Kisah Trio Syuhada, Para Pejuang Sumenep Yang Menjadi Martir Pertiwi

×

Kisah Trio Syuhada, Para Pejuang Sumenep Yang Menjadi Martir Pertiwi

Sebarkan artikel ini
Kisah Trio Syuhada, Para Pejuang Sumenep Yang Menjadi Martir Pertiwi

matamaduranews.com-SUMENEP-Mempertahankan kemerdekaan yang masih berupa “bayi” masih memerlukan para martir. Darah suci para syuhada itu menghiasi setiap lembar sejarah.

Madura pun ikut ambil bagian dalam tugas mulia itu. Beberapa tokoh pentingnya, tiga di antaranya adalah putra Sumenep, menjadikan dirinya sebagai tameng Pertiwi. Berikut kisah trio syuhada itu.

Kapten Tesna

Seorang lelaki berpakaian militer tampak tergesa-gesa. Dari panggilan dan atribut yang digunakannya, diketahui jika pria muda itu berpangkat Kapten. Raden Tesnawijaya namanya. Di jajaran kemiliteran, khususnya di Resimen 35 Jokotole Madura, ia dipanggil Kapten Tesna.

Menurut beberapa sumber, salah satunya RP Mohammad Mangkuadiningrat, salah satu anak komandan sementara Resimen 35 Jokotole, RA Mangkuadiningrat, Kapten Tesna merupakan tokoh pemberani. Perwira itu merupakan asli Sumenep, sama seperti atasannya, Pak Mangku. “Rumahnya di timur Tangsi,” kata Mohammad Mangku.

Hari, itu Kapten Tesna agak panik. Pasalnya, Belanda yang kembali merongrong kedaulatan RI itu sudah masuk ke daerah Patemon, Pamekasan. Pria itu lantas menuju menara masjid yang kini disebut Masjid Syuhada’.

“Mau ke mana Pak Tesna,” kata Pak Mangku, ditirukan Mohammad.

“Saya mau ke atas menara, Komandan, rakyat Pamekasan harus diberi tahu dan cepat menyingkir,” jawab Tesna. Ia berencana menabuh beduk di atas menara sebagai pemberitahuan.

“Jangan, lebih anda segera berganti pakaian biasa dan cepat keluar kota, rakyat sudah banyak yang menyingkir,” cegah Pak Mangku.

Rupanya Kapten Tesna tak mengindahkan. Beliau dengan susah payah memanjat menara. Ketika sudah hampir sampai, sebuah peluru panas menembus tubuhnya. Ia terhempas ke bawah, bumi menerimanya dengan keras. Darah syahidnya membasahi pertiwi.

“Beliau merupakan salah satu dari banyak syuhada yang gugur di area masjid itu,” kata Mohammad Mangku.

Jenazah Kapten Tesna dan syuhada lainnya hingga awal 1970-an tetap bersemayam di halaman masjid. Hingga kemudian pemerintah memindahkannya ke TMP Pamekasan. Nama sang Kapten diabadikan di sebuah jalan di Sumenep.

Letnan R. Moh. Ramli

Di komplek Asta Raja (Asta Tinggi Sumenep), sebuah prasasti menghiasi ornamen sebuah makam.  Dinyatakan bahwa yang dikubur di dalamnya gugur karena mempertahankan kedaulatan NKRI di pintu gerbang Madura Barat. Sosok itu bernama Letnan R. Mohammad Ramli.

Biografi utuh Letnan Ramli hampir tidak ditemukan. Tidak ada keterangan mengenai masa kecil hingga dirinya masuk dalam barisan tentara NKRI (BKR). Dalam buku-buku lokal sejarah Madura tidak pula ditemukan secara rinci asal-usul dan latar belakang keluarganya.

Apalagi bagi masyarakat awam di Sumenep, mereka hanya mengenal nama Letnan Ramli sebagai salah satu nama jalan di kelurahan Kepanjin kecamatan Kota Sumenep. Namun jika dilihat dari gelar di depan namanya ada huruf “R” yang merupakan singkatan dari kata Raden. Apalagi pusaranya yang ada di pemakaman keluarga Raja-raja Sumenep menunjukkan asal-usulnya secara tidak langsung.

Menurut salah satu keluarga keraton Sumenep, Fakhrurrazi, Letnan Ramli secara genealogis merupakan keturunan adipati Pamekasan yang bersusur galur ke keluarga Cakraningrat Bangkalan. Jalur ini didapat dari pihak ayahnya. Namun dari pihak ibu disebutkan berasal dari trah keraton Sumenep dinasti terakhir.

Namun bukan masalah asal-usulnya yang penting untuk diketahui, melainkan aksi heroiknya yang membawanya gugur sebagai kusuma bangsa. Letnan Ramli gugur dalam peristiwa kontak fisik di daerah Kamal Bangkalan, setahun setelah proklamasi kemerdekaan RI.

Tahun 1946, Letnan Ramli ditugaskan di Madura Barat (Bangkalan). Tepatnya beliau menduduki posisi sebagai komandan Seksi I Kompi IV Batalyon III Resimen V Madura Barat. Tugasnya untuk mempertahankan pantai Kamal, Pier timur dan Jungrate dari rongrongan pasukan Belanda yang tidak mau menerima kedaulatan NKRI.

Posisi ini rupanya sekaligus posisi terakhirnya di BKR. Tepat pada hari Jum’at pagi tanggal 5 Juli 1946, enam buah tank amphibi Belanda yang diangkut kapal laut dengan dilindungi oleh tiga buah pesawat udara jenis Mustang bergerak menuju Kamal.

Pesawat udara tersebut menembaki daerah pantai yang diduga terdapat pos-pos pertahanan BKR, sedangkan enam buah tank amphibi yang terbagi dua menuju sasaran daerah pelabuhan DKA dan pelabuhan Pier Timur juga mulai memuntahkan pelurunya.

Kala itu Letnan Ramli yang hanya memiliki dua regu pasukan kecil memerintahkan agar tank-tank tersebut tak sampai mendarat di bumi Madura. Dua regu yang bersenjatakan campuran dan diperkuat satu pucuk PSU kaliber 7 mm dan satu pucuk MG kaliber 7,7 mm itu awalnya dapat membalas tembakan-tembakan dari tiga tank amphibi tersebut.

Namun tetap saja kekuatannya tidak seimbang sehingga tank-tank tersebut bisa mendarat. Sementara Letnan Ramli sendiri bersenjatakan sepucuk pistol, sebilah keris, dan sebilah pedang.

Melihat pertempuran yang tak seimbang dan tank-tank amphibi yang mulai mendarat, Letnan Ramli terpaksa memerintahkan sebagian pasukannya mundur, sedangkan dirinya dan sebagian pasukan lain terus maju ke depan.

Saat itu, Letnan Ramli yang bersenjatakan keris menaiki salah satu tank amphibi dan membunuh penumpangnya, namun setelah itu dari arah lain melesat peluru-peluru yang akhirnya bersarang di tubuhnya. Letnan Ramli pun gugur sebagai syahid.

Atas permintaan kedua orang tua beliau, jenazah Letnan Ramli yang saat itu masih bujang dibawa ke Sumenep dan dimakamkan di Asta Tinggi. Dalam peristiwa Kamal tersebut disamping Letnan Ramli ikut gugur pula delapan personel lainnya, dan beberapa personel lain yang menderita luka-luka.

K.H. Abdullah Sajjad

KH Abdullah Sajjad lahir di Guluk-guluk sekitar tahun 1890-an Masehi. Secara genealogis, ia lahir dari perpaduan darah Kudus dan Sumenep. Ayahnya KH Mohammad Syarqawi merupakan ulama pendatang asal Kudus, Jawa Tengah.

Kiyai Syarqawi ini juga tercatat sebagai pendiri pondok pesantren an-Nuqayah Guluk-guluk Sumenep (meski nama an-Nuqayah justru ditetapkan sebagai nama pesantren ini jauh setelah wafatnya Kiyai Syarqawi).

Sedangkan ibunya Nyai Mariyah adalah putri Kiyai Idris, tokoh agama asal desa Prenduan kecamatan Pragaan. Nyai Mariyah ini merupakan saudara kandung Kiyai Khothib, ayah KH Ahmad Jauhari, pendiri pondok pesantren al-Amien Prenduan.

Jadi secara nasab, Kiyai Abdullah Sajjad berasal dari kalangan elit pesantren. Asal usulnya ini kemudian lebih diperkuat oleh kedalaman ilmu yang lazim dimiliki para anak-anak kiyai setelah lama keluar kandang alias menuntut ilmu agama ke beberapa pesantren terkenal di masa itu.

Tak hanya itu, Kiyai Sajjad juga berhasil menduduki kursi kepala desa Guluk-guluk setelah bersedia masuk bursa pencalonan. Jabatan ini didapat tidak lebih karena dilatarbelakangi oleh kepentingan da’wah.

Memang secara karakter, Kiyai Sajjad merupakan tipologi pemimpin pesantren yang lebih aktif melakukan pembenahan eksternal. Sehingga kedekatannya dengan masyarakat sangat diakui.

Bahkan informasinya saat setiap ada tetangga yang sakit, beliau bersama sebagian santrinya berkunjung sembari membacakan qasidah Burdah untuk mendoakan yang sakit itu. Sehingga dengan menjadi pemimpin desa, cita-citanya untuk menanamkan Islam secara institusional dipandang lebih mudah.

Pelantikan Kiyai Sajjad sebagai kalebun (kepala desa) hampir bersamaan dengan agresi militer Belanda tahun 1947.

Belanda yang tidak menerima kedaulatan RI melakukan kontak fisik di daerah-daerah NKRI setelah sebelumnya melakukan gencatan senjata sebagai konsekuensi dari kesepakatan perjanjian Linggarjati.

Padahal awalnya justru perjanjian Linggajati dianggap sebagai kekalahan diplomasi Indonesia karena Republik Indonesia terlalu banyak mengalah terhadap Belanda. Keuntungan yang didapat pihak Indonesia hanya berupa pengakuan de facto kekuasaan Indonesia atas pulau Jawa dan Sumatera, sedangkan keuntungan yang diperoleh pihak Belanda adalah memecah belah NKRI.

Gangguan kembali Belanda ini lebih memantapkan tekad Kiyai Sajjad untuk lebih aktif di ranah eksternal pesantren. Sehingga fungsi pesantren sebagai rumah ilmu untuk sementara digeser menjadi markas menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali menjajah.

Posisi pemimpin laskar Sabilillah yang awalnya dipegang kakaknya, kiyai Mohammad Ilyas, dialihkan ke kiyai Sajjad yang dibantu oleh keponakannya kiyai Khazin bin Mohammad Ilyas.

Gerakan-gerakan untuk memutus akses Belanda ke Sumenep mulai dilancarkan. Namun tentu saja perang antar dua kekuatan yang tak seimbang kerap melahirkan resiko kekalahan di pihak yang lebih sedikit laskar dan minim persenjataan.

Kondisi ini membuat Kiyai Sajjad dan keluarga besar an-Nuqayah terpaksa mengungsi ke tempat yang aman. Kiyai Sajjad sendiri dan kiyai Khazin bersembunyi di Karduluk di kediaman Kiyai Ahmad Bahar, saudara dekatnya.

Sebelumnya sempat dianjurkan Kiyai Bahar agar sementara waktu keduanya bersembunyi di pulau Jawa, ternyata ditolak oleh kiyai Sajjad. Alasannya beliau tidak ingin meninggalkan warga dan keluarganya di guluk-guluk.

Setelah beberapa bulan lamanya bersembunyi, tepatnya di bulan November 1947, datang seorang santri utusan dari Belanda yang membawa kabar bahwa guluk-guluk sudah aman. Kiyai Sajjad tanpa berprasangka buruk akhirnya kembali ke Guluk-guluk, dan sempat melaksanakan shalat ashar dan maghrib dengan berjamaah bersama warga sekitar yang langsung beramai-ramai mengunjungi beliau.

Namun ba’da shalat maghrib beberapa tentara Belanda tiba-tiba datang dan memaksa kiyai Sajjad agar menyerahkan diri. Hampir saja terjadi kontak fisik antara warga dan tentara Belanda, namun demi tidak terjadi korban di fihak warga, kiyai Sajjad rela menyerahkan diri. Selanjutnya beliau dibawa ke lapangan guluk-guluk dan dieksekusi di sana.

RM Farhan

KPU Bangkalan