tetap bersambung kepada Allah SWT.

Geliat Kemuraman
Melihat seni tayub secara lebih dekat dewasa ini, akan tampak ada perbedaan yang sangat jauh dibandingkan dengan seni tayub tahun 90-an misalnya, saat masa kejayaan mantan Kepala Desa Candi, H. Shaleh. Perbedaan ini, bahkan sangat mencolok dalam beberapa hal, yang akan penulis kritisi satu persatu, demi menjaga nilai estetika dan etika seni tayub itu sendiri, agar tetap menjadi hiburan yang penuh kearifan lokal, dan steril dari pengaruh budaya pop global yang serba vulgar.

Perbedaan pertama dapat dilihat dari satu sudut pandang bahwa pagelaran seni tayub merupakan ajang besar atau semo raje, sehingga busana yang digunakan harus estetis dan etis: indah dan baik. Tradisi masyarakat penayub zaman dulu dalam berbusana adalah memakai kopyah hitam (nasional), baju lengan panjang, dan sarung sampai mata kaki, dan sebagian pakai jaspen.

Kesopanan dalam berbusana adalah harga mati, selain keahlian dalam seni tangdhang. Tidak semuanya, tapi sebagaian para penayub sekarang hanya pakai kaos oblong, pakai celana pensil dan tidak pakai kopyah. Kesopanan dalam berbusana sudah tidak menjadi pertimbangan yang utama.

Perbedaan kedua, terletak pada seni tangdhang, dan secara langsung juga berkaitan dengang merk/jenis gending yang digunakan. Para penayub kuno hampir semua menguasai tangdhang puspo (salah satu jenis gending yang sangat halus, biasanya ginukan oleh para raja/rato), yang menjadi tolak ukur utama semua jenis tangdhang dalam berbagai jenis gending. Dan umumnya gending yang digunakan adalah puspo, senom, sekar ganggung, meskalan, walang keke’, yang bernuansa agak halus, atau paling kasarnya adalah pedat, dan sampa’.

Sementara sekarang, karena mayoritas penayub memang sudah tidak menguasi seni tangdhang yang baik, tinggal bergerak-gerak saja tanpa nuansa estetika sama sekali, dengan diiringi gending yang agak kasar seperti gunung sari, toccek, bindrung, kuda nyirik, bahkan lagu-lagu popular seperti sakitnya tuh di sini, cinta satu malam, pokoke joged dan oplosan.

Perbedaan ketiga terdapat pada cara memperlakukan sinden. Para penayub dulu mayoritas menjaga etika ketika berduet dengan sinden di gelanggang. Jarang terjadi sentuhan langsung, bahkan mereka saling nangdhang dan ngejung dalam jarak yang proporsional. Para pengirim (uang) juga selu menjaga diri dengan tidak berbuat hal-hal yang melanggar etika dan adat. Belakangan ini, para penayub sudah mulai sedikit melalaikan etika tersebut, bahkan terlihat berlebihan dalam hal-hal tertentu.

*Penulis tinggal di Pesantren Alam Raya (PEARA) Lapa Daya Dungkek Sumenep.

KPU Bangkalan