Ponpes Darus Salam Sampang, Mencetak Cerminan Nilai-Nilai Islam

×

Ponpes Darus Salam Sampang, Mencetak Cerminan Nilai-Nilai Islam

Sebarkan artikel ini
Pintu Gerbang menuju Ponpes Darus Salam, Torjun, Sampang. (Foto Aziz Mata Madura)
Pintu Gerbang menuju Ponpes Darus Salam, Torjun, Sampang. (Foto Aziz Mata Madura)
Pintu Gerbang menuju Ponpes Darus Salam, Torjun, Sampang. (Foto Aziz Mata Madura)

MataMaduraNews.comSAMPANG – Bagi yang sering melintas di daerah jalan raya Torjun, akan melihat sebuah gerbang kokoh di tepi barat jalan dengan dominasi cat putih yang bertuliskan Pondok Pesantren Darus Salam Torjun. Berada di jalan yang diberi nama sesuai nama pondok, sekitar 100 meter ke barat dari gerbang tersebut akan dijumpai sebuah kawasan yang bangunannya di dominasi kombinasi Hijau-kuning.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Suasana tampak sepi ketika Mata Madura bersilaturahim ke Pondok Pesantren tersebut, dikarenakan para santriwan dan santriwati memasuki libur Ramadhan, sehingga mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Suasana yang membuat kicauan burung koleksi sang pengasuh nampak jelas terdengar; seolah saling bersahutan menambah asri suasana pada waktu itu.

Ditemui langsung oleh sang empunya pondok pesantren Kiai Abu Ahmad M Dhoveir Shah, Mata Madura memulai rasa keponya perihal pondok pesantren Darus Salam.

Tahun 1977 menjadi awal Pondok Pesantren Darus Salam itu berdiri di bumi Torjun. Dibangun di atas tanah yang sebelumnya adalah hutan yang penuh dengan semak belukar yang merupakan tanah warisan dari sesepuh. Lokasi itu kini disulap menjadi tempat para insan muda yang ‘haus’ akan ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama mengabdikan diri.

”Nama Darus salam sendiri diambil dari peristiwa peperangan yang terjadi antara muslim Palestina dan Yahudi Israel yang memperebutkan kota Darus Salam timur atau yang oleh umat Yahudi sering disebut kota Yarussalem,” kata Kiai Dhoveir, panggilan Abu Ahmad M. Dhoveir Shah beberapa waktu lalu.

Bersama sang istri, Azizah Abdullah, putri KH Abdullah Yaqin, pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Ulum Molokerjo-Jember, Kiai Abu Ahmad merintis lembaga pesantren tersebut.

Ketika ditanya apakah menjadi kiai pesantren memang cita-citanya, Kiai Abu Ahmad tersenyum. ”Menjadi kiai itu bukan cita-cita saya, malah saya dulu ingin sekali jadi tentara,” ungkap kiai yang berasal dari keluarga yang mencintai pesantren ini.

Sebagai pendiri sekaligus pengasuh pertama, Kiai Abu Ahmad M Dhoveir Shah tentunya tau apa yang sebenarnya ia ingin tanamkan kepada para santrinya.

”Setidaknya ada dua hal, yang pertama adalah punya jiwa “leadership” atau jiwa kepemimpinan. Ini penting sebagai insan yang secara fitrah penciptaannya memang ada potensi untuk menjadi khalifah di muka bumi,” jelasnya.

Menurut Kiai Dhovier, menjalani hidup ini tidak hanya perlu pintar, tapi juga  seni dalam memimpin. Karena jika hanya pintar saja maka manusia tersebut cenderung hanya menjadi ‘karyawan’ yang artinya nanti kurang memberi pengaruh kepada kehidupan masyarakat.

Maka dari itu, ia ingin bagaimana nanti ketika santrinya menjadi bagian dalam masyarakat mempunyai peran penting dalam masyarakat ke arah yang lebih baik.

Bahkan kiai yang pendidikan formalnya hanya sampai pada jenjang pendidikan SMP ini senang apabila santrinya bisa berpartisipasi serta masuk ke dalam partai politik. ”Ya, kalau bisa mereka juga terjun di bidang politik, karena itu merupakan salah satu jalan untuk bermanfaat. Jika memang berjuang atas nama rakyat dan bisa memberi perubahan yang lebih baik, itu luar biasa,” tandasnya.

Masalah kepemimpinan didasari pengalaman hidup Kiai Dhovier sendiri. Di masa mudanya beliau di PII (Pelajar Islam Indonesia) dan pernah menjabat sebagai Ketua PII Jember Selatan Komisariat daerah Basuki. Sekaligus Komando Brigadir Pelajar Islam daerah Basuki dan serta menjadi pelatih kepemimpinan di pengurusan wilayah Jawa timur. Karena itu, ia berpendapat bagi yang mempunyai jiwa kepemimpinan maka juga akan mempunyai manajemen konflik yang baik.

”Kemudian yang kedua adalah bagaimana santri bisa menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan yang sebenarnya. Bukan hanya menjadi sebuah pengetahuan saja tanpa ada implementasinya. Bagaimana Islam sebenarnya sudah mengonsep kehidupan ini sebegitu indahnya, sehingga tidak ada hal sekecil apapun luput dari pandangan Islam,” tuturnya.

KH Abu Ahmad M. Dhovier Shah, Pengasuh Ponpes Darus Salam, Torjun, Sampang. (Foto Azis Mata Madura)Kiai Dhoveir juga berbagi cerita saat dirinya diundang untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan di Virginia U.S.A selama dua bulan. Di sana ia melihat warga lokal memiliki kebiasaan yang mencerminkan nila-nilai Islam, yang jarang ditemui di sini, seperti budaya membuang sampah pada tempatnya dan budaya mengantri. Justru di negara yang dikenal sebagai negeri liberal, terlihat jelas nilai-nilai Islam.

”Di sana, di Amerika, saya sedikit melihat muslim. Tapi banyak melihat Islam,” ungkapnya, penuh makna.

Betapa tidak negeri yang merupakan mayoritas non muslim saja bisa melakukan kebiasaan budaya yang mencerminkan nilai-nilai Islam, lantas bagaimana umat Islam itu sendiri.  Jadi berangkat dari pengalaman itulah Kiai Dhoveir ingin menjadikan santrinya tidak  hanya alim dan pintar, namun ada nilai “plus” yang memberi manfaat lebih luas pada kehidupan masyarakat.

”Jangan sampai nilai-nilai Islam justru dicerminkan bukan penganutnya,” ingatnya.

***

Secara umum, Pondok Pesantren Darus Salam sama dengan pondok pesantren tradisional pada umumnya, yaitu mengaji kitab kuning yang merupakan ciri khas pondok pesantren salafiyah.

Selain itu, pondok pesantren tersebut bahkan memiliki jenjang pendidikan yang lengkap dari TK sampai SMK. Khusus SMK namanya bukan Darus Salam, tapi Darul Hikmah.

Di SMK sendiri sudah punya tiga jurusan, yakni TKJ (Teknik Komputer Jaringan), Otomotif dan Tata Boga.

Ditanya perihal harapan ke depannya untuk Pondok Pesantren Darus Salam ini, Kiai yang baru meletakkan jabatannya di tahun 2016 sebagai Ketua KPUD dua kali periode di Kabupaten Sampang itu ingin membangun sekolah tinggi.

”Mohon doanya, semoga nanti ada Sekolah Tinggi Agama Islam Darus Salam,” pintanya.

Di usia yang 77 tahun ini beliau sudah menyiapkan kader penggantinya, yakni putra-putrinya sendiri yang berjumlah lima orang untuk meneruskan perjuangannya.

Selain itu, beliau juga menyelipkan sedikit pesan terkait pentingnya menjaga nilai Ukhuwah Islamiyah. Jangan karena perbedaan, khususnya perbedaan pilihan politik, mudah bercerai-berai dan diadu domba oleh kelompok yang sengaja ingin merusak rasa persaudaraan sesama umat Islam itu sendiri.

”Jadi tentunya kita harus cerdas sebagai umat Islam,” tutupnya.

| azis/farhan