matamaduranews.com-Judul itu bukan dari saya tapi mengutip konten media sosial yang memparodikan hedonisme di lingkungan Polri.
Itulah salah satu ekor dari kasus “Polisi Tembak Polisi” yang terjadi 8 Juli lalu.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Hingga dua bulan sejak kasus yang menggegerkan publik itu terjadi, motifnya masih simpang siur.
Polisi tampaknya mengalami kesulitan menemukan motif utama pembunuhan Brigadir Yosua, ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo.
Di awal peristiwa isu pelecehan seksual sebagai motif memang menyeruak. Dalam perkembangan kemudian, hasil pemeriksaan polisi mengesampingkan motif itu.
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut motif perbuatan asusila namun terlalu dewasa untuk disebar ke publik. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III, Kapolri Listyo Sigit Prabowo lebih memastikan lagi.
Tidak ada pelecehan. Juga tidak ada tembak- tembakan antar ajudan di TKP ( Tempat Kejadian Perkara) seperti dalam skenario publikasi.
Padahal, Pelaku utama serta para pendukung dan pelaku “obstruction of justice” telah ditindak. Ditahan dan dipecat dari jabatan fungsional di institusi pengayom masyarakat itu.
Namun, belakangan, kasus berkembang semakin tidak karu-karuan.
Pelecehan dan pemerkosaan atas Putri Candrawathi sebagai motif pembunuhan muncul lagi. Ditimbulkan oleh Komnas Ham dan Komnas Perempuan.
Entah seperti apa metodologi pemeriksaan dua lembaga itu yang menganulir hasil pemeriksaan penyidik resmi Polisi.
Padahal, publik mengikuti kerja Komnas Ham dan Komnas Perempuan pada sebulan pertama kejadian. Justru yang kita tahu mereka kesulitan mengakses tersangka para pelaku utama.
Setelah polisi hampir rampung mem berkas hasil penyidikan untuk diajukan ke pengadilan, tiba-tiba dua lembaga swadaya masyarakat itu menyalip di tikungan dengan kesimpulan sumir.
Disebut sumir, karena temuannya tetap saja minta didalami oleh polisi. Tidak heran jika banyak yang meragukan kerja Komnas Ham dan Komnas Perempuan tersebut.
Ada netizen yang menyebut di balik itu seperti ada agenda tersembunyi untuk meringankan ancaman hukuman mati bagi para pelaku. Terutama suami – istri Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Ada juga sinyalemen “temuan” Komnas HAM, menyimpan agenda untuk mengalihkan perhatian publik dari kegaduhan kenaikan BBM yang kini memantik aksi unjuk rasa mahasiswa dan buruh di mana- mana.
Masyarakat luas memang menganggap tidak cukup alasan bagi pemerintah menaikkan harga BBM.
Para pakar ekonomi dan perminyakan terheran-heran karena kenaikan terjadi saat harga minyak mentah dunia justru mengalami penurunan. Di saat pemerintah mengklaim APBN tahun ini mengalami surplus.
Aktivis seperti Rocky Gerung bahkan menganggap pemerintah tidak mengerti arti subsidi. Pendapat Rocky merujuk pada klaim pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM untuk masyarakat tak mampu yang terdampak kenaikan BBM.
“Tidak ada istilah mensubsidi orang miskin. Konstitusi itu mengamanatkan negara wajib memelihara orang miskin,” kata Rocky.
Tidak hanya soal ” Polisi Tembak Polisi” dan kenaikan BBM yang bikin gaduh ruang publik. Urusan politik juga menimbulkan kegaduhan tersendiri.
Belum mati- mati juga wacana “Presiden RI 3 Periode “. Setelah reda awal tahun, tiba-tiba minggu lalu menyeruak kembali di tengah kesulitan multidimensi masyarakat.