matamaduranews.com– KH Maimun Zubair atau akrab disapa Mbah Moen merupakan Kiai Sepuh nan Kharismatik NU. Beliau wafat sekitar pukul 04.30 waktu setempat, Selasa (6/8/2019) di Tanah Suci, Makkah, Arab Saudi.
“Beliau tidak sakit, sampai tadi malam masih terima tamu di Makkah,” kata Sekjen PPP, Arsul Sani sebagaimana dikutip liputan6.
Kabar duka menyelimuti warga NU dan bangsa Indonesia. Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, semasa hidup dikenal alim dan konsisten menjaga nilai-nilai hubungan bangsa dan negara.
Mbah Moen telah dimakamkan di pemakaman Al Ma’la, Makkah. Banyak pelayat yang mengiringi jenazah Mbah Moen. Salah satunya Habib Rizieq Syihab yang terlihat menyaksikan pemakaman kiai karismatik itu.
Jenazah Mbah Moen dimakamkan di Al Ma’la, Selasa (6/8/2019) sekitar pukul 12.45 waktu Saudi. Pelayat ramai menyesaki area pemakaman bersejarah itu.
Keluarga Mba Moen mengaku sempat dihubungi pihak istana kepresidenan yang menawarkan bantuan pemulangan jenazah Mbah Moen ke Indonesia.
Tapi pihak keluarga mengikhlaskan, Mba Moen dimakamkan di Ma’la. Alhamdulillah sudah sepakat mengingat isyarah-isyarah dari Mbah Moen, akan dimakamkan di Ma’la saja. Dan ini sudah sepakat semua,” kata salah seorang putra Maimun Zubair, Majid Kamil MZ Kamil kepada wartawan di Rembang, Selasa (6/8/2019), sebagaimana dikutip detik.
Keputusan itu diambil setelah seluruh keluarga dan orang-orang terdekat Mbah Moen mengingat Mba Moen ingin meninggal di Makkah.
Banyak pelayat yang mulai berdatangan sejak siang hingga sore hari di rumah duka di kompleks Pondok Pesantren Al-Anwar Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang, Rembang hingga sore ini. Mulai dari ulama dan sejumlah pejabat di tingkat Pemkab Rembang sudah melayat secara rombongan pada siang tadi.
Biografi Mba Moen
Mba Moen wafat usai menunaikan Salat Subuh pada usia 90 tahun. Malam, sebelum wafat, sempat menerima Duta Besar Indonesia di Saudi Arabia, Agus Maftuh Abegebriel. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang ini, tiap tahun menunaikan ibadah haji. Menurut penuturan Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, Mbah Moen selalu istikamah menunaikan ibadah haji. Walaupun usianya sudah uzur.
Mbah Moen lahir pada 28 Oktober 1928 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Mba Moen merupakan putra pasangan KH Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah binti KH Ahmad bin Syu’aib.
Dalam tulisan berjudul Cultural Capital dan Kharisma Kiai dalam Dinamika Politik: Studi Ketokohan KH Maimun Zubair, karya Siti Mu’azaroh, dijelaskan, Mbah Moen telah melaksanakan pernikahan sebanyak tiga kali. Pertama, dengan Nyai Hj Fatimah, yang kemudian meninggal dunia pada 18 Oktober 2011.
Kedua, dengan Hj Masthi’ah, yang meninggal pada Agustus 2002. Ketiga, dengan Hj Heni Maryam dari Kudus.
Mbah Moen merupakan salah satu dari anggota Ahlul Hall wal Aqdi (Ahwa) pada Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015 lalu.
Mba Moen merupakan seorang alim, faqih sekaligus muharrik (penggerak). Selama ini, Mba Moen merupakan rujukan ulama Indonesia, dalam bidang fiqih. Beliau menguasai secara mendalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Mba Moen merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.
Pendidikan Mbah Moen sepenuhnya diperoleh dari pendidikan nonformal alias pendidikan pesantren. Sejak kecil, Mbah Moen mengenyam pendidikan dengan ayahnya dan ulama yang ada di daerah Sarang.
Lalu beliau memulai hijrah studi ke Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada 1945-1949. Pada 1949, ia memutuskan kembali ke kampung halaman untuk mengamalkan ilmu yang sudah diperoleh.
Pada 1950, Mbah Moen kembali menimba ilmu di Makkah beserta kakeknya selama sekitar 2 tahun. Beliau banyak belajar dengan ulama Al-Haromain dan berpengaruh, salah satunya Sayyid Alawi al-Maliki.
Berkat perjalanannya dalam menuntut ilmu agama ini, Mbah Moen dikenal sebagai ulama karismatik. Lantas pada 1965, Mbah Moen merintis Ponpes Al-Anwar dan menjadi pemimpin pesantren tersebut.
Mbah Moen Aktif Berorganisasi
Mbah Moen juga merupakan sosok yang aktif dalam berorganisasi di tengah masyarakat. Beberapa jabatan yang pernah dipegang oleh Mbah Moen. Di antaranya Mudir Am Madrasah Ghazaliyah dari awal berdirinya hingga sekarang, Nadhir Masjid Jami’ Sarang. Serta Ketua Badan Pertolongan atau Sosial Kota Sarang selama delapan tahun, tepatnya dari 1967 hingga 1975.
Selain itu, Mbah Moen aktif di politik dan di NU. Beliau pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat II Rembang pada 1971-1978, anggota MPR RI dari utusan Jawa Tengah pada 18987-1999. Ketua Syuriah NU Provinsi Jawa Tengah 1985-1990. Ketua Jam’iyah Thariqah NU hasil kongres ketujuh di Pondok Pesantren KH Muslih Mranggen Demak sampai muktamar berikutnya yang berlangsung di Kota Pekalongan pada tahun 2000. Sebagai Ketua MPP PPP pada 1995-1999, serta sebagai Ketua Majelis Syari’ah PPP sejak 2004.
Dua Bulan Lalu di Sumenep
Bulan Juni, Mba Moen sempat mengisi Pengajian Umum dan Halal Bi di Pendopo Keraton Sumenep, Selasa (18/06/2019) malam. Dalam ceramahnya, Mba Moen menyinggung masalah keagamaan dan kebangsaan.
Mba Moen berpesan, agar orang Madura tak ikut menjelek-jelekkan dalam konteks kenegaraan.
Orang Madura paling kuat Islamnya. Kalau islamnya kuat, itu orang Madura. Jangan suka menjelek-jelekkan apa yang ada saat ini, khususnya dalam konteks kenegaraan, dawuhnya.
Selain itu, dalam ceramahnya beliau juga berpesan Salaf harus dipertahankan, tapi jangan sampai menjelek-jelekkan ilmu pengetahuan yang ada saat ini, tuturnya.
Mbah Moen tak pernah kehilangan kharisma sebagai kiai. Namun, kini Mbah Moen sudah tiada. Hari ini, beliau wafat di tanah suci Mekah, Arab Saudi, pada usia 90 tahun. Sosoknya sebagai kiai karismatik dan kontribusinya kepada bangsa ini akan selalu dikenang.
Hambali Rasidi