“Saya mengutip Kangjeng Zainalfattah, beliau menyebut ada yang namanya besi kuning, besi pulosani, besi malelo, besi karang kijang, besi karang semut, besi sambojo, dan besi galintung,” katanya pada majalah ini.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Ja’far menambahkan, ketujuh besi itu berasal dari beberapa tempat berbeda. Seperti besi kuning, menurut sejarah berasal dari negeri China. Besi Pulosani dikatakan berasal dari Pulau Asin. Besi Karang Kijang dan Karang Semut masing-masing berasal dari pulau Karang Kijang dan Pulau Karang Semut.
“Kalau besi Galintung, konon dari sebuah daerah bernama Galintung di Tanah Hindu. Sedangkan besi Sambojo menurut kisah kuna dari negeri Kamboja atau Cempa,” tambah pria satu anak ini.
Nah, selain ketujuh besi itu, ada satu besi lagi yang merupakan sebuah jenis batu langit atau meteor yang jatuh dari langit. Batu tersebut disebut besi pamor, yang digunakan sebagai bahan membuat pamor keris.
“Konon, bahan untuk membuat sebuah keris pusaka dulu tidak hanya satu jenis bahan besi dari ketujuh besi tersebut. Biasanya sebuah pusaka itu dibuat dari campuran beberapa besi. Bisa 2 besi, 3 besi dan seterusnya. Dan setiap besi diyakini memiliki tabiat yang berbeda-beda,” pungkas salah satu personel Tim Ngoser (Ngopi Sejarah) Sumenep ini.
Mengenal Macam-Macam Julukan Pusaka Keraton Sumenep
Keraton Sumenep dikenal menyimpan berbagai jenis senjata keris pusaka yang berkualitas tinggi. Baik dari segi pamor, besi, bentuk, hingga yang sifatnya mistis, yakni tuahnya. Tidak sedikit kolektor pusaka dari luar Sumenep yang mencoba berburu pusaka peninggalan Raja-raja Sumenep. Terutama yang paling terkenal ialah pusaka peninggalan Raja-raja dari Dinasti Bindara Saut, khususnya peninggalan Panembahan Sumolo dan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat.
“Kalau sebutan yang umum di Sumenep, pusaka peninggalan Raja-raja itu namanya Jenengan Dhalem,†kata Deny Fahrurrazi, pemerhati pusaka lainnya lagi.
Mengenai keris pusaka Jenengan Dhalem tersebut menurut Fahrurrazi, banyak jumlahnya. Namun, memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan pusaka yang dibuat Empu lain di Sumenep.
“Memang, untuk yang Jenengan Dhalem Empu-nya khusus. Seperti di masa Panembahan Sumolo itu Empu-nya Kiyai Brumbung. Sedangkan di masa Sultan Abdurrahman itu Empu-nya bernama Kiyai Citranala, sehingga bisa dibedakan dengan pusaka yang dibuat oleh Empu lain,â€tambah warga Jalan Bekisar, Desa Pamolokan ini.
Dari jumlah pusaka Jenengan Dhalem yang diperkirakan ratusan itu, menurut Fahrurrazi, sebagian kecil memiliki julukan atau berjuluk. Nama julukan itu biasanya disesuaikan dengan maksud pembuat pusaka atau didasarkan pada kejadian luar biasa yang disebabkan oleh pusaka tersebut.
“Seperti keris pusaka yang berjuluk ‘Se Dhamar’ misalnya, itu ceritanya dulu memancarkan cahaya terang di malam hari,â€imbuhnya.
Ada sekitar puluhan pusaka dhalem yang berjuluk, yang disebutkan oleh Fahrurrazi di antaranya, Nogo Besuki, Tondung Perrang, Se Dhamar, Se Serrang Lebat, dan Se Lajing. Disamping itu juga ada yang disebut Se Saang, Se Cena Mabuk, Se Laden, Se Jarum Kerras, Se Parot, Se Sopenna, Se Sonar, Se Tambak, Se Lendhu, Se Komala, Se Megantara, Se Rendheng, Se Serang Dayu, Se Malias, Se Tamoni, Se Daddhali, Se Banjir, Se Pandita, Se Pangkat, Se Jarum Paet, Se Setan Dunnya, dan Se Salamet atau Se Wahyuningsih.
“Kalau di kalangan Sumenep, pusaka yang berjuluk itu jelas memiliki nilai sejarah, sekaligus nilai komersil yang lebih tinggi,†jelas Fahrurrazi.
Tradisi Penjamasan Pusaka Setiap 1 Muharram Di Sumenep
Pusaka bagi sebagian masyarakat Sumenep dipandang sebagai benda yang memiliki unsur dan kelebihan tersendiri. Baik dari segi budaya, estetika, maupun mistik. Sehingga sampai saat ini tradisi memelihara pusaka sekaligus merawatnya juga tetap terjaga. Terlebih di awal tahun berdasar kalender bulan, yang dikenal dengan tanggal 1 Muharram atau 1 Syura, ada tradisi penjamasan atau aloco pusaka.