matamaduranews.com-BANGKALAN-Nama Syaikhona Kholil Bangkalan begitu harum hingga kini. Terlebih beliau merupakan tokoh utama yang membidani lahirnya Nahdlatul Ulama NU. Lahir dengan nama Mohammad Cholil bin Abdul Latif pada 1225 H bertepatan dengan 1835 M di desa Kramat Bangkalan. Pendidikan awal beliau terima langsung dari ayahandanya KH Abdul Latif yang merupakan seorang da’i di masa itu.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Tak berapa lama, Kiai Abdul Latif menyerahkan Cholil kecil kepada kakak perempuannya yang bernama Nyai Maryam yang merupakan istri KH. Qoffal. sebagai ipar, Kiai Qoffal mendidik Cholil kecil dengan telaten. Benih kehebatan Cholil kecil dalam memahami ilmu agama, membuat Kiai Qoffal mengirimnya pada kiai-kiai terkemuka di Bangkalan untuk memahami ilmu gramatika arab, seperti ilmu nahwu, shorrof, dan yang lain.
Di antara guru-guru beliau adalah Tuan Guru Dawuh yang merupakan seorang ummi (tidak bisa baca dan tulis). Tuan Guru Dawuh mengajar murid-muridnya tanpa ada kelas. Selain Tuan Guru Dawuh, Cholil juga belajar pada Bhujuk Agung, Yang merupakan mursyid dari thoriqoh Annaksabandiyah. Dan dari beliau Cholil kecil belajar ilmu batin.
Di samping itu Cholil muda juga menimba ilmu di banyak pesantren terkenal di Jawa, seperti Pesantren Langitan Tuban. Beliau mulai mondok di sana saat menginjak umur 15 tahun. Kiai Qoffal yang mengirim Cholil ke Pesantren yang diasuh oleh KH Muhammad Noer ini.
Saat di pesantren itu, karomah Cholil kecil sudah tampak. Penah suatu saat ketika Kiai Muhammad Noer menjadi imam sholat, Cholil kecil tertawa. Saat ditanya kiainya itu, beliau menjawab karena melihat sang imam sholat membawa tumpeng di atas kepalanya, sebab pada saat itu sang imam tidak khusyuk dalam sholat sebab lapar.
Setelah kurang lebih 3 tahun berada di Pesantren Langitan dan usianya yang semakin bertambah, Cholil muda melanjutkan perjalanan mondoknya ke Pesantren Cangaan yang terletak di daerah Bangil asuhan KH Asyik.
Kewalian Cholil muda juga tampak, tatkala sang pengasuh meminta gula khas Madura. Cholil muda memberitahu pada sang kiai letak gula tersebut yang berada di dalam kamarnya. Lalu Kiai Asyik menyuruh sebagian santri lainnya untuk mengambil gula tersebut dan meletakkannya ke dapur. Dan hebatnya, setelah semua santri merasa lelah dan dapur sudah penuh dengan gula tersebut, gula yang ada di kamar Cholil masih utuh.
Setelah dari Pesantren Cangaan, Cholil muda pindah ke Pesantren Kebun Candi yang diasuh oleh KH Arif pada masa itu. Sambil nyantri di Pesantren tersebut, Cholil muda diperintah oleh Kiai Arif untuk mengaji ke Pesantren Sidogiri yang diasuh KH Noerhasan yang masih ada hubungan kerabat dengannya. Dalam perjalanan menuju Sidogiri, Cholil muda memiliki sebuah keistiqomahan yakni membaca surah Yasin sebanyak 41 kali (20 kali ketika berangkat, 20 kali ketika kembali, dan 1 kali setelah sampai di Pesantren Kebun Candi). Tatkala sampai di malam Selasa dan malam Jum’at, Cholil muda menangis karena keistiqomahan beliau terputus.
Tidak berhenti disitu Cholil muda melanjutkan mondoknya ke pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang terletak di daerah Banyuwangi, asuhan KH Abdul Bashir. Di sana Cholil muda belajar sambil berkhidmah pada sang kiai. Beliau membantu memanen kelapa di kebun sang kiai. Kiai Abdul Bashir memberi 3 sen pada Cholil setelah ia dapat memanen 80 pohon kelapa. Namun uang tersebut tidak pernah ia gunakan melainkan disimpan. Setelah uang tersebut terkumpul cukup banyak, Cholil muda mengembalikannya pada sang kiai, namun ditolak oleh sang kiai sembari menyuruh Cholil muda untuk mondok ke Mekkah dengan uang tersebut.
Mondok di Tanah Suci
Sekitar tahun 1860an Syaikhona Cholil menginjakkan kakinya di tanah Mekah. Di sana Syaikhona Cholil berguru pada Syekh Nawawi Al-Bantani, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan lainnya. Syaikhona Cholil menimba ilmu di kota Mekah kurang lebih 4 tahun. Menurut sebagian cerita, dalam masa mondoknya di Mekkah, Syaikhona Cholil tidak pernah dikirim. Sehingga dalam memenuhi kehidupan sehari-harinya beliau menjual karya tulisnya, seperti kitab Alfiyah Ibnu Malik. Beliau juga sering makan kulit semangka dan minum air zam-zam.
Pulang ke Kampung Halaman
Sepulangnya dari Mekkah beliau mendirikan pondok di desa Jangkebuan. Karena kealimannya akan semua ilmu, nama beliau cepat masyhur di kalangan masyarakat, sehingga banyak orang yang nyantri padanya.
Diantara santri-santri beliau adalah KH Hasym Asy’ari (pendiri jam’iyah Nahdlotul Ulama), KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo, KH Bahar bin Noerhasan Sidogiri, KH Wahhab Hasbulloh Jombang, KH Abdul Karim Lirboyo, KH Bisri Samsuri (pendiri sarekat islam Mekah), KH Masykur (Menteri Agama pada masa presiden Ir. Soekarno), KH Ramli Tamim, KH Mustofa Bisri, KH Munawwir Krapyak Jokja, KH Hasan Mustofa Garut dan masih banyak santri-santri beliau yang menjadi tokoh negara, seperti Ir. Soekarno, Presiden pertama di Indonesia.
Syaichona Cholil wafat pada 29 Ramadlan 1343 H bertepatan dengan 24 April 1925 M, dan di makamkan di desa Martajasah Bangkalan Madura. Makamnya hingga saat ini tidak pernah sepi dari peziarah yang datang dari semua penjuru.
Syaiful Mata Bangkalan