matamaduranews.com-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi trending topic beberapa hari terakhir. Tidak kurang dari 1.150 netizen mencuitkan tagar ‘’Sri Mulyani Mundur’’, mendesak Sri Mulyani bertanggung jawab terhadap skandal pajak yang semakin meluas.
Berawal dari Rafael Alun Trisambodo, sekarang kasus dugaan penggelapan pajak dan transaksi haram di Direktorat Pajak meluas melibatkan puluhan orang dengan nominal ratusan miliar. Menko Polhukam Mahfud MD seolah menyiram bensin dengan mengungkap dugaan adanya transaksi gelap dengan nilai Rp 300 triliun.
Mahfud MD, yang juga menjadi Ketua Tim Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengatakan, sebanyak 69 pegawai Kemenkeu memiliki harta tak wajar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Menurutnya, total nilai kekayaan tak wajar itu berkisar ratusan miliar rupiah.
Di luar temuan harta tak wajar itu, Tim Pengendalian TPPU juga menemukan adanya pergerakan uang mencurigakan di lingkungan Kemenkeu bernilai jauh lebih besar, yakni mencapai Rp 300 triliun. Sebagian besar pergerakan uang tersebut terjadi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Bukan kali ini saja muncul kecurigaan mengenai peredaran uang jumbo yang mencurigakan. Kasus Ferdy Sambo yang semula masalah pidana pembunuhan melebar sampai ke kasus jaringan perjudian online gelap dengan omset triliunan rupiah. Sambo diduga berada di tengah titik sentral konsorsium judi gelap 303 itu. Tetapi, kasus ini hanya menjadi desas-desus yang tidak terbukti, karena pengadilan terhadap Sambo sama sekali tidak menyenggol kasus itu.
Ada juga kasus salah kelola dana pensiun di lingkungan BUMN memunculkan skandal mega korupsi di Asuransi Asabri dan Jiwasraya dengan kerugian negara Rp 40 triliun. Kasus ini akan makin luas karena ada dugaan 65 persen dana pensiun di BUMN mengalami salah kelola.
Yang terbaru adalah kasus perputaran uang haram di lingkungan pegawai pajak. Dampaknya membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Sejumlah masyarakat mengaku enggan bayar pajak karena kecewa terhadap gaya hidup hedonis keluarga Rafael Alun Trisambodo. Seruan stop bayar pajak di masyarakat makin kencang setelah terungkap gaya hidup mewah sejumlah pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
Ada kemiripan pola kasus Rafael dengan kasus Ferdy Sambo. Dalam kasus Sambo Polri menjadi penentu kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Akibat kasus Sambo, rating kepercayaan publik kepada kepolisian turun drastis di bulan-bulan pertama. Karena Kapolri akhirnya mengambil sikap tegas, rating aproval kepolisian kembali pelan-pelan mulai membaik.
Dalam kasus pajak imbasnya terasa ke fiskal negara. Ketidakpercayaan kepada Dirjen Pajak bisa berbuah keengganan melakukan deklarasi harta dan deklarasi transaksi-transaksi lainya yang bisa menjadi objek pajak.
Tindak pembangkangan sosial ini berpotensi menjadi makin luas dan melibatkan para wajib pajak skala besar yang ikut enggan untuk membayar pajak. Para objek pajak besar dan potensial itu akan semakin meremehkan dirjen pajak.
Mereka akan menganggap masih banyak oknum di dalamnya yang bisa dijadikan patner in crime untuk melakukan kejahatan pajak, mulai dari tax evasion sampai pada praktik penggelapan lainnya seperti transfer pricing.
Bibit pembangkangan itu terlihat dari reaksi netizen. Sudah ada 1.150 cuitan dengan kata kunci ‘’stop bayar pajak’’. Sri Mulyani yang seharusnya menjadi tokoh kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik malah menjadi sasaran amarah netizen.
Upayanya untuk mendinginkan suasana malah berbalik jadi semakin panas. Dalam sebuah wawancara terungkap bahwa Sri Mulyani merangkap jabatan sampai 30 posisi di berbagai birokrasi, badan, dan lembaga negara. Beberapa jabatan yang diembannya saat ini antara lain Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Wakil Ketua dan Anggota dari SKK Migas, LPS, OJK, BRIN, Dewan Energi Nasional, KUR dan masih banyak lainnya.
Dengan puluhan jabatan ini muncul pertanyaan berkaitan dengan gaji yang diterima Sri Mulyani. Ia menjelaskan Kementerian Keuangan dan pejabatnya diatur dalam undang-undang dan aturan lain. Sesuai Undang-Undang Keuangan Negara, sebagai seorang menteri dia hanya boleh menerima satu sumber gaji dari banyak jabatan yang diemban.
Meski begitu, tidak ada aturan yang melarang dirinya menerima honor. Gaji dan honor, menurut undang-undang, adalah dua hal yang berbeda. Gaji diberikan tetap dalam kurun waktu tertentu, sedangkan honor hanya diberikan saat seseorang mengerjakan tugas tertentu.
Bagi masyarakat yang awam terhadap aturan birokrasi perbedaan gaji dan honor bisa membingungkan. Mungkin banyak yang menganggapnya sama saja. Kalau ada perbedaan maka perbedaannya sangat tipis. Malah ada yang menganggap bahwa perbedaan itu hanya trik untuk menyiasati anggaran, seperti yang diakui sendiri oleh Sri Mulyani.
Masyarakat sudah terbiasa menerima kebingungan seperti itu. Rangkap jabatan Sri Mulyani yang sampai 30 posisi itu bisa memecahkan rekor yang dipegang oleh Luhut Panjaitan yang ‘’hanya’’ merangkap belasan jabatan saja. Atau, jangan-jangan rangkap jabatan Luhut lebih banyak dari Sri Mulyani, tapi belum terungkap semua.
Sri Mulyani maunya ingin jujur, tapi masyarakat kaget. Banyak yang bereaksi negatif dengan menyebutnya kemaruk jabatan. Netizen mungkin jadi tambah bingung. Kalau menuntut Sri Mulyani mundur, seharusnya Sri Mulyani dituntut mundur dari 30 jabatannya itu. (*)
sumber: kempalan