matamaduranews.com-PAMEKASAN –PCNU se Madura membahas persoalan sosial politik bangsa agar bisa menjadi pedoman bagi warga NU.
Melalui Kordinator Daerah (Korda) Nahdlatul Ulama Madura, persoalan itu dibahas dalam halaqah fiqih peradaban dengan tema Ijtihad Ulama NU dalam Bidang Sosial-Politik bertempat di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Sumber Anom, Desa Angsana, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, Ahad (24/12/2023).
Hadir dalam acara tersebut seluruh ketua PCNU se-Madura beserta pengurus harian. Ada tiga narasumber turut mengisi halaqah yakni; KH. Miftah Fakih selaku Ketua PBNU, KH. Hodri Arif selaku Ketua Rabithah Ma’ahid Al Islamy PBNU dan Prof. Dr. KH. Abd A’la Basyir, pengasuh pondok pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.
Korda NU Madura, KH. Taufik Hasyim menjelaskan, ada 8 rekomendasi yang dihasilkan dalam halaqah tersebut.
Pertama, negara dan bangsa lahir melalui Ijtihad Ulama Nahdlatul Ulama. Kedua, tentang definisi negara-bangsa. Negara ini didirikan bukan berdasarkan agama jadi tidak ada kewajiban mendirikan negara Islam.
Ketiga, Nahdlatul Ulama lebih mendukung berdirinya bangsa dan negara dengan mengacu kepada banyak kasus yang ada pada saat sebelum kemerdekaan Indonesia antara lain lahirnya resolusi jihad dan penerimaan Pancasila sebagai asas Tunggal negara.
Keempat, dalam bidang sosial politik, warga NU hendaknya lebih mengutamakan nilai-nilai persatuan dan perdamaian dari pada sekedar perebutan kekuasaan.
Kelima, warga NU harus peka terhadap setiap potensi perpecahan antar bangsa,. Perpecahan itu harus dilawan karena perpecahan bisa muncul kapan saja seiring perkembangan zaman.
Keenam, pesantren adalah lembaga yang mampu mengkomunikasikan Islam damai di Indonesia. Selain itu, pesantren bisa mengembangkan peradaban manusia di Indonesia
Ketujuh, dalam hal politik, warga NU wajib berpedoman kepada 9 pedoman politik NU yang dihasilkan pada Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta:
Kedelapan, pentingnya pendistribusian kader NU sesuai dengan kebutuah di semua lini.
Adapun 9 pedoman politik NU yaitu:
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Sementara itu, KH. Panji Taufiq mengatakan, halaqah kali ini tidak ada kaitannya dengan momentum politik 2024. NU tetap fokus menjalankan program dan kegiatan sesuai dengan hasil musyawarah kerja di masing-masing cabang.
“Tidak ada korelasinya antara halaqah dengan Pilpres atau Pileg,” ungkap Kiai Panji.(*)