matamaduranews.com-SUMENEP-Ketika mencermati budaya Madura, maka acuan utamanya ialah sejarah. Tanpa melihat sejarah, maka akan sulit mencari akar budaya tertentu. Sementara sumber sejarah beragam, baik sumber lisan maupun sumber tertulis yang bisa dipertanggung jawabkan.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Secara historis, Sumenep sejak abad 13 (atau bisa saja sejak sebelum itu) berada di bawah pemerintahan raja-raja di tanah Jawa, sehingga berangkat dari itu, kebudayaan di Madura pada umumnya merupakan hasil pembauran dengan kebudayaan lokal.
Pengaruh pembauran ini terus berkembang, seiiring dengan masuknya beberapa budaya luar. Seperti pengaruh Islam, budaya Arab, Cina, dan Eropa.
Saronen
Seni tradisional Saronen merupakan salah satu warisan budaya Sumenep yang hingga kini masih bisa ditemukan, khususnya di beberapa tempat yang melestarikannya.
Saronen bisa dikata merupakan seni musik tradisional yang bercorak khas dan mencerminkan karakteristik dan identitas masyarakat Sumenep Madura yang tegas, polos, dan sangat terbuka.
“Sejatinya, Saronen merupakan nama dari alat musik, atau seperangkat alat musik gamelan,†kata R. B. Ja’far Shadiq, salah satu pemerhati budaya di Sumenep.
Karena serupa gamelan, seni ini memang kental dengan pengaruh Jawa. Dan memang menurut sebuah keterangan seni ini dibawa ke Madura pada masa pemerintahan Jokotole alias Ario Kudapanole. Pernyataan ini memiliki korelasi dengan pengantar di atas.
Sesuai dengan jumlah pemainnya, alat musik saronen berjumlah sembilan. Yaitu saronen, gong, kempul, tiga kenong berlainan ukuran, korca, dan dua buah gendang lain ukuran.
Tokoh-tokoh di Balik Saronen
Dalam beberapa penelusuran, terdapat nama Kiai Khatib Sendang sebagai tokoh awal yang mempopulerkan saronen. Tentunya, di kala itu kental dengan aroma dakwah atau islamisasi di Sumenep khususnya.
“Iramanya saja yang beda antara saronen dan gamelan Jawa. Kalau alat sedikit banyak ada kesamaan,†imbuh Ja’far, Rabu (12/02/2020).
Dalam sejarah, Kiai Khatib Sendang merupakan satu dari tiga anak Pangeran Katandur, ulama sekaligus ahli di bidang nandur atau bertani. Berasal dari Kudus, dan tercatat sebagai cucu langsung Sunan Kudus, salah satu dari Wali Sanga.
“Tapi di kawasan Sendang sendiri, sebenarnya tidak ada yang tahu siapa pencipta Saronen ini,†kata Ja’far.
Saronen juga dikenal pada abad 19-20, melalui salah satu tokoh ulama nyentrik bernama Kiai Khalil Sendang.
“Kiai Khalil Sendang ini yang kadang orang menyangka satu sosok yang sama dengan Kiai Khatib Sendang. Padahal jarak keduanya terpaut masa ratusan tahun lamanya. Kiai Khatib jauh lebih dulu dibanding Kiai Khalil,†jelas Ja’far.
Konon, Kiai Khalil dikenal ahli memainkan saronen. Beliau juga diceritakan memiliki karomah berupa bisa menangkap suara gamelan dan dimasukkan dalam sebuah wadah.
“Hingga saat ini alat musik saronen Kiai Khalil masih ada dan setiap satu tahun sekali dikeluarkan. Edudus, kata maduranya. Nama alat musiknya, Se Kangen,†tutup Ja’far.
Terdaftar dan Diakui
Dalam data Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Sumenep, lebih 200 situs cagar budaya yang sudah masuk list Tim Ahli Cagar Budaya. Cagar budaya itu baik yang masuk kategori yang benda maupun tak benda.
Yang tak benda menurut mantan Kadisbudparpora Drs Ec Carto, MM, dalam sebuah acara sarasehen di Anita Family (Resto and Cafe), pada Minggu (12/01/2020) malam, masih baru lima yang resmi ditetapkan pusat sebagai cagar budaya.
Yang disebutkan Carto itu dibenarkan Hairil Anwar, anggota TPACB (Tim Ahli Cagar Budaya) Sumenep. Menurutnya, masih banyak PR ke depan. “Masih ratusan list yang menunggu agar bisa diresmikan juga,†katanya.
Sementara yang tak benda, dari data Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Sumenep juga menyebut hanya tiga budaya yang sudah diakui sebagai hak paten Sumenep. Di antaranya Syi’ir, Nyadar, dan Saronen. “Terakhir ini Saronen baru ditetapkan pada 2019 kemarin,†kata Hairil.
RM Farhan