Catatan: Hambali Rasidi
SAYA coba mengurai kelebihan almarhum Novi Sujatmiko dalam memajukan perusahan daerah bernama PT BPRS Bhakti Sumekar.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Dari modal Rp 96 miliar (laporan keuangan 2019). Aset PT BPRS Bhakti Sumekar bisa tembus di angka Rp 1 triliun.
Bagi saya. Kelebihan almarhum bisa menjadi inspirasi. Baik personal dan perusahan.
Almarhum Novi memiliki latar belakang Teknologi Informasi (TI). Bukan ahli ekonomi atau perbankan.
Mas Novi lulusan ITAT Surabaya. Sebelum bekerja di PT BPRS Bhakti Sumekar 2002. Almarhum sempat bekerja di PTÂ Patrindo Dwipantara Surabaya sebagai Senior Program dan Analis.
Pengetahuan TI dia gabung dengan manajemen perbankan. Maka lahir berbagai inovasi BPRS Bhakti Sumekar. Hingga BPRS Bhakti Sumekar menduduki nomor urut dua dari 172 BPR Syariah se Indonesia.
Di tangah Mas Novi, BPRS Bhakti Sumekar terus melakukan inovasi untuk memanja nasabah dalam memudahkan pelayanan.
Seperti, ATM tanpa kartu (cardless). Layanan QR Pay (transaksi pembayaran hanya lewat scan QR) atau Barcode BPRS.
Terbaru yang tak banyak orang ngerti. Tabungan Gaul (Gerakan Menabung Milenial). Ini tabungan digital bagi millenial tanpa perlu datang ke kantor cabang.
Aplikasi tabungan Gaul ini dicipta BPRS Bhakti Sumekar. Tapi, penggunaannya diserahkan ke Kompartemen Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang tergabung di Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo).
Sehingga BPRS se Indonesia bisa memanfaatkan aplikasi tabungan Gaul iB.
Saya penasaran. Ingin mengerti berapa biaya untuk membuat banyak inovasi teknologi perbankan.
Apalagi, aplikasi teknologi BPRS Bahkti Sumekar itu tergolong anyar di Sumenep. Penggunaan ATM tanpa kartu itu serentak diberlakukan di semua kantor cabang BPRS. Bukan hanya di kantor pusat.
Jawaban almarhum waktu itu hanya tertawa. Lalu bilang, “murah biayanya.â€.
Saya terus nanya. Bagaimana bisa murah. Untuk buat satu aplikasi saja butuh puluhan juta hingga ratusan juta. Apalagi menempatkan ATM di 31 kantor cabang dan titik-titik keramaian.
Bagaimana dengan biaya sewa jaringan. Berapa biaya mesin ATM-nya. Bagaimana petugas TI-nya.
Lalu, Mas Novi menjawab: “semua saya belanjakan dengan hemat dan efisien. Yang tak memberatkan keuangan perusahaan,”.
Mas Novi menyebut, awal mula menyewa tenaga ahli TI untuk mencipta aplikasi sesuai keinginan BPRS Bahkti Sumekar.
Dalam klausul perjanjian, petugas TI itu harus mengajari petugas TI BPRS Bhakti Sumekar untuk mengoperasikan.
“Setelah ngerti, operasionalnya di-handle- tim TI BPRS Bhakti Sumekar,” ceritanya.
Saya sempat berpikir dalam hati. Berarti Mas Novi tak memanfaatkan kesempatan. Seandainya almarhum berpikir rakus. Bisa jadi, biaya mencipta aplikasi itu dibikin gede. Toh..dirinya berkuasa untuk membelanjakan keuangan perusahaan. Apalagi, biaya teknologi itu sangat relatif untuk dimanipulasi. Bisa miliaran rupiah dalam pengoperasiannya.
Termasuk pembelanjaan puluhan mesin ATM. Almarhum bikin langkah praktis. BPRS Bhakti Sumekar menyewa mesin-mesin ATM itu ke pihak ketiga. Sehingga pengeluaran bisa minimalis.
Saya penasaran untuk ngecek kebenaran apa yang disampaikan Mas Novi.
Saya nanya ke petugas TI BPRS Bhakti Sumekar.
Mas Deddy-salah satunya. Deddy mengakui banyak transfer ilmu teknologi yang digunakan BPRS Bhakti Sumekar berkat arahan Mas Novi.
Deddy bercerita. Transaksi elektronik BPRS Bhakti Sumekar tiap hari mencapai satu juta pengguna.
Pengguna itu meliputi, transaksi keuangan di semua kantor BPRS Bhakti Sumekar. BBS Mobile dan ATM tanpa kartu.
Untuk menghemat biaya satu juta pengguna itu. Mas Novi memutus untuk membeli server sendiri. BPRS Bhakti Sumekar tak menyewa ke pihak ketiga.
Pernah suatu ketika saya nanya keuangan pribadi Mas Novi. Sebagai Direktur Utama Bank yang memiliki aset lebih 1 triliun. Banyak orang pasti berpikir aset Mas Novi berjibun. Apalagi sempat digadang untuk ikut di kontestasi Pilkada Sumenep 2020.
“Ah sampean ada saja,” jawabnya ketika itu.
“Lihat rumah saya masih numpang ke mertua. Mobil yang saya naiki milik BPRS,” tambahnya.
Lalu saya nanya. Darimana biaya politik, jika Mas Novi benar nyalon di Pilkada Sumenep.
“Gini saja Mas Novi,” saya pancing untuk berbuat curang.
“Nasabah BPRS kan lebih 70 ribu. Mainkan dipotongan administrasi. Tiap bulan ambil 2,5 ribu di tabungan nasabah. Kan sembunyi. Seperti mainan IT,”
Apa jawaban Mas Novi? “Ngawur sampean. Kalau saya mau kaya. Sudah dari dulu, main. Toh gak ada yang ngerti permainan itu,” sergahnya.
Kembali ke biaya politik yang perlu disediakan sekitar Rp 50 miliar. Mas Novi jawab: “dari mana uang itu. Kalau saya punya uang sebesar itu. Tak mau dihabiskan di Pilkada,â€.
Dari beberapa perilaku almarhum Mas Novi dalam mengelola perusahaan daerah. Saya banyak terinspirasi.
Bagaimana almarhum bisa mengimbangi laju perusahan derah agar go publik. Satu kakinya, harus bisa melayani pemegang saham mayoritas.
Saya melihat Mas Novi ibarat Lilin. Almarhum bisa menerangi sekitar. Walau dirinya terbakar.
Kalau bicara sikap dermawan almarhum Mas Novi sudah banyak yang memberi testimoni. Almarhum semasa hidup suka bantu orang. Kepada siapa saja. Tanpa woro-woro. Juga tak suka menumpuk harta.
Ada yang sembunyi.
Meski bukan dari pribadi almarhum. Tapi, ini kebijakan yang lahir dari pribadi yang peduli untuk orang lain.
Tiap hari Jumat. Mas Novi memerintahkan kepada semua kantor cabang BPRS Bhakti Sumekar agar menyisikan uang Rp 500 ribu untuk diberikan kepada fakir miskin di sekitar kantor cabang.
Waktunya digilir tiap kantor cabang.
“Anggap itu bagian dari shadaqah BPRS Bhakti Sumekar,†terang Mas Novi suatu waktu.
Kini, Mas Novi sudah tiada.
Semoga..kebaikan almarhum menjadi insipirasi kepada yang akan memegang kekuasaan di BPRS Bhakti Sumekar.
InsyaAllah kebaikan sampean menjadi saksi kelak di hari hisab.
habis