Kesehatan

Sumenep Tercepat Tangani Stunting, Ini Dia Sejarah Stunting Di Indonesia (1)

×

Sumenep Tercepat Tangani Stunting, Ini Dia Sejarah Stunting Di Indonesia (1)

Sebarkan artikel ini
Sumenep Tercepat Tangani Stunting, Ini Dia Sejarah Stunting Di Indonesia (1)
Ilustrasi stunting. (Foto/Istimewa)

matamaduranews.com-SUMENEP-Kemarin Sumenep telah berhasil menurunkan angka penderita stunting tertinggi dan tercepat di Indonesia. Seperti diberitakan, Kabupaten Sumenep merupakan daerah yang mampu menangani penderita stunting tercepat di Indonesia, karena angka stunting menurun sebesar 18 persen selama 5 tahun. Apa itu stunting, dan bagaimana sejarahnya?

M.F. Mukthi dalam historia.id, mengulas tentang stunting secara utuh dan menyeluruh. Dalam tulisannya, stunting disebutnya merupakan bentuk gagalnya pertumbuhan anak akibat kekurangan gizi kronis, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hal ini dicirikan dengan tinggi badan anak lebih pendek dari anak seusianya. Bukan hanya fisik, kecerdasannya juga terhambat. Ketika beranjak dewasa, si anak rentan terhadap penyakit, kegemukan, dan kurang berprestasi di sekolah.

Kasus stunting masih banyak dijumpai di Indonesia. Kementerian Kesehatan mencatat per 2018 sekitar 4 juta anak bawah dua tahun (baduta) Indonesia mengalami kondisi balita bertubuh pendek (stunting). Kondisi ini bisa mengancam bonus demografi yang akan dialami Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.

Karena itulah tahun lalu pemerintah mencanangkan Kampanye Nasional Pencegahan Stunting. Kampanye ini juga merupakan implementasi dari pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2018 yang menegaskan bahwa pembangunan sumber daya manusia diawali sejak dari kandungan.

Menurut dokter spesialis Gizi Klinik Dermawan Claudina Nadeak Sp.GK, pemberian asupan gizi yang memadai pada 1000 hari pertama kehidupan memang amat menentukan. “Ibu yang gizi buruk akan melahirkan bayi yang gizi buruk juga. Bayi yang berat badan kurang akan tumbuh menjadi children yang stunted,” katanya.

Upaya Perbaikan Gizi

Pernah dengar lagu “Gang Kelinci”? Lagu ciptaan Titik Puspa itu dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Lilis Suryani tahun 1963. Lagu itu mengisahkan tentang “aku” yang tinggal di Gang Kelinci, sebuah gang sempit yang padat penduduk di Jakarta.

Kami semua hidup rukun dan damai

Hanya satu yang aku herankan

Badanku bulat tak bisa tinggi

Persis kayak anak kelinci

Menurut Agus Setiawan, pengajar Ilmu Sejarah Kesehatan Universitas Indonesia, sejauh ini belum ada studi historis-medis yang khusus membahas stunting di Indonesia. Namun, fenomena stunting di masa lalu bisa dilihat dari metafora yang terdapat dalam lirik lagu “Gang Kelinci”.

“Bisa jadi, kalau melihat penyebabnya yakni gizi buruk, stunting sudah ada pada masa lalu,” ujar Agus.

Masalah gizi sudah menjadi perhatian sejak era kolonial. Setelah pontang-panting mengatasi gizi buruk akibat krisis ekonomi pada 1930, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Instituut Voor de Volkvoeding (IVV) pada 1934. Lembaga ini melakukan riset-riset terkait pengaruh gizi terhadap kesehatan serta mencari pangan alternatif. Beberapa di antara diterbitkan seperti Makanan jang Baik Dimasa Perang (1940) dan Makanan jang Moerah tetapi Baik (1941).

Langkah pemerintah diikuti para ahli nutrisi dan gastronom. Konsultan pertanian untuk pendidikan GA van de Mol menulis Gezonde Voeding (Makanan Sehat) yang menyerukan agar keluarga Eropa di Hindia beralih ke pangan “pribumi”, yang lebih kaya sayuran dan buah-buahan ketimbang daging, sebagai alternatif. Tokoh perempuan-pejuang Chailan Sjamsu Datuk Tumenggung, lewat Boekoe Masak-Masakan (1940), mendorong masyarakat aktif memanfaatkan bahan-bahan makanan lokal seperti jagung, ketela, ubi, dan sagu.

“Maksud penerbitan buku pedoman itu untuk membentuk rumah tangga sebagai garda terdepan dalam menanamkan pengetahuan mengolah makanan yang murah atau sederhana tapi baik pada masa-masa sulit,” tulis Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara.

Perhatian pemerintah terhadap gizi dan kesehatan dibuktikan dengan Konfrensi Bandung, yang diinisiasi League of Nations Health Organisation (LNHO), pada 1937. Konferensi itu membahas masalah kesehatan pedesaan dari berbagai sudut disiplin ilmu, melibatkan tenaga medis dan petugas sanitasi, arsitek, ilmuwan, dan pakar pertanian.

Namun, pendudukan Jepang menghancurkan upaya perbaikan itu. Wajib setor hasil pertanian membuat rakyat kekurangan pangan. “Karena bahan makanan dirampas, obat-obatan terbatas, akhirnya makin parah,” kata Agus. Gizi buruk melanda. Penduduk terpaksa bertahan hidup dengan makanan seadanya. Bekicot jadi pilihan populer sumber protein.

Sebagai upaya menjawab masalah yang muncul akibat kebijakannya, pemerintah pendudukan Jepang memerintahkan rakyat mengkonsumsi sumber pangan alternatif pengganti beras. Sebagai tindak lanjut, diperkenalkan resep-resep baru untuk pelengkap seperti Bubur Perjuangan, Bubur Asia Raya, dan Roti Asia. “Resep-resep itu umumnya disebut menu ‘perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.

Ibu yang gizi buruk akan melahirkan bayi yang gizi buruk juga. Bayi yang berat badan kurang akan tumbuh menjadi children yang stunted. (bersambung)

MFM/hist/red

KPU Bangkalan