Kisah Nyai Asri, Ibunda Raja-raja Sumenep Dinasti Terakhir

Tak Berkategori

matamaduranews.com-PAMEKASAN-Sosok Nyai Asri atau Dewi Asri mungkin tidak banyak dibincang dalam sejarah, khususnya sejarah di Madura. Sosok wanita shalihah yang melahirkan tokoh-tokoh besar di kemudian hari.

Nyai Asri merupakan putri Kiai Sendir III (Kiai Abdullah), Lenteng. Beliau juga sekaligus adik kandung Kiai Agung Rabah, Pademawu, Pamekasan. Sekaligus juga beliau ini isteri Kiai Abdul Qidam, dan ibunda Kiai Agung Abdullah Batuampar (Entol Bungso).

Kisah Pernikahan dengan Kiai Air Suci

Dalam cerita tutur sesepuh Rabah dan macapat Rabah, Kiai Abdul Qidam pernah menetap di Rabah. Kedatangan beliau ke sana dalam rangka menuntut ilmu.

Meski secara nasab, Kiai Abdul Qidam masih sepupu ayahanda Kiai Agung Rabah, namun putra Kiai Talang Prongpong ini sangat memuliakan keponakan sepupunya yang berpangkat wali agung itu.

Kiai Abdul Qidam dikisahkan memiliki akhlaq yang mulia, alim dan pandai menguasai ilmu-ilmu Agama yang diajarkan dengan cepat. Sehingga Kiai Agung dan Nyai Agung Rabah tambah merasa kagum sekaligus hormat kepada paman sekaligus santrinya.

Nah, suatu ketika, Nyai Asri (juga disebut Dewi Nengnga) ditunangkan dengan seorang dari kalangan bangsawan, dan ibunda beliau di Sendir sudah menyetujui pertunangan itu. Mendengar Nyai Asri akan dikawinkan dengan seorang bangsawan, Kiai Agung Rabah merasa keberatan.

Maka Kiai Agung Rabah bermaksud menjemput Nyai Asri ke Sendir Lenteng Sumenep, dengan mengutus salah seorang santri beliau untuk mengabarkan kedatangannya. Mendengar Kiai Agung Rabah akan datang menjemput, Nyai Sepuh (ibunda Kiai Agung Rabah) memerintahkan kepada sanak keluarganya untuk menjaga Nyai Asri.

Maka berangkatlah Kiai Agung Rabah ke Sendir Lenteng untuk menjemput Nyai Asri. Sesampainya di sana, tanpa diketahui oleh orang-orang yang menjaga Nyai Asri, para penjaga itu dibuat tertidur, sehingga Kiai Agung Rabah dengan leluasa mengambil Nyai Asri dan dibawa ke Rabah. Setelah Kiai Agung Rabah berhasil pergi dari Sendir, semua penjaga dan ibu Nyai pun terbangun dan terkejut, karena Nyai Asri telah hilang entah ke mana.

Sesampainya di Rabah, Nyai Asri dinikahkan oleh Kiai Agung Rabah dengan Kiai Abdul Qidam. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada ibundanya, Kiai Agung Rabah mengutus salah seorang santrinya untuk memberi kabar akan pernikahan itu ke ibunda dan sanak keluarga di Sendir Lenteng Sumenep. Dan akhirnya Nyai Sepuh memaklumi sikap Kiai Agung Rabah ini.

Tindakan Kiai Agung Rabah ini seakan menjadi isyarah, bahwa kelak yang akan mengganti kedudukan beliau adalah keturunan dari Nyai Dewi Asri, dan keturunan beliau yang kelak akan menjadi orang-orang mulia, baik menjadi ‘ulama maupun umara’ dalam masyarakat.

Pembabat Air Suci

Setelah menikah, Kiai Abdul Qidam dan Nyai Asri diminta menetap di sebuah tempat di Desa Larangan Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan. Tempat itu terkenal dengan nama Arsojih (Air Suci), dan Kiai Abdul Qidam bergelar Kiai Air Suci atau dilafalkan Arsojih. Banyak yang berguru pada beliau dan banyak juga santri yang menetap hingga beliau wafat di Arsojih.

Maqbarah beliau terletak di belakang Kantor Koramil Larangan Pamekasan. Hingga saat ini, maqbarah beliau sering dikunjungi oleh peziarah dari berbagai kalangan dan dari berbagai daerah baik Madura maupun Pulau Jawa.

Pemerintah Kabupaten Pamekasan cepat mengambil inisiatif untuk menjadikan Maqbarah Kiai Abdul Qidam sebagai cagar budaya yang wajib dilindungi. Mengingat beliau seorang tokoh besar yang menurunkan orang-orang besar baik sebagai ‘ulama maupun umara’ hingga saat ini. Sehingga ditetapkanlah maqbarah Kiai Abdul Qidam sebagai situs bersejarah Kabupaten Pamekasan.

Cungkup maqbarah beliau beberapa kali mengalami rehabilitasi karena sudah tidak layak dan dimakan usia. Hingga pada tahun 2016 atas inisiatif Bapak Mohammad Amir, Camat Kecamatan Larangan, mengundang beberapa perwakilan dari keturunan Kiai Abdul Qidam, untuk membahas dan mohon doa restu, atas keinginan merehabilitasi cungkup maqbarah Kiai Abdul Qidam.

Pertemuan itu bertempat di Koramil Larangan. Dihadiri oleh K. H. Imron Pakamban Sumenep, juga beberapa perwakilan keturunan Kiai Abdul Qidam. Yaitu Kiai Munir selaku keturunan yang ada di Arsojih; Abdul Hamid dari keturunan Kiai Adil Rabah; Bindara Ilzamuddin dari keturunan Nyai Maisarah Berkongan; dan Perwakilan dari Perfas (Persatuan Famili Keturunan Panembahan Sumolo), selaku wadah keluarga Keraton Sumenep saat ini, sebagai perwakilan dari keturunan Kiai Abdullah alias Bindara Bungso.

Dalam pertemuan tersebut disepakati merehabilitasi dan pembangunan kembali ungkup Kiai Abdul Qidam, dengan tetap mempertahankan sisi keaslian. Dan inisiatif ini pun mendapat izin dari Bupati Pamekasan. Hingga saat ini, pembangunan cungkup masih dalam tahap pengerjaan.

Sementara Nyai Asri alias Nyai Air Suci dikisahkan mengikuti putranya, Kiai Abdullah alias Entol Bungso ke Batuampar. Wanita shalihah ini wafat di Batuampar dan dimakamkan berdampingan dengan sang putra.

Seperti diketahui, Kiai Abdullah berputra salah satunya ialah Bindara Saot, tokoh legendaris keraton Sumenep di abad 18, sekaligus pembuka dinasti terakhir.

RM Farhan

Komentar