KH Suhil Imam: Ingin Meniru Dakwah Sunan Kalijogo

×

KH Suhil Imam: Ingin Meniru Dakwah Sunan Kalijogo

Sebarkan artikel ini
KH Suhil Imam: Ingin Meniru Dakwah Sunan Kalijogo
KH Suhil Imam
Bagi warga Ambunten dan sekitarnya, nama Kiai Haji Suhil Imam sudah tidak lagi asing. Sosoknya selalu menghiasi dunia dakwah dan politik. Meski tidak terlibat langsung dalam kehidupan politik praktis, kehadirannya menjadi pusat perhatian.

matamaduranews.com-SUMENEP-Kiai Suhil lahir dari seorang ibu bernama Nyai Rahmah Ali Wafa, Ambunten dan ayah bernama Kiai Haji Imam, Karai, Ganding. Kiai Suhil  merupakan adik dari Kiai Haji Khalil Imam.

Kiai Suhil dibesarkan dalam keluarga pesantren berpengaruh, terutama bagi kalangan pengikut Thariqah Naqsahbandi di Sumenep, Madura, Jatim.

Kakek Kiai Suhil dari jalur ummi, bernama Kiai Haji Ali Wafa, Ambunten, Mursyid Thariqah Naqsahbandi. Dari jalur ayah, ia merupakan cucu kiai berpengaruh di Karay, Ganding,  Kiai Haji Ahmad Dahlan bin Kiai Imam.

Kiai Suhil termasuk salah satu dalam daftar nama kiai yang kerap dikunjungi beragam lapisan masyarakat Sumenep. Sosoknya terbilang unik.

Sejumlah tamu menawarkan pembangunan Ponpes tapi ia tolak. Termasuk sejumlah bantuan bangunan sarana dan prasarana lainnya. Tempat tinggalnya sangat sederhana. Beralas plester semen. Praktis kehidupannya menyerupai kehidupan tradisional. Kecuali penerangan lampu PLN.

Kiai Suhil merasa cukup melayani tamu yang berkunjung ke rumahnya dan memimpin seni Gambus sebagai media dakwah Islam.

Kompolan Shalawat Diba’an, sebutan nama komunitas dakwah seni yang ia pimpin. Setiap hari dari dusun ke dusun di Kecamatan Ambunten, Kiai Suhil menjelaskan sejarah Nabi Muhammad SAW dengan logat bahasa Madura.  Dengan harapan, masyarakat lebih  banyak mengenang dan mengetahui sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW.

Nadzam Kitab Aqidatul ‘Awam karya Sayyid Ahmad Al Marzuqi, dengan Aqoid 50, sewaktu-waktu dibaca sendiri oleh Kiai Suhil. Agar suasana lebih menarik, Kiai Suhil mencipta sendiri syair-syair yang indah dengan irama yang cukup menggoda masyarakat. 

Masyarakat tak ingin beranjak dari tempat duduknya. “Bahkan orang-orang yang mendengar suara Suhil pasti terpana dan melongo,” tutur Suki, abadi dhalem Kiai Suhil, kepada Mata Sumenep.

Kompolan atau komunitas yang diasuhnya menjadi dua kategori. Pertama, untuk para tetua dan masyarakat yang sudah dewasa. Kedua, untuk kaula muda (siswa SD dan siswa SMP). Menariknya, untuk kaula muda rutinitas kompolan hanya cukup diisi dengan lagu-lagu diba’an, Aqoid dan bacaan shalat.

Sementara untuk orang tua dan dewasa ditambah dengan materi lain, yaitu hafalan kitab Aqidatul Awam dan Sullam Taufiq yang diterjemahkan ke dalam bahasa Madura.

Sebagai grup musik, Kompolan Diba’an asuhannya memiliki alat musik bervariasi. Dari alat musik modern hingga alat musik klasik. Seperti Keyboard, Fiul, Gendang Gambus, Biola, dan Nai (seruling mesir). Dengan alat-alat musik ini, Kiai Suhil dan jama’anya berdakwah dari Dusun Bara’ Songai, Dusun Pandan, Desa Ambunten Timur sampai merambat ke kampung-kampung tetangga dan desa lainnya di Kecamatan Ambunten.

Setiap kampung yang dibina Kiai Suhil, sudah memiliki grup musik sendiri. Saking banyaknya Kompolan Diba’an yang ia bina, hampir saban pagi, Kiai Suhil hadir. Khusus hari minggu, aktivitas Kompolan Diba’an, menjadi dua kali pertemuan.

“Kalau kegiatan beliau setiap harinya hanya menemui orang yang bertamu dan hadir ke Kompolan Shalawat Diba’an. Namun kadang yang hadir ke kompolan hanya putra-putranya,” tutur Suki.

Kiai Haji Suhil sudah puluhan tahun hidup bersama para pejuang agama yang tergabung dalam Kompolan Shalawat Diba’annya.

Sebelum tahun 1988, beliau sudah berkecimpung dalam dunia seni. Wajar jika pada tahun yang sama angggotanya mencapai 645 orang khusus di daerah sendiri. Namun dengan bergantinya waktu dan manajemen, berkembang menjadi per kampung. Sehingga lebih mudah bagi anggota yang ingin bergabung.

Kiai nyentrik ini juga tidak mau mendirikan pondok Pesantren. Sebab pondok pesantren baginya hanya mendidik atau menempa beberapa orang saja yang tinggal dalam naungan Pondok Pesantren.

Kiai Suhil lebih memilih mengakrabi masyarakat dengan berdakwah lewat Kompolan Shalawat Diba’an dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. “Lebbi malarat agabai suasana, etembang murok, (lebih sulit menciptakan suasana, ketimbang mengajar),” dawuh Kiai Suhil saat ditemui Mata Sumenep di kediamannya yang penuh kedamaian.

Pemikiran dan sikap Kiai Suhil sebagai bentuk responsif atas tuntutan masyarakat agar kiai jangan hanya berceramah di atas panggung dan di depan para santrinya. Hal itu dinilai kurang efektif karena belum bersentuhan langsung dengan masyarakat. Lewat kegiatan langsung kepada masyakat, Kiai Suhil bisa memasukkan ajaran keagamaan secara perlahan tapi pasti sebagaimana dilakukan oleh Sunan Kalijaga.

Jika dari beberapa sunan menyebarkan agama Islam dengan media seni seperti Wayang, Klenengan dan lainnya, beda dengan Kiai Suhil yang lebih memilih musik dan lagu dengan lirik kitab-kitab kuning yang menjadi senjata paling ampuh.

Pemikiran yang terkesan nyleneh dari  suami Ibu Nyai Hayawiyah ini, tidak mau berada di depan untuk persoalan apapun, kecuali persoalan keagamaan dan dakwahnya. Beliau hanya memberi solusi pada banyak orang biar orang-orang menyelesaikan persoalannya sendiri. Sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta solusi. Bahkan menurut salah satu masyarakat Pasongsongan Lukman (25) Kiai Suhil adalah pengendali daerah Ambunten.

“Jika ada persoalan apapun di Ambunten ini, pasti larinya pada beliau,” tuturnya mantap.

Bisa dibilang Kiai Suhil Imam ini adalah Macan Ambunten. Sebab kiai yang mempunyai sifat humoris tinggi ini juga memiliki kharisma yang luar biasa terhadap masyarakat Ambunten.

sumber: Mata Sumenep

 
KPU Bangkalan